Jakarta World Cinema 2025: Layar, Wacana, dan Budaya Tanggung Jawab

Liputan6.com, Jakarta - Dalam era banjir konten dan ledakan platform digital, festival film kembali memainkan peran penting sebagai ruang ekspresi yang berakar pada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

Jakarta World Cinema (JWC) 2025 bukan sekadar ajang menonton film, melainkan arena pertukaran gagasan dan kesadaran, tempat sineas dan publik berdialog melalui bahasa visual tentang dunia yang kita tinggali.

Film Sebagai Cermin Realitas dan Bahasa Empati

Film selalu lebih dari sekadar hiburan; ia adalah arsip sosial dan alat empati. Melalui gambar dan suara, sineas mengungkap sisi-sisi realitas yang sering luput dari pemberitaan.

Dalam perspektif Reception Theory yang dikemukakan oleh Stuart Hall (1980) dan Hans Robert Jauss (1982), penonton bukanlah penerima pasif, melainkan pencipta makna aktif yang menafsirkan film berdasarkan pengalaman sosial dan budaya mereka.

Di JWC 2025, film-film yang menyinggung isu kesetaraan gender, lingkungan, dan dinamika kota besar, dan kondisi geopolitik menantang penonton untuk berpikir ulang tentang posisi manusia di tengah perubahan sosial. Film, dengan demikian, menjadi ruang dialog batin kolektif — mempertemukan pengalaman visual dengan kesadaran sosial.

Festival Film: Dari Tontonan ke Wacana Publik

Nilai sejati festival film justru hadir setelah layar padam. Diskusi, forum sineas, dan kritik publik menjadikan festival bukan sekadar tontonan, tapi ruang wacana sosial.

Konsep ini sejalan dengan teori public sphere Jürgen Habermas (1989): bahwa media dan seni berperan menciptakan ruang diskusi yang membentuk kesadaran publik.

Jakarta World Cinema 2025 membuktikan hal itu. Festival ini melahirkan debat sehat antara penonton, pembuat film, dan pengamat budaya — memperluas fungsi film menjadi alat pendidikan sosial dan refleksi moral.

Di tengah kebebasan berekspresi yang luas, muncul kebutuhan akan etika budaya layar.

Lembaga Sensor Film (LSF) hadir bukan sebagai pembatas kreativitas, melainkan sebagai penjaga nilai kemanusiaan dan moral publik. Melalui Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM), LSF mengubah paradigma sensor dari kontrol menjadi kolaborasi dan edukasi.

Sensor yang bijak bukanlah “menggunting”, melainkan menyaring dengan kesadaran. LSF kini berperan sebagai mitra bagi festival dan sineas — memberi ruang bagi ekspresi kreatif yang tetap menghormati keberagaman sosial, moral, dan budaya bangsa.

Pendekatan baru ini membuat sensor bukan lawan kebebasan, tetapi teman berpikir. Kreativitas yang sadar etika justru memperkaya sinema dan memperluas jangkauan maknanya di tengah publik.

Jakarta World Cinema 2025: Miniatur Demokrasi Kultural

Jakarta World Cinema menampilkan wajah Indonesia yang kosmopolitan dan reflektif — kota yang menjadi titik temu antara globalitas dan lokalitas.

Di tengah perbedaan gaya, tema, dan visi, festival ini memperlihatkan sinema sebagai demokrasi budaya: terbuka, beragam, namun berakar pada tanggung jawab sosial.

Festival ini adalah cermin masyarakat modern yang sehat — tempat estetika bertemu etika, layar bertemu nurani. Dan di dalam keseimbangan itu, LSF berdiri bukan sebagai palu sensor, melainkan kompas moral layar Indonesia.

Sinema, Sensor, dan Kesadaran

Jakarta World Cinema 2025 membuktikan bahwa film bukan hanya cermin kehidupan, tapi juga ruang pencarian makna dan nilai.

Selama sineas tetap jujur berkarya dan LSF terus menjaga kebijaksanaan sensor dengan pendekatan budaya, maka layar Indonesia akan terus menjadi cermin kesadaran dan ruang pendidikan publik yang mencerahkan bangsa.

Tentang Penulis:

Nurrohman Efendi adalah seorang Tenaga Sensor LSF periode 2020 – 2024 dan 2024 – 2028 yang bertugas melakukan penelitian dan penilaian terhadap film.

Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana Ilmu Komunikasi di STIKOM Interstudi.