Kenalan dengan Ida Mujtahidah, Alumni LPDP yang Gaungkan Inklusi Disabilitas di Lingkungan Pesantren

1 day ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Ida Mujtahidah adalah sosok inspiratif yang membuktikan bahwa disabilitas bukan penghalang untuk mencapai cita-cita.

Ida atau akrab disapa Aida adalah alumni penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan lulusan Magister Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan capaian istimewa. Ia tercatat sebagai mahasiswa tercepat menyelesaikan studi di angkatannya, meraih IPK cumlaude, sekaligus menorehkan prestasi dengan tesis yang dinobatkan sebagai tesis terbaik program studi.

Aida lahir dan besar di Jombang, Jawa Timur, di lingkungan keluarga yang lekat dengan dunia pendidikan dan pesantren. Orang tuanya mengelola sebuah yayasan pondok pesantren. Sang ayah merupakan dosen di perguruan tinggi, sementara ibunya berprofesi sebagai guru.

Lingkungan ini membentuk Aida menjadi pribadi yang akrab dengan buku, diskusi, dan nilai-nilai keilmuan sejak usia dini. Perpustakaan keluarga menjadi ruang favoritnya. Di sanalah ia menghabiskan banyak waktu membaca buku sejarah, pengetahuan umum, hingga tafsir dan kajian keislaman khas pesantren.

Sejak kecil, Aida hidup dengan kondisi disabilitas daksa. Berbagai upaya medis telah dilakukan untuk mengetahui penyebab kondisinya, tetapi tidak ada diagnosis tunggal yang benar-benar pasti. Setiap dokter memberikan penafsiran berbeda. Alih-alih larut dalam ketidakpastian, Aida tidak ambil pusing. Ia telah menerima kondisinya dan memilih fokus untuk berkarya.

Ingin Hidup Mandiri

Sejak kecil, Aida tumbuh dalam pengawasan dan perhatian penuh dari keluarga. Orang tuanya selalu menugaskan santriwati untuk mendampinginya dalam berbagai aktivitas.

Kekhawatiran itu wajar—namun seiring waktu, Aida justru ingin membuktikan bahwa ia mampu hidup mandiri.

Ketika mulai melanjutkan pendidikan sarjana, Aida membuat komitmen besar yakni belajar hidup lebih mandiri. Keputusan itu tidak mudah, tetapi menjadi titik penting dalam pembentukan karakternya.

“Sekarang alhamdulillah ke mana-mana sendiri. Terbang ke Bali sendiri sudah tidak masalah. Keliling Jawa juga sudah bisa,” kata Aida mengutip laman Media Keuangan Kemenkeu, Rabu (17/12/2025).

Kemandirian itu bukan hanya soal mobilitas, tetapi juga keberanian mengambil keputusan hidup dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya sendiri.

Pendidikan adalah Hak yang Harus Diperjuangkan

Bagi keluarga Aida, pendidikan adalah hak yang harus diperjuangkan. Orang tuanya tidak pernah membatasi langkah Aida hanya karena kondisi fisiknya.

“Di lingkungan pesantren, sering kali penyandang disabilitas hanya disimpan di rumah. Tapi saya beruntung. Orang tua saya membuka banyak pintu dan memberi kepercayaan,” tutur Aida.

Kepercayaan itu ia bayar dengan prestasi akademik yang konsisten. Ia membuktikan bahwa kesempatan yang setara akan melahirkan potensi yang luar biasa.

Tahun 2022 menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan hidup Aida. Ia mengikuti seleksi Beasiswa LPDP—program beasiswa prestisius dari pemerintah Indonesia—dan berhasil lolos dalam satu kali percobaan.

Aida memilih Program Studi Hubungan Internasional (HI) untuk jenjang magister sejalan dengan ilmu sarjananya. Pilihan ini dulu sempat membuat ayahnya ragu. Namun, Aida memiliki cara tersendiri untuk meyakinkan sang ayah.

Ia mengutip Surat Al-Hujurat ayat 13, yang menegaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal.

“Saya bilang ke Abah, ini ayatnya HI banget. Ini perintah Allah untuk mengenal bangsa-bangsa. Saya tidak sanggup menafsirkan semua ayat, saya ingin mendalami satu saja,” kenang Aida. Ayat itu menjadi jembatan antara keyakinan, ilmu, dan restu keluarga.

Menjadi Mahasiswa Difabel di UGM

Masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Aida menghadapi tantangan baru. Meski UGM dikenal sebagai kampus inklusif, kenyataannya masih ada ruang-ruang yang perlu diperbaiki agar benar-benar ramah bagi penyandang disabilitas.

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika Aida menyampaikan langsung tantangan aksesibilitas kepada pimpinan fakultas. Ia diminta menunjukkan area kampus yang paling menyulitkan baginya.

Hasilnya, fakultas membangun jalur landai (ramp) yang sesuai dengan kebutuhan pengguna kursi roda dan kruk (tongkat). Ramp tersebut menjadi hasil nyata advokasi bersama dan yang pertama menghubungkan beberapa tempat sekaligus di Fisipol UGM.

“Saya dikirimi foto oleh teman-teman BEM dan fakultas saat ramp itu dibangun. Itu bukan untuk saya pribadi, tapi untuk semua,” ujarnya.

Bagi Aida, pendidikan inklusif bukan soal belas kasihan, melainkan soal hak dan keberlanjutan.

 Kerja keras Aida membuahkan hasil yang membanggakan. Ia tercatat sebagai mahasiswa tercepat lulus di antara mahasiswa Magister Hubungan Internasional konsentrasi MAIR angkatan 2023.

Pada November 2024, Aida resmi menyandang gelar magister. Tak berhenti di situ, tesis yang ia susun juga dinilai sebagai tesis terbaik program studi.

“Saya lulus pertama, dan setelah semua teman-teman lulus, saya dapat kabar bahwa tesis saya terpilih sebagai yang terbaik,” katanya.

Dengan ilmu yang dimiliki, kini ia aktif membantu yayasan keluarga, YPI Miftahul Ulum, khususnya di bidang penelitian dan pengembangan. Yayasan ini juga memiliki beberapa siswa disabilitas.

Selain itu, Aida menjadi peneliti independen di Jaringan Periset Disabilitas, terlibat dalam berbagai riset dan advokasi terkait isu disabilitas di Indonesia. 

Ia juga bergabung dengan sejumlah organisasi dan komunitas, seperti Ikatan Sarjana NU dan komunitas advokasi disabilitas lainnya.

Salah satu fokus Aida saat ini adalah meningkatkan disability awareness (kesadaran disabilitas) di lingkungan pondok pesantren. Ia melihat masih minimnya pemahaman tentang disabilitas di lembaga-lembaga pendidikan berbasis keagamaan.

Read Entire Article