Mentransformasi Security Operation Center, dari Pasif Jadi Jantung Ketahanan Bisnis

2 days ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Seperti menara kontrol bandara yang terus mengawasi ribuan pergerakan pesawat setiap detik, Security Operation Center (SOC) adalah “menara kontrol keamanan digital” yang memastikan lalu lintas data berjalan aman. Tanpa SOC yang bekerja real-time, organisasi ‘buta’ terhadap ancaman yang saat ini bisa muncul setiap detik, dari ransomware, serangan berbasis AI, insider threat, hingga kebocoran data.

Tanpa ‘menara kontrol’, ‘langit’ menjadi kacau. Tanpa SOC, perusahaan menjadi rentan di tengah laju ancaman siber yang padat dan semakin canggih. Di sepanjang semester 1 tahun 2025 saja, detektor-detektor AwanPintar.id® yang dipasang di jaringan internet utama Indonesia, telah mendeteksi lebih dari 133 juta serangan siber ke Indonesia. Apabila dibiarkan, akan berpotensi menimbulkan kerugian finansial, serta rusaknya reputasi dan kepercayaan pelanggan.  

Laporan terbaru dari IBM mendapati cost rata-rata global akibat insiden kebocoran data mencapai US$4,4 juta. Laporan itu juga mendapati 97% organisasi pernah mengalami insiden keamanan yang terkait dengan Kecerdasan Buatan (AI), namun tak punya kontrol akses AI yang memadai. Artinya, cara-cara pendeteksian konvensional sudah tak relevan untuk menangani frekuensi dan serangan yang makin canggih.

Dalam lanskap keamanan digital seperti ini, SOC bukan lagi sebuah pilihan. SOC adalah prasyarat bagi organisasi yang ingin bertahan di tengah intensitas serangan digital, bagi organisasi yang tak mau melanggar regulasi dalam bisnisnya, dan bagi organisasi yang ingin mempertahankan kepercayaan publik maupun pelanggannya.

SOC Sebagai Pilar Strategis Pertahanan dan Kepatuhan

SOC modern memiliki fungsi untuk memonitor, mendeteksi, dan merespons ancaman maupun insiden keamanan setiap saat. Pendekatan pasif, yang berbasis laporan dan logmanual, sudah tidak lagi relevan. SOC yang kuat harus mampu mengidentifikasi anomali sebelum menjadi insiden. 

SOC juga bukan sekadar nice-to-have. Regulasi secara tegas menuntut kemampuan nyata organisasi dalam mendeteksi dan menangani ancaman siber.

UU Perlindungan Data Pribadi 2022 mewajibkan perlindungan data dan notifikasi insiden, Perpres No. 47/2023 menekankan deteksi dan respons siber terintegrasi, sementara di sektor keuangan, Peraturan BI No. 2/2024 dan Peraturan OJK No. 11/2022 mensyaratkan pemantauan risiko TI dan manajemen insiden berkelanjutan. Termasuk RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, yang sedang digodok oleh pemerintah, yang menekankan pentingnya upaya pendeteksian dini dan mitigasi terhadap berbagai bentuk ancaman siber. Regulator menuntut bukti operasional, bukan sekadar dokumen.

SOC juga adalah wujud operasionalisasi Annex A ISO 27001 sebagai acuan organisasi dalam memilih langkah-langkah setelah penilaian risiko (risk assesment) ancaman siber. SOC menjalankan praktik keamanan melalui logging, monitoring, deteksi, dan respons insiden secara terpadu. SOC modern juga bersifat proaktif, dengan kemampuan mendeteksi kerentanan yang sedang dieksploitasi, memantau dark web untuk kebocoran kredensial, serta memanfaatkan threat intelligence yang relevan dengan konteks Indonesia. Dengan pendekatan ini, SOC bertransformasi dari pusat pemantauan menjadi pusat pencegahan, menjadikan risk assessment ISO 27001 bersifat dinamis dan selaras dengan lanskap ancaman aktual.

Modernisasi SOC dengan Teknologi Canggih dan Threat Intelligence

Modernisasi SOC menjadi keharusan seiring serangan siber yang makin cepat dan kompleks. Pendekatan manual dan reaktif tidak lagi memadai. SOC modern harus mampu memberi visibilitas menyeluruh, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengotomatiskan respons. Memperkuat SOC dengan teknologi SIEM akan memungkinkan korelasi log lintas sistem, SOAR mempercepat pemulihan melalui otomatisasi respons, UEBA mendeteksi anomali perilaku yang luput dari aturan berbasis signature, sementara machine learning membantu memprediksi pola serangan berbasis data historis dan real-time.

Namun, teknologi saja tidak cukup tanpa konteks ancaman yang tepat. Threat intelligenceglobal sering terlalu umum dan kurang relevan dengan karakter serangan di Indonesia, yang memiliki pola, teknik, dan infrastruktur lokal yang berbeda. Threat intelligence nasional seperti AwanPintar.id® dan CSIRTRadar.id® menjadi pembeda.

AwanPintar.id® mengolah jutaan data ancaman harian dari jaringan nasional Indonesia menjadi indikator ancaman real-time yang relevan bagi SOC. CSIRTRadar.id® melengkapi dengan pemantauan kerentanan dan dark web untuk mendeteksi potensi kebocoran kredensial dan rencana serangan lebih dini. Digabungkan dengan layanan boloSOC yang diperkuat keahlian dari tim profesional, platform threat intelligence lokal ini menghadirkan solusi lengkap untuk perlindungan data dan aset digital.

Dengan intelligence lokal yang kontekstual, SOC menjadi bukan hanya lebih canggih, tetapi juga lebih efektif dalam pencegahan dan pengendalian risiko siber.

Kesimpulan: SOC Bukan Sekadar Tools

SOC modern bukan lagi sekadar kumpulan tools keamanan. SOC adalah jantung dari proses pengawasan, sehingga menjadikannya fondasi utama terbentuknya enterprise digital tepercaya. Melalui SOC, pengawasan keamanan, tata kelola data, dan kepatuhan regulasi berjalan terintegrasi dan berkelanjutan. Kepatuhan tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi diterjemahkan menjadi keunggulan kompetitif yang memperkuat kepercayaan pelanggan, mitra, dan regulator di era ekonomi digital.

Di tengah lonjakan ancaman siber, regulasi yang makin ketat, dan model bisnis digital yang menjadikan kepercayaan sebagai aset utama, SOC adalah penyangga utama risiko sistemik. Karena itu, SOC harus dipahami sebagai investasi strategis pada ketahanan, integritas data, kepatuhan, dan kesinambungan bisnis. Modernisasi SOC dengan teknologi mutakhir, otomatisasi, dan threat intelligence yang relevan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan agar organisasi tetap aman, dipercaya, dan berkelanjutan.

Read Entire Article