Kerentanan Perempuan Disabilitas Meningkat, Menteri PPPA: Butuh Langkah Perlindungan Lebih Cepat dan Terarah

2 days ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan perempuan disabilitas semakin rentan mengalami kekerasan.

“Kekerasan psikologis, kekerasan berbasis elektronik, serta kerentanan perempuan disabilitas juga meningkat. Hal ini menuntut langkah perlindungan yang lebih cepat, terarah, dan terintegrasi,” kata Arifah dalam Peluncuran Analisis Mendalam Hasil SPHPN 2024 di Hotel Borobudur – Jakarta, Kamis (04/12/2025).

Peningkatan kerentanan perempuan disabilitas diungkap dalam Analisis Mendalam Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024. Data menyebutkan, 1 dari 10 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya.

“Temuan tahun 2024 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Analisis mendalam hasil SPHPN 2024 menunjukkan 1 dari 10 perempuan selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya,” kata Arifah.

Selain itu, 1 dari 6 perempuan di Indonesia selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan. Prevalensi perempuan yang mengalami kekerasan seksual lebih tinggi dibandingkan kekerasan fisik oleh selain pasangan, baik setahun terakhir maupun selama hidup. 

Bahkan, 28 persen dari perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan melaporkan menderita cedera.

“Di antara perempuan yang mengalami cedera, 40 persen perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual beberapa kali (2 hingga 5 kali), 38 persen mengalaminya sekali, dan 20 persen mengalami lebih dari lima kali bentuk kekerasan.”

Di antara perempuan yang menderita cedera, mayoritas mengalami goresan, lecet, dan memar, dengan hampir 85 persen pernah mengalaminya.

Tak henti di situ, dampak lain yang dialami perempuan adalah keseleo, luka bagian dalam, gendang telinga rusak, cedera mata, luka sayat, patah tulang, luka karena bacokan, patah gigi dan luka bakar.

“Luka fisik ini meninggalkan bekas trauma yang mendalam,” ujar Arifah.

Praktik Sunat Perempuan

Salah satu bentuk kekerasan yang juga mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah praktik sunat perempuan. Menteri PPPA menyatakan praktik sunat Perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru berisiko jangka panjang.

“Praktik sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru berisiko jangka panjang. Tahun 2021 sebanyak 50,5 persen perempuan pernah mengalami sunat perempuan sedangkan dari hasil SPHPN tahun 2024, jumlah perempuan yang mengalami sunat perempuan mulai menurun (46,3 persen).”

“Yang menyedihkan, sekitar 41,4 persen praktik sunat perempuan melibatkan tindakan yang menyebabkan pelukaan sesuai kriteria WHO pada bagian sensitif perempuan dan hampir separuhnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.”

Untuk itu, pemerintah berkomitmen menghentikan praktik sunat perempuan melalui regulasi yang lebih kuat, edukasi publik, dan kolaborasi lintas sektor.

Dasar untuk Membuat Kebijakan Berbasis Bukti

Hasil analisis mendalam SPHPN tahun 2024 memberikan gambaran nyata tentang kekerasan terhadap perempuan dan praktik sunat perempuan di Indonesia.

Data ini, menurut Menteri PPPA, bukan hanya membuka fakta di lapangan, tetapi menjadi fondasi penting bagi kebijakan yang benar-benar berbasis bukti. Melihat angka kekerasan terhadap perempuan dan juga anak masih tinggi, Menteri PPPA mendorong penguatan pencegahan berbasis data, peningkatan kapasitas UPTD PPA, perbaikan mekanisme pelaporan, dan pemberdayaan ekonomi perempuan.

“Hingga Juli 2025, masih ada 4 provinsi dan 147 kabupaten/kota yang belum memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), sehingga akses layanan komprehensif belum merata.”

“Kami melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah untuk memiliki komitmen menyediakan UPTD PPA sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 463/5318/SJ tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA),” kata Arifah.

Surat edaran ini mempertegas upaya negara dalam melindungi masyarakat di mana ada kewajiban daerah untuk membentuk UPTD PPA sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Perkuat Sistem Perlindungan Perempuan yang Menyeluruh

Sementara, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan – Kemen PPPA, Desy Andriani menambahkan bahwa Analisis Mendalam Hasil SPHPN 2024 diharapkan dapat memperkaya diskusi publik, mendorong kolaborasi lintas sektor, dan menjadi rujukan dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti.

Ia menilai laporan ini sebagai pijakan penting bagi penguatan strategi dan kebijakan yang berorientasi pada perlindungan serta pemberdayaan perempuan.

“Laporan ini memberi arah yang jelas bagi upaya kita memperkuat sistem perlindungan perempuan secara menyeluruh,” ujar Desy.

Sementara itu, Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Hassan Mohtashami mengapresiasi kepemimpinan Indonesia dalam mengangkat isu kekerasan berbasis gender, termasuk sunat perempuan dan perkawinan anak. Ia menegaskan pentingnya edukasi kesehatan reproduksi, penguatan layanan, dan perubahan norma sosial. UNFPA menilai temuan Hasil SPHPN 2024 dasar penting memperkuat kebijakan dan kolaborasi lintas sektor.

“Tidak ada negara yang mampu mengatasi isu ini sendirian. Indonesia menunjukkan kepemimpinan kuat dengan menempatkan data sebagai dasar kebijakan. UNFPA akan terus mendukung pemerintah dalam memperluas layanan dan mengubah norma sosial,” ujar Hassan Mohtashami.

Read Entire Article