Perempuan Disabilitas 2 hingga 5 Kali Lebih Berisiko Alami Kekerasan

3 weeks ago 2

Liputan6.com, Jakarta Perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko 2-5 kali lebih tinggi mengalami kekerasan ketimbang wanita non disabilitas.

Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2024 melaporkan adanya 330.097 kasus kekerasan berbasis gender, dengan 98,5 persen di antaranya terjadi di ranah domestik.

Dosen Studi Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana (SPs), Universitas Gadjah Mada (UGM), Ratna Noviani, SIP, M.Si., Ph.D mengatakan bahwa masih ada beberapa kendala untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan disabilitas. Ruang aman bagi perempuan disabilitas sulit tercapai meskipun sudah ada instrumen hukum yang mengatur hal tersebut.

Tantangan yang ada salah satunya soal penegakkan hukum yang masih lemah karena kurangnya komitmen yang nyata. Pemerintah sering berhenti di level retorika atau seremonial tetapi tidak menyediakan infrastruktur yang nyata dan substantif.

“Regulasi yang ada sering tidak disertai dengan aturan turunan dan penyesuaian teknis di lapangan, sehingga tidak mampu menyentuh kebutuhan perempuan dengan disabilitas,” papar Ratna, Selasa (7/10), mengutip laman ugm.ac.id.

Tantangan lainnya, program-program inklusif untuk perempuan disabilitas belum bisa diakses secara merata. Di sisi lain, infrastruktur untuk perempuan disabilitas masih minim dan terkadang tidak mempertimbangkan kebutuhan nyata. Misalnya, beberapa shelter untuk korban kekerasan sudah ada, tetapi masih jarang yang ramah kursi roda dan ramah disabilitas sensorik.

Patriarki dan Diskriminasi Perempuan Disabilitas

Tantangan yang masih dirasakan oleh perempuan disabilitas di ranah domestic adalah patriarki dan diskriminasi. Kedua masalah ini masih kuat dan berkembang di banyak institusi.

Hal ini membuat stigma terhadap perempuan disabilitas dinormalisasikan. Akibatnya, perempuan disabilitas semakin terbungkam, suaranya tidak didengarkan, dan dianggap tidak penting.

Menurut Ratna, dalam membangun ruang aman bagi perempuan disabilitas tidak cukup hanya lewat kebijakan, tetapi juga harus berangkat dari hal-hal kecil yakni kesadaran sehari-hari dari lingkungan sosial terdekat.

“Membangun ruang aman bagi perempuan disabilitas tidak cukup hanya menyediakan fasilitas atau membuat aturan, tetapi harus dilakukan dengan mengguncang logika sosial yang menormalisasi ketidakadilan sosial terhadap penyandang disabilitas (ableism),” tegasnya.

Tanamkan Kesadaran Anti-ableism Sejak Dini

Bagi Ratna, selain keluarga yang menjadi ruang aman paling dasa, pendidikan juga menjadi arena kunci.

Sekolah dan kampus bisa menanamkan kesadaran anti-albeism sejak dini, bukan hanya melalui kurikulum formal tetapi juga praktik sehari-hari.

“UGM memiliki Unit Layanan Disabilitas dan UKM Peduli Difabel, ini menjadi langkah bagus yang perlu ditiru oleh institusi pendidikan lain. Jadi, kesadaran tidak hanya ditumbuhkan dari dari diskusi di ruang kelas tetapi juga dari praktik empiris melalui relasi, dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Selain itu, Ratna juga menambahkan strategi lain yang bisa dilakukan untuk menambahkan ruang aman tersebut yaitu dengan memanfaatkan media dan platform digital. Saluran daring dapat dimanfaatkan untuk lebih memperkuat kesadaran tentang keadilan gender dan anti-albeism.

Media memungkinkan kampanye cepat menyebar, mendorong solidaritas lintas wilayah, dan menawarkan representasi perempuan disabilitas yang emansipatoris.

“Media digital bisa menjadi instrumen efektif untuk menghadirkan suara perempuan disabilitas, memperlihatkan kapasitas mereka, dan menantang norma ableist,” tutup Ratna.

Read Entire Article