Pelajaran dari Isu Morowali

20 hours ago 12

Liputan6.com, Jakarta - Isu Morowali beberapa waktu terakhir sesungguhnya bukan sekadar polemik teknis tentang sebuah bandara khusus di kawasan industri. Ia adalah cermin kecil dari dinamika politik, tata kelola ruang udara, dan cara negara mengatur relasi dengan modal global. 

Pernyataan Menteri Pertahanan tentang “tidak boleh ada negara dalam negara” di Morowali, yang kemudian disusul penegasan Wakil Menteri Perhubungan bahwa Bandara IMIP adalah fasilitas legal di bawah pengawasan Kemenhub, memperlihatkan kepada publik bahwa di balik satu kasus bandara, tersembunyi perbedaan sudut pandang di antara para pemegang kewenangan negara.

Dalam kacamata ilmu politik, ini bukan hal yang mengejutkan. C. Wright Mills, dalam teori power elite, menjelaskan bahwa dalam negara demokrasi yang modern sekalipun, keputusan strategis kerap diambil hanya oleh segelintir elite yang berada di simpul kekuasaan yakni politisi, pejabat militer, dan kalangan bisnis. Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State mengurai lebih jauh bagaimana para aktor negara , politisi, pebisnis, militer, dan ilmuwan berinteraksi, berkompetisi, dan berkolaborasi dalam arena kekuasaan. 

Di atas semua itu, Lord Palmerston, Perdana Menteri Inggris abad ke-19, pernah mengatakan bahwa dalam politik tidak ada pertemanan abadi maupun permusuhan abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Dengan kacamata inilah isu Morowali sebaiknya dibaca sebagai manifestasi konkret dari dinamika kepentingan di antara para elite dan aktor negara, yang lalu “tumpah” ke ruang publik dalam bentuk perbedaan pernyataan dan tafsir.

Dari kisah ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang patut dicatat – bukan hanya untuk Morowali, tetapi untuk desain tata kelola wilayah udara nasional secara keseluruhan.

1. Pentingnya Kembali pada Prinsip Unity of Command: Menghidupkan Dewan Penerbangan.

Pelajaran pertama berkaitan dengan arsitektur kelembagaan. Pada tahun 1955 Indonesia pernah memiliki Dewan Penerbangan yang beranggotakan para pemangku kepentingan utama penerbangan nasional dan diketuai secara bergantian oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Perhubungan. Di sana, isu-isu strategis terkait ruang udara, baik sipil maupun militer, didudukkan dalam satu meja, satu forum, dan satu suara.

Dalam perspektif manajemen klasik Henri Fayol, salah satu prinsip paling penting adalah unity of command  kesatuan komando. Prinsip ini tertanam dalam kerangka POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling). Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan hanya akan efektif bila garis komando dan kewenangan jelas, tidak tumpang tindih, dan tidak saling melemahkan. 

Isu Morowali justru menunjukkan sebaliknya yaitu ada kementerian yang mengingatkan bahaya “negara dalam negara”, ada kementerian lain yang menegaskan legalitas dan kelengkapan izin. Bukan berarti salah satunya pasti keliru, tetapi bagi publik tampak adanya disonansi dalam suara negara. Di sinilah relevansi gagasan menghidupkan kembali sebuah Dewan Penerbangan atau mekanisme sejenis sebagai “ruang sinkronisasi” antara Kemhan, Kemenhub, TNI AU, AirNav, Bea Cukai, Imigrasi, intelijen, dan aktor terkait lainnya. 

Dengan wadah terpadu seperti itu, kebijakan pengelolaan wilayah udara  dalam hal ini terutama yang terkait bandara berstatus khusus, kawasan industri strategis, dan aktivitas penerbangan internasional  akan lebih selaras dengan prinsip unity of command. Negara tampil dengan satu suara, bukan paduan nada yang saling bertubrukan. Sebuah Orkestra yang memang selalu memerlukan seorang konduktor yang memberi aba-aba atau perintah sesuai partitur.

2. Morowali sebagai Alarm Kedaulatan Udara Bahaya di Wilayah yang Didelegasikan

Pelajaran kedua menyentuh inti persoalan kedaulatan negara di udara. Morowali terletak di kawasan yang secara yuridis dan operasional berada di bawah kewenangan penuh otoritas penerbangan nasional Indonesia. Tidak ada perjanjian internasional yang mendelegasikan layanan navigasi penerbangan di atas Morowali kepada negara lain. 

Dengan kata lain, di atas kertas, wilayah udara Morowali adalah “milik sendiri” atau Indonesia berdaulat di udara sepenuhnya. Namun justru di ruang udara yang sepenuhnya berada di bawah kendali nasional itulah muncul kegaduhan tentang potensi “negara dalam negara”. Ini menimbulkan pertanyaan yang lebih tajam yaitu jika di Morowali saja di mana wilayah udaranya berada full di bawah National Aviation Authority NKRI bisa muncul persoalan tata kelola sedemikian serius, bagaimana dengan kawasan-kawasan yang wilayah udaranya berada di bawah kewenangan asing, seperti di sekitar Natuna dan Tanjung Pinang yang terkait dengan Perjanjian RI–Singapura 2022.

Bahaya di sini bersifat berlapis. Pertama, dari sisi kedaulatan ketika bagian dari wilayah udara teritorial didelegasikan, maka kemampuan negara untuk menjalankan tiga fungsi utama kedaulatan udara control of the air, use of airspace, dan law enforcement menjadi terbatas atau setidaknya bergantung pada koordinasi dengan pihak lain.

Kedua, dari sisi persepsi jika di kawasan yang sepenuhnya berada di bawah kendali sendiri saja bisa muncul gejala “negara dalam negara”, maka di kawasan yang sebagian kewenangan teknisnya dipegang otoritas asing, risiko terjadinya kesenjangan pengawasan dan pengendalian bisa lebih besar. 

Dari sini pelajarannya jelas, Indonesia harus berdaulat secara nyata di seluruh wilayah udara teritori NKRI, bukan hanya di atas kertas perjanjian dan regulasi. Isu Morowali adalah alarm dini bahwa tata kelola ruang udara membutuhkan pembenahan serius dan bahwa pendelegasian wilud harus dilihat secara hati-hati dari perspektif kedaulatan, bukan sekadar efisiensi teknis.

Read Entire Article