Koalisi Disabilitas Kritik Definisi Saksi dalam RKUHAP yang Baru Disahkan

1 day ago 8

Liputan6.com, Jakarta Pada Selasa, 18 November 2025, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) resmi menjadi Undang-Undang (UU). Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan setelah peserta rapat paripurna mengatakan "setuju".

Pengesahan dilakukan meski para pegiat demokrasi melihat ada kejanggalan dalam RKUHAP. Salah satunya Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHP yang menemukan berbagai ketentuan bersifat diskriminatif, stigmatif, dan tidak akomodatif terhadap kelompok disabilitas.

Koalisi tersebut menilai ada beberapa poin yang berpotensi melanggar hak-hak penyandang disabilitas dalam RKUHAP tersebut. Salah satunya, Koalisi Disibilitas menilai RKUHAP diskriminatif pada penyandang disabilitas karena masih menggunakan definisi saksi pada Pasal 1 angka 47. Begini bunyi pasal tersebut:

“Saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, atau orang yang memiliki dan/atau menguasai data dan/atau informasi yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa guna kepentingan Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Menurut Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI) Mahmud Fasa mewakili Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, pasal tersebut mendiskriminasi penyandang disabilitas yang memiliki gangguan pendengaran dan penglihatan.  

“Kalimat ‘yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri’ mendiskriminasi penyandang disabilitas yang mengalami hambatan pendengaran dan penglihatan,” kata Mahmud Fasa dalam keterangan pers ditulis Senin, 24 November 2025.

Pendapat Lain dari DPR RI

Dalam keterangan lain, Anggota Fraksi PKS DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan rasa syukur karena Undang-Undang yang baru ini dinilai mengakomodasi secara khusus perlindungan bagi para penyandang disabilitas.

“Satu hal yang patut disyukuri, dalam RUU yang kini sudah disahkan menjadi Undang-Undang ada pasal-pasal yang secara khusus mengakomodir hak-hak para penyandang disabilitas di hadapan hukum. Ini adalah satu langkah maju yang sekaligus sejalan dengan amanah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas,” jelas Ledia yang merupakan Ketua Panja RUU Disabilitas Tahun 2014 hingga RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang di tahun 2016.

Menurutnya, terdapat 2 pasal yang mengakomodasi hak penyandang disabilitas secara khusus dalam KUHAP baru ini. Pada Pasal 145 para penyandang disabilitas dinyatakan berhak atas pelayanan dan sarana prasarana berdasarkan ragam penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.

Sementara dalam Pasal 146 pelaku pidana yang merupakan seorang penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat maka pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan berdasarkan penetapan hakim lewat sidang terbuka.

Jalan Perlindungan Lebih Baik bagi Difabel

Diakomodasinya hak para penyandang disabilitas ini menurut Ledia menjadi jalan perlindungan yang lebih baik bagi para penyandang disabilitas menuju tercapainya keadilan hukum bagi mereka.

Sebab, lanjut anggota Badan Legislasi DPR RI ini, selama ini tak sedikit muncul kasus yang melibatkan para penyandang disabilitas yang justru merugikan mereka karena lemahnya perlindungan hukum terutama saat berada dalam posisi sebagai korban.

“Ada satu kasus di Jawa Barat di mana ada seorang perempuan penyandang disabilitas tunanetra sekaligus tunadaksa dan tunawicara yang diperkosa namun dalam proses penyidikan sebagai saksi dia tidak mendapat pendampingan sehingga sulit mendapatkan keadilan hukum.”

“Begitu juga kita pernah mendengar ada kasus tunanetra yang ditipu soal uang saat berjualan, atau anak dengan disabilitas mental yang mencuri, selama ini belum mendapatkan hak-hak hukumnya untuk ditangani dengan diberikan pendampingan yang sesuai kondisi dan ragam disabilitasnya. Sangat sulit bagi mereka mendapatkan keadilan dalam penyelesaian kasus hukumnya,” papar Ledia.

Ledia berharap, kehadiran Undang-Undang KUHAP yang baru ini mampu melindungi seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali dari tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Sekaligus mendekatkan bangsa Indonesia pada cita-cita tercapainya suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera atau tata tentrem kerta raharja.

Read Entire Article