Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan riset bahasa isyarat lokal, salah satunya Kata Kolok, adalah upaya memperkaya sistem komunikasi penyandang Tuli dan mendukung pendidikan inklusif di Indonesia.
Pengembangan riset ini diinisiasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan dibahas dalam webinar Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) BRIN secara daring, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Dalam kesempatan ini, BRIN mengupas perkembangan Kata Kolok, bahasa isyarat alami yang berkembang secara turun-temurun di Desa Bengkala, Bali. Selain itu, diskusi juga membahas Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI), serta tantangan dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (EFL) bagi siswa dengan disabilitas rungu.
Kepala PR BSK BRIN, Ade Mulyanah, menjelaskan bahwa Kata Kolok merupakan contoh nyata evolusi bahasa isyarat yang muncul secara alami akibat konsentrasi genetik Tuli di suatu komunitas.
“Bahasa ini berkembang di desa terpencil sebagai respons alami terhadap kondisi sosial. Penelitiannya penting untuk memahami bagaimana bahasa muncul dan mendukung kebijakan inklusif,” kata Ade, mengutip laman resmi BRIN, Jumat (6/6/2025).
Menurut Ade, riset ini juga bertujuan merancang metode pengajaran bahasa Inggris yang efektif bagi siswa tunarungu, serta memperkuat identitas budaya mereka.
“Bahasa adalah jembatan. Dengan memahami Kata Kolok dan Bisindo, kita bisa menyusun strategi pendidikan yang lebih inklusif,” tambahnya.
Menurut National Deaf Center, sekitar 50 persen warga tuli usia produktif tidak bekerja. Seorang pengusaha berkomitmen membantu komunitas tuli di DC dengan restoran pizza Mozzeria yang mengajarkan pengunjung tentang budaya tuli, sekaligus wadah bagi ...
Asal Usul Kata Kolok
Peneliti dari Universitas de Moncton Kanada, Charles Gaucher, memaparkan asal-usul Kata Kolok di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng.
Saat ini, sekitar 44 warga desa merupakan penyandang disabilitas rungu, mewakili 1,5 persen populasi—angka yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global.
Gaucher mengemukakan, faktor perkawinan campur menyebabkan tingginya prevalensi gen DFNB3, pemicu ketulian turun-temurun.
“Menariknya, bukan hanya tunarungu yang menggunakan Kata Kolok. Penduduk yang bisa mendengar pun menguasainya, menciptakan lingkungan komunikasi dua arah yang inklusif,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dinamika bahasa terus berkembang seiring masuknya pendidikan inklusif dan wisatawan asing dalam 10–15 tahun terakhir. Peneliti kini fokus mengeksplorasi sejauh mana Kata Kolok masih digunakan, dan bagaimana ia berinteraksi dengan sistem komunikasi lainnya.
Tantangan Pendidikan Bahasa Inggris untuk Teman Tuli
Dalam keterangan yang sama, dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Ni Luh Putu Sri Adnyani, menyoroti kesenjangan dalam pengajaran bahasa Inggris bagi siswa Tuli di Bali.
Dalam audiensi dengan guru sekolah luar biasa (SLB) di Buleleng, ia menemukan bahwa sebagian besar pengajaran masih menggunakan kurikulum umum tanpa penyesuaian metode komunikasi.
“Guru-guru mengandalkan pembelajaran otodidak dari internet, tanpa latar belakang formal dalam pendidikan disabilitas. Di sekolah digunakan SIBI, tetapi di luar sekolah siswa lebih familiar dengan Bisindo. Ini menciptakan kebingungan,” ujar Ni Luh.
Dirinya melihat peluang di balik tantangan ini. “Siswa tunarungu bisa diajarkan bahasa Inggris dengan pendekatan berbasis bahasa isyarat internasional seperti American Sign Language (ASL), yang banyak tersedia referensinya,” sarannya. Ia juga mendorong pengembangan platform yang mengintegrasikan SIBI dan Bisindo.
Pentingnya Bedakan SIBI dan Bisindo
Sementara itu Peneliti PR BSK BRIN, Yeni Yulianti, menekankan pentingnya membedakan antara SIBI dan Bisindo.
Menurutnya, SIBI dikembangkan oleh orang dengar dan bersifat formal, sementara Bisindo merupakan bentuk komunikasi alami komunitas Tuli Indonesia yang lebih ekspresif dan inklusif.
“Bisindo mencerminkan budaya Tuli Indonesia dengan memanfaatkan dua tangan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Sementara SIBI lebih mirip struktur bahasa Indonesia lisan,” terang Yeni.