Liputan6.com, Beijing - Pada 3 Juni 1989, dunia menyaksikan titik balik sejarah di Tiongkok.
Pemerintah China mengeluarkan perintah militer untuk merebut kembali Lapangan Tiananmen dari para demonstran pro-demokrasi, yang telah menguasai lokasi ikonik itu selama hampir tujuh minggu.
Dengan tentara dan tank-tank yang memasuki ibu kota, operasi militer untuk mengakhiri protes mahasiswa dan masyarakat sipil dimulai — tanpa kompromi. Perintahnya adalah untuk menguasai Tiananmen dengan segala cara.
Mengutip laman History, Selasa (3/6/2025), keesokan harinya, 4 Juni 1989, pasukan pemerintah berhasil mengosongkan lapangan, namun dengan konsekuensi yang mengerikan. Ratusan orang tewas, ribuan lainnya ditangkap, dan Tiananmen pun berubah dari simbol harapan menjadi peringatan tragis atas harga sebuah kebebasan.
Akar dari demonstrasi ini dimulai pada 15 April 1989, ketika Hu Yaobang — mantan pemimpin Partai Komunis yang dikenal mendukung reformasi demokratis — meninggal dunia. Kematian Hu memicu gelombang duka dari mahasiswa di Beijing, yang berujung pada aksi protes untuk menuntut kebebasan berekspresi, transparansi pemerintahan, dan reformasi politik.
Puncaknya terjadi pada 22 April, saat upacara penghormatan resmi untuk Hu diadakan di Balai Besar Rakyat, yang terletak di sisi Lapangan Tiananmen.
Para mahasiswa mencoba menyerahkan petisi kepada Perdana Menteri Li Peng, namun ditolak. Penolakan itu justru menyulut aksi boikot massal di kampus-kampus seluruh negeri.
Semangat Demokrasi Meluas
Pada 27 April, meski sudah ada peringatan keras dari pemerintah, mahasiswa dari lebih dari 40 universitas tetap menggelar pawai besar menuju Tiananmen.
Aksi ini dengan cepat mendapat dukungan dari pekerja, intelektual, hingga pegawai negeri. Menjelang pertengahan Mei, lebih dari satu juta orang memenuhi Tiananmen — tempat yang sama di mana Mao Zedong pernah mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 1949.
Namun semangat demokrasi itu dianggap ancaman serius oleh pemerintah. Pada 20 Mei, Beijing dinyatakan dalam status darurat militer. Pasukan dikerahkan, tetapi sempat tertahan oleh gelombang massa yang menghadang di jalanan. Pada 23 Mei, militer bahkan ditarik mundur ke pinggiran kota.
Negosiasi yang tak kunjung menghasilkan solusi, ditambah tekanan dari faksi garis keras dalam pemerintahan, mendorong keputusan akhir: Tiananmen harus direbut kembali.
Maka pada malam 3 Juni, dimulailah operasi penindakan.
Tentara menembaki warga dan mahasiswa tanpa pandang bulu. Jalanan dipenuhi darah dan jeritan. Banyak korban bahkan bukan demonstran, melainkan warga sipil biasa yang menolak mundur. Pada pagi 4 Juni, Tiananmen kembali dikuasai oleh negara, tetapi dengan korban yang tak terhitung.
Pasca tragedi, pemerintah melancarkan operasi pembersihan besar-besaran. Ribuan orang ditangkap, sebagian dieksekusi. Kelompok reformis di dalam partai disingkirkan, dan kekuasaan faksi konservatif menguat.