Akses Teater bagi Komunitas Tuli Masih Terbatas, Jemari Hadir Lewat Format Pertunjukan yang Lebih Inklusif

Liputan6.com, Jakarta Akses teater bagi komunitas Tuli di Indonesia dinilai masih sangat minim karena mayoritas pertunjukan bergantung pada elemen audio sebagai penggerak utama cerita.

Dialog, musik, hingga efek suara masih menjadi pusat narasi, membuat penonton Tuli sering kesulitan mengikuti alur tanpa bantuan bahasa yang sesuai kebutuhan mereka.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa teater Indonesia belum sepenuhnya inklusif m eski minat penonton Tuli terhadap pertunjukan seni sebenarnya cukup tinggi.

Berdasarkan hal itu, produser teater Pascal Meliala menilai bahwa industri panggung perlu memberikan sebuah alternatif cara bercerita yang bisa diakses oleh lebih banyak kelompok. “Selama ini kita menganggap suara sebagai bahasa utama teater. Padahal, banyak penonton tidak mengandalkan pendengaran untuk menikmati cerita,” ujar Pascal saat ditemui di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Kamis (20/11/2025).

Menurutnya, teater yang ramah bagi penyandang Tuli perlu memusatkan cerita pada bahasa isyarat, gerak tubuh, dan visual bukan menjadikannya sekadar pelengkap.

Sebagai salah satu upaya untuk memberikan pertunjukan inklusif bakal digelar teater musikal Tulii pertama di Indonesia bertajuk Jemari. Acara ini bakal hadir di Salihara Jakarta pada 3-7 Desember 2025.

Salah satu kendala terbesar dalam menghadirkan pertunjukan inklusif adalah cara berpikir industri teater yang masih audio-centris. Selama ini, panggung dirancang untuk memperkuat dialog dan musik sebagai penentu emosi. 

Akibatnya, komunitas Tuli sering berada pada posisi sebagai tamu yang harus menyesuaikan diri, bukan sebagai penonton yang diperhitungkan secara setara.

Perubahan harus dimulai dari proses kreatif. Cerita perlu dirancang dengan bahasa visual yang kuat, komposisi panggung yang mudah dibaca, serta koreografi gerak yang dapat memberikan ritme tanpa harus mengandalkan suara. 

“Teman-teman Tuli bukan tidak bisa menikmati teater. Mereka hanya butuh cara penyampaian yang berbeda. Ketika visualnya kuat, mereka bisa menangkap emosi dan konflik dengan sangat tajam,” ujar Dhea koreografer Jemari. 

Pendekatan visual juga menjawab kebutuhan nyata komunitas Tuli yang selama ini merasakan jarak dengan dunia pertunjukan. Banyak teater konvensional sulit diikuti karena informasi penting sering disampaikan lewat dialog cepat atau musik yang mengatur ketegangan adegan. 

“Kami sering tertinggal alur ceritanya. Kalau tidak ada interpreter atau teks, ya kami hanya menebak-nebak,” kata Mufi salah satu teman Tuli

Dalam pertunjukan dengan format yang lebih inklusif, bahasa isyarat menjadi komponen inti, bukan tambahan. Gerak tubuh, perubahan cahaya, hingga pola ritme visual menggantikan fungsi musik sebagai penanda suasana.

Pendekatan ini menciptakan cerita yang dapat dinikmati tanpa perlu mendengar suara. Metode tersebut bukan hanya ramah bagi penonton Tuli, tetapi juga memperkaya bahasa teater itu sendiri. 

“Ketika visual diperkuat, semua orang justru lebih fokus ke detail emosi pemain. Teater jadi terasa lebih universal,” ujar Dhea.