Sepak Terjang Penyandang Disabilitas Mental Cari Kerja, Salwa Paramitha: Sampai Pura-Pura Bukan Difabel

2 days ago 12

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas kerap mendapat tantangan dalam dunia kerja. Hal ini dialami pula oleh aktivis hak disabilitas, Salwa Paramitha.

Pada 2017, perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan hukum ini didiagnosis mengalami disabilitas mental. Kondisi ini menjadi penghalang utama baginya dalam mendapat pekerjaan.

Pada 2020, Salwa berhasil mendapat gelar sarjana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Momen fresh graduate pun ia optimalkan untuk melamar pekerjaan.

“Masih fresh graduate dan ingin melamar ke salah satu BUMN Perbankan, ada sistem officer development program (ODP), nah di situ saya gagal karena saya tidak bisa memberikan syarat sehat jasmani dan rohani. Karena jelas, tentu ketika saya mencari syarat itu, saya tidak bisa mendapatkannya, karena saya adalah penyandang disabilitas mental,” kata Salwa dalam webinar Urgensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Disabilitas dalam RUU Ketenagakerjaan bersama Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Rabu (4/6/2025).

Tak ingin menyerah, ia mencoba peruntungan lain di bidang selain perbankan. Sayangnya, ia terus mengalami kegagalan akibat tak terpenuhinya syarat sehat jasmani dan rohani.

Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk pura-pura tak memiliki disabilitas mental demi mendapat surat sehat jasmani dan rohani.

“Kemudian ada satu yang akhirnya membuat saya harus berpura-pura menjadi tidak disabilitas untuk bisa mendapatkan surat sehat jasmani dan rohani,” kenangnya.

Keterbatasan fisik tidak menghalangi seorang pria asal Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur untuk terus menghasilkan karya. Pria disabilitas ini menyulap bambu menjadi mainan tradisional untuk anak-anak dan menghasilkan pundi-pundi rupiah b...

Gagal di Medical Check Up

Berpura-pura tak memiliki kondisi disabilitas mental membuatnya berhasil melenggang ke tahap terakhir yakni medical check up (MCU) saat melamar di perusahaan kosmetik.

Sayangnya, ia kembali gagal lantaran dinyatakan positif NAPZA karena harus mengonsumsi obat mental secara rutin.

“Saya gagal di MCU karena saat tes bebas NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif), saya positif. Walaupun di tulisannya, dokter telah memberikan keterangan bahwa saya menggunakan obat-obatan untuk kondisi medis dan di bawah pantauan dokter.”

Meski tidak menyalahgunakan Napza, Salwa tetap tidak diterima di perusahaan tersebut.

Putuskan untuk Sekolah Lagi  

Lelah mencari kerja tak kunjung diterima, Salwa akhirnya memutuskan untuk kembali mengenyam pendidikan.

“Kalau ditanya kenapa saya sekolah lagi, sejujurnya ya kalau boleh dibilang daripada saya tidak bekerja akhirnya saya putuskan sekolah lagi, karena sudah cape cari kerja.”

“Cari kerja selalu gagal, kalau enggak di psikotes ya di MCU, ya gitu-gitu aja terus. Saya bisa hitung ada 10 tempat kerja yang menolak saya karena saya disabilitas,” jelas Salwa.

Sempat Ditolak Kerja padahal Sudah Tandatangan Kontrak

Tak henti di situ, Salwa pun mencoba peruntungan untuk menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jabodetabek.

Rentetan proses seleksi ia lalui dengan baik. Hingga satu ketika, diumumkan bahwa dosen harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Di mana syarat untuk mendapatkan nomor tersebut adalah harus sehat jasmani dan rohani serta bebas NAPZA.

Seperti biasa, Salwa menyertakan syarat tersebut dengan disertai penjelasan bahwa obat yang ia konsumsi berdasar pada kondisi medis dan dalam pantauan dokter. Namun, pihak kampus memutuskan untuk menolaknya padahal sudah tandatangan kontrak.

“Universitas yang katanya inklusif ini menolak saya padahal saya sudah tandatangan kontrak. Itu menurut saya kejadian yang menyakitkan sekali.”

Dari kisah perjuangan mencari kerja, Salwa berharap pemerintah memberi perhatian lebih pada para penyandang disabilitas mental.

“Di sini ada dari Kemenaker, dari Komisi III DPR, Komisi IX, atau dari pemangku kebijakan lainnya, mohon kebijakannya yang lebih inklusif,” harapnya. 

Foto Pilihan

Salah satu siswa didampingi personel Direktorat Polisi Satwa (Ditpolsatwa) berinteraksi dengan anjing pelacak K-9 di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) kota Depok, Jawa Barat, Senin (2/6/2025). (merdeka.com/Arie Basuki)
Read Entire Article