Mengenal Autism Spectrum Disorder (ASD): Ciri, Penyebab, dan Pentingnya Deteksi Dini

Liputan6.com, Jakarta - Autism Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme merupakan disabilitas perkembangan yang terjadi akibat perbedaan pada otak. Sebagian kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik, sementara sebagian lainnya belum diketahui secara pasti. Para ilmuwan meyakini, autisme muncul dari kombinasi berbagai faktor yang memengaruhi cara seseorang tumbuh, belajar, dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Anak dengan ASD umumnya memiliki perilaku, cara berinteraksi, dan pola belajar yang berbeda dari kebanyakan anak. Gejala autisme biasanya muncul sebelum usia tiga tahun dan dapat bertahan seumur hidup. Meski begitu, tingkat keparahan serta kebutuhan tiap individu bisa berbeda. Ada yang mampu hidup mandiri, namun ada pula yang membutuhkan dukungan penuh dalam kesehariannya.

Menariknya, anak dengan autisme umumnya tidak menunjukkan perbedaan fisik yang mencolok. Tantangan utama mereka justru terletak pada kemampuan komunikasi dan interaksi sosial. Sebagian anak mungkin memiliki kemampuan bicara yang baik, sementara yang lain tidak berbicara sama sekali. Karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda awal autisme dan segera mencari bantuan profesional agar perkembangan anak bisa ditangani sejak dini.

Ciri utama autisme terlihat dari cara anak berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Anak dengan ASD mungkin:

• Sulit memahami ekspresi wajah atau emosi orang lain,
• Tidak menatap lawan bicara,
• Terobsesi pada kegiatan berulang, seperti menyusun benda berurutan,
• Menunjukkan minat yang sangat mendalam pada hal tertentu, dan
• Enggan mencoba aktivitas baru.

Namun, penting diingat bahwa tidak semua anak dengan perilaku seperti di atas pasti mengalami autisme. Misalnya, keterlambatan bicara atau ketidaktertarikan terhadap lingkungan sosial bisa terjadi tanpa disertai ASD. Karena itu, pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin sangatlah penting.

CDC (Centers for Disease Control and Prevention) memiliki program 'Learn the Signs. Act Early', yang membantu orang tua mengenali tanda-tanda keterlambatan perkembangan. Melalui aplikasi Milestone Tracker, orang tua dapat mencatat setiap pencapaian anak dan melaporkannya kepada dokter saat pemeriksaan rutin. Dengan begitu, deteksi dini bisa dilakukan sebelum gejala menjadi lebih kompleks dan sulit ditangani.

Diagnosis ASD sendiri dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan perkembangan anak, bukan melalui tes darah atau laboratorium. Gejala autisme dapat terlihat sejak usia 18 bulan. Namun, diagnosis baru dianggap akurat ketika anak berusia dua tahun.

Sayangnya, masih banyak anak yang baru terdiagnosis saat sudah lebih besar, sehingga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan terapi dini yang terbukti efektif.

Hingga kini, penyebab pasti autisme belum diketahui. Namun, sejumlah faktor diketahui dapat meningkatkan risiko, seperti:

• Memiliki saudara kandung dengan ASD,
• Mengalami komplikasi saat lahir,
• Memiliki kelainan genetik seperti fragile X syndrome,
• Usia orang tua yang lebih tua saat melahirkan.

CDC juga melakukan penelitian besar bernama Study to Explore Early Development (SEED) untuk memahami faktor-faktor penyebab autisme, baik dari sisi genetik maupun lingkungan. Penelitian ini melibatkan ribuan anak usia 2–5 tahun guna mempelajari hubungan antara perilaku dan risiko ASD.

Penanganan autisme bertujuan untuk mengurangi gejala yang menghambat aktivitas sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup anak. Karena kebutuhan setiap individu autistik berbeda, perawatan dilakukan secara personal dengan melibatkan berbagai tenaga profesional seperti dokter anak, terapis wicara, psikolog, hingga ahli saraf.

Bagi orang tua yang mencurigai anaknya memiliki ASD, langkah pertama yang disarankan adalah berkonsultasi dengan dokter anak. Jika diperlukan, dokter akan memberikan rujukan ke spesialis perkembangan anak atau psikolog klinis untuk evaluasi lebih lanjut.

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat bahkan menyediakan layanan evaluasi gratis bagi anak di bawah usia tiga tahun melalui program early intervention.

Layanan ini dapat diakses tanpa harus menunggu surat rujukan dokter. Semakin cepat anak menerima terapi, semakin besar peluang mereka untuk berkembang secara optimal.

Penelitian menunjukkan bahwa intervensi dini mampu membantu anak dengan autisme meningkatkan kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan belajar.

Keterlibatan aktif keluarga juga berperan besar dalam mendukung anak agar tumbuh, beradaptasi, dan mencapai potensinya secara maksimal.