Liputan6.com, Jakarta Penyandang autisme memiliki berbagai kelebihan jika terjun ke dunia kerja. Mereka dinilai rajin, tekun, tidak bergosip, dan tak akan korupsi.
“Biasanya orang-orang dengan autisme sangat rigid dengan pekerjaannya sehingga mereka lebih tekun bisa bekerja tanpa destruksi,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN Autism Network (AAN), Prita Kemal Gani, dalam talkshow Autisme Bukan Hambatan: Dukungan dan Inovasi dalam Menciptakan Peluang Kerja di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
Penyandang autisme dinilai lebih fokus ketika bekerja sehingga hasil pekerjaannya lebih sesuai. Mereka juga lebih detail karena mampu melakukan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang.
“Mereka juga di kantor tidak suka bergosip pastinya dan tak suka bermain office politics, karena tidak terpikirkan oleh mereka. Tidak berkhianat dan InshaAllah tidak korupsi karena mereka biasanya jujur dan seadanya,” tambah Prita.
Lebih lanjut, Prita menyampaikan bahwa setiap peluang pasti ada tantangan begitupun setiap tantangan pasti ada peluang. Seperti yang dihadapi penyandang autisme dalam mencari peluang kerja.
“Sering kita mendengar bahwa autisme dianggap sebagai penghalang bagi seseorang untuk dapat berkarier dan berkembang di dunia kerja. Padahal, kalau kita lihat lebih jauh, autism bukanlah hambatan tapi justru menawarkan potensi luar biasa yang dapat mendukung keberagaman di tempat kerja,” jelas Prita.
Peneliti dari Universitas Michigan berencana untuk mempelajari anak-anak yang memiliki gangguan ekstrim autisme dalam mendeteksi bahaya di jalan.
Memiliki Kekuatan Fisik yang Baik
Soal kekuatan fisik, orang-orang dengan autisme umumnya memiliki ketahanan fisik yang baik.
“Kekuatan, tenaga, endurance-nya luar biasa anak-anak kita dengan autisme. Anak saya sendiri (menyandang autisme) kalau melukis itu orang lain biasanya bisa selesai 2 minggu, anak saya bisa selesaikan dalam waktu 6 jam.”
Sayangnya, sambung Prita, masih banyak perusahaan yang ragu mempekerjakan individu dengan autisme. Hal ini dipicu berbagai sebab seperti:
- kesulitan komunikasi;
- kesulitan berinteraksi;
- kesulitan dalam fleksibilitas atau adaptasi;
- sering merasa tertekan jika bekerja di lingkungan yang bising dan ramai;
- sensitivitas sensorik membuat mereka mudah terganggu oleh wewangian, tekstur seragam, dan suhu ruangan;
- butuh waktu lebih lama dalam menyerap instruksi;
- kesulitan regulasi emosi dan sering cemas.
Ciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif
Maka dari itu, Prita mengajak pihak perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
“Mari kita bersama siapkan lingkungan kerja yang inklusif dan ramah autisme. Memberikan pelatihan dan pemahaman bagi karyawan tentang spektrum autisme di lingkungan kerja.”
Prita memberi contoh, di London School of Public Relations (LSPR) dirinya mengusung kampus yang ramah bagi penyandang autisme.
“Sebelum menerima murid dengan autisme, kami melatih karyawan, dosen, dan murid sendiri untuk memahami tentang autisme. Sehingga, ketika kita menerima siswa dengan autisme, semuanya sudah terbiasa,” ucap CEO LSPR itu.
Dia pun mengajak semua pihak untuk mendorong setiap perusahaan agar lebih terbuka dan inklusif terhadap pekerja difabel.
“Mari bersama-sama kita mendorong perusahaan untuk lebih terbuka, lebih inklusif, dan lebih memahami bahwa autisme bukanlah penghalang melainkan peluang untuk menciptakan dunia kerja yang lebih kaya, beragam, dan inovatif,” tutup Prita.