Liputan6.com, Jakarta Komunitas disabilitas yang diprakarsai oleh alumni Australia bernama Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK) mengatakan penyandang disabilitas di Indonesia perlu mendapat tunjangan. Hal ini penting lantaran adanya biaya tambahan atau extra cost of disability yang ditanggung setiap hari.
Terkait hal ini, Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK) memberikan tujuh rekomendasi, yakni:
- Tunjangan disabilitas bukan belas kasihan, tetapi hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), serta Pasal 16 dan 17 UU No. 8 Tahun 2016.
- Negara perlu menetapkan Indeks biaya tambahan yang timbul akibat disabilitas, guna memetakan kebutuhan hidup berdasarkan jenis dan tingkat disabilitas.
- Konsesi harus menjadi langkah awal dalam skema tunjangan disabilitas, dan rancangan peraturan pemerintah (RPP) harus segera disahkan. Konsesi dapat diwujudkan melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sektor swasta.
- Tunjangan disabilitas harus dirancang secara nasional dan terintegrasi, bukan bergantung pada kebijakan lokal yang sporadis.
- Berlakukan subsidi pajak dan bea masuk untuk alat bantu disabilitas, agar kelompok disabilitas tidak menanggung beban ganda.
- Reformasi data sosial ekonomi harus menjamin keadilan, agar pengeluaran tinggi akibat aksesibilitas tidak menyebabkan komunitas disabilitas terhapus dari skema bantuan sosial.
- Libatkan kelompok disabilitas secara aktif dalam perumusan kebijakan, agar solusi yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan nyata.
“Kita sebagai komunitas disabilitas harus rajin-rajin untuk menyuarakan dan menuntut kepada pemerintah bahwa ini adalah hak kita dan bagaimana yuk kita bisa mewujudkan ini bersama-sama,” kata penyandang disabilitas netra alumni Flinders University, Australia, Richard Kennedy dalam webinar Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK), Rabu, 2 Juli 2025.
Liputan6 Update Spesial Hari Disabiltas Internasional 2021 mengangkat tema Sudahkah Kita Peduli Disabilitas? Hari ini tanggal 3 Desember 2021 merupakan peringatan hari Disabilitas Internasional kali ini ada kedai kopi yang mengkampanyekan kesetar...
Bukan Sekadar Cermin Ketimpangan Ekonomi
GELITIK menyerukan, ketiadaan tunjangan disabilitas bukan sekadar cerminan ketimpangan ekonomi. Ini adalah tanda gagalnya negara menjamin hidup layak bagi semua warga.
Ketika kebutuhan komunitas disabilitas terus diabaikan, maka keadilan sosial hanya akan menjadi slogan kosong. Pertanyaannya bukan lagi “Perlukah?”, tetapi “Mengapa negara terus menunda kewajibannya?”
Seperti disampaikan sebelumnya, penyandang disabilitas hidup dengan extra cost of disability atau biaya tambahan akibat kondisi disabilitasnya.
Biaya ini tidak bisa dihindari demi memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti mobilitas, komunikasi, pendidikan, kesehatan termasuk alat bantu, hingga pekerjaan.
Sayangnya, hingga kini, belum ada skema tunjangan disabilitas nasional yang sistematis dan menyeluruh untuk meringankan biaya tambahan tersebut.
RPP Konsesi Tak Kunjung Rampung
Menurut mahasiswi Master of Public Policy dari Australian National University, Ayu Puspita Ningrum, RPP tentang Konsesi, hingga kini belum rampung. Padahal, ini adalah salah satu amanat utama dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Sembilan tahun setelah undang-undang disahkan, RPP ini masih tertahan di meja birokrasi, padahal merupakan langkah awal untuk memastikan akses terhadap bentuk tunjangan atau pengurangan beban biaya dasar bagi komunitas disabilitas,” kata Ayu dalam webinar yang sama.
Sementara, Ketua Forum Inklusi Disabilitas Kabupaten Magelang dan alumni Monash University, Hendry Hernowo, membagikan pengalaman hidup sebagai orang dengan disabilitas netra parsial yang tinggal di daerah pedesaan berbukit.
Ia harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk transportasi dan perangkat pembaca layar demi bisa bekerja dan menjalani aktivitas sehari-hari.
Sistem pendataan baru bernama Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) kerap menyimpulkan bahwa orang dengan disabilitas adalah “mampu” hanya karena pengeluarannya tinggi—tanpa mempertimbangkan bahwa pengeluaran itu timbul dari kebutuhan aksesibilitas yang tidak bisa ditunda.
Akibatnya, banyak yang dicoret dari program bantuan sosial seperti penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.