Peneliti Sebut Penting Bedakan SIBI dengan Bisindo, Mengapa?

16 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Membedakan antara Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dengan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) adalah hal penting.

Hal ini disampaikan Peneliti  Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yeni Yulianti.

Menurutnya, SIBI dikembangkan oleh orang dengar dan bersifat formal, sementara Bisindo merupakan bentuk komunikasi alami komunitas Tuli Indonesia yang lebih ekspresif dan inklusif.

“Bisindo mencerminkan budaya Tuli Indonesia dengan memanfaatkan dua tangan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Sementara SIBI lebih mirip struktur bahasa Indonesia lisan,” terang Yeni mengutip laman resmi BRIN, Jumat (6/6/2025).

Yeni pun mengkritisi pandangan "audisme", yakni anggapan bahwa orang dengar lebih superior.

“Tunarungu bukan tidak mampu, tetapi seringkali disabilitas muncul karena orang dengar tidak mampu berkomunikasi dengan mereka,” tegasnya.

Dalam keterangan yang sama, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra) BRIN, Herry Jogaswara, menegaskan pentingnya memetakan bahasa isyarat lokal di Indonesia.

Ia menyebut, Indonesia memiliki beberapa wilayah dengan masyarakat Tuli yang menggunakan bahasa isyaratnya sendiri. Seperti Bengkala, Bali dan komunitas Tuli di Ciparai, Bandung.

“Bahasa isyarat lokal seperti Kata Kolok (di Bengkala) menjadi kunci dalam mengembangkan SIBI dan Bisindo agar lebih relevan dan adaptif,” ujarnya.

“BRIN mendorong partisipasi lintas disiplin dalam pengembangan bahasa isyarat sebagai bagian dari kebijakan pendidikan inklusif nasional,” imbuhnya.

Berawal melihat teman-teman tuli kesulitan mendapatkan pekerjaan, tiga sekawan yakni Putri, Adhika, dan Erwin, tergerak hatinya untuk membuka peluang usaha yang dapat memberdayakan teman tuli. Sambil bekerja, mereka juga bisa mengajarkan bahasa isyar...

Pengembangan Riset Bahasa Isyarat Lokal

Pengembangan riset bahasa isyarat lokal, salah satunya Kata Kolok, adalah upaya memperkaya sistem komunikasi penyandang Tuli dan mendukung pendidikan inklusif di Indonesia. 

Pengembangan riset ini diinisiasi BRIN dan dibahas dalam webinar PR BSK BRIN secara daring, pada Selasa, 3 Juni 2025.

Dalam kesempatan ini, BRIN mengupas perkembangan Kata Kolok, bahasa isyarat alami yang berkembang secara turun-temurun di Desa Bengkala, Bali. Selain itu, diskusi juga membahas Bisindo, SIBI, serta tantangan dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (EFL) bagi siswa dengan disabilitas rungu.

Kepala PR BSK BRIN, Ade Mulyanah, menjelaskan bahwa Kata Kolok merupakan contoh nyata evolusi bahasa isyarat yang muncul secara alami akibat konsentrasi genetik Tuli di suatu komunitas.

“Bahasa ini berkembang di desa terpencil sebagai respons alami terhadap kondisi sosial. Penelitiannya penting untuk memahami bagaimana bahasa muncul dan mendukung kebijakan inklusif,” kata Ade.

Menurut Ade, riset ini juga bertujuan merancang metode pengajaran bahasa Inggris yang efektif bagi siswa tunarungu, serta memperkuat identitas budaya mereka.

“Bahasa adalah jembatan. Dengan memahami Kata Kolok dan Bisindo, kita bisa menyusun strategi pendidikan yang lebih inklusif,” tambahnya.

Asal Usul Kata Kolok

Peneliti dari Universitas de Moncton Kanada, Charles Gaucher, memaparkan asal-usul Kata Kolok di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng.

Saat ini, sekitar 44 warga desa merupakan penyandang disabilitas rungu, mewakili 1,5 persen populasi—angka yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global.

Gaucher mengemukakan, faktor perkawinan campur menyebabkan tingginya prevalensi gen DFNB3, pemicu ketulian turun-temurun.

“Menariknya, bukan hanya tunarungu yang menggunakan Kata Kolok. Penduduk yang bisa mendengar pun menguasainya, menciptakan lingkungan komunikasi dua arah yang inklusif,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dinamika bahasa terus berkembang seiring masuknya pendidikan inklusif dan wisatawan asing dalam 10–15 tahun terakhir. Peneliti kini fokus mengeksplorasi sejauh mana Kata Kolok masih digunakan, dan bagaimana ia berinteraksi dengan sistem komunikasi lainnya.

Foto Pilihan

Salah satu siswa didampingi personel Direktorat Polisi Satwa (Ditpolsatwa) berinteraksi dengan anjing pelacak K-9 di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) kota Depok, Jawa Barat, Senin (2/6/2025). (merdeka.com/Arie Basuki)
Read Entire Article