Liputan6.com, Jakarta - Disrupsi media bukan lagi wacana akademik yang jauh dari realitas. Ia hadir dalam keseharian lembaga penyiaran. Iklan yang menurun, perhatian publik yang terpecah, dan persaingan dengan platform digital global yang bergerak cepat dan nyaris tanpa regulasi menjadi permasalahan yang harus dihadapi. Di tengah perubahan yang serba cepat ini, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di daerah kembali diuji. Bukan hanya soal relevansi, tetapi juga soal cara menjalankan tanggung jawabnya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menempatkan KPI/KPID sebagai lembaga negara independen yang mewakili kepentingan publik. Tugas lembaga independen ini mencakup penetapan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), pengawasan isi siaran, hingga pemberian sanksi atas pelanggaran. Dalam praktik sehari-hari, fungsi pengawasan inilah yang paling sering terlihat oleh publik. KPI/KPID kerap hadir ketika terjadi kesalahan atau aduan. Dari sini muncul kesan yang sederhana, bahkan sinis, KPI hanya sebagai tukang semprit.
Kesan tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi jelas tidak utuh. Sebab tanggung jawab KPI/KPID tidak berhenti pada memberi teguran atau sanksi. Ada mandat yang lebih besar dan lebih sunyi, yakni menumbuhkembangkan iklim penyiaran yang sehat. Penyiaran bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan, melainkan ruang publik yang ikut membentuk cara masyarakat berpikir, bersikap, dan memahami realitas sosial. Ketika lembaga penyiaran melemah, yang terancam bukan hanya bisnis media, tetapi juga keberagaman suara dan kualitas percakapan publik.
Dalam situasi persaingan yang tidak seimbang, pendekatan regulasi yang empatik menjadi semakin penting. Empati tidak berarti membenarkan pelanggaran atau melemahkan aturan. Empati adalah upaya memahami konteks di balik sebuah siaran. Banyak persoalan muncul bukan karena niat buruk, melainkan karena keterbatasan sumber daya, tekanan operasional dan tuntutan bertahan hidup. Regulasi yang hanya dibaca sebagai teks hukum, tanpa memahami realitas lapangan, berisiko melahirkan kepatuhan karena takut, bukan kesadaran yang tumbuh dari pemahaman.
Karena itu, pembinaan seharusnya menjadi wajah utama pengawasan. Dialog yang terbuka, literasi regulasi yang berkelanjutan, serta pendampingan etika siaran jauh lebih efektif dibanding sekadar deretan sanksi administratif. Ketika lembaga penyiaran memahami alasan di balik sebuah aturan, kepatuhan akan tumbuh secara lebih tulus dan berjangka panjang. Relasi antara regulator dan lembaga penyiaran pun tidak lagi dibangun atas kecurigaan, melainkan tanggung jawab bersama.
Pendekatan ini sangat relevan bagi lembaga penyiaran berjaringan dan lembaga penyiaran lokal. Di banyak daerah, radio dan televisi bukan sekadar sarana hiburan, tetapi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Mereka menjaga bahasa daerah, menyuarakan persoalan warga, dan sering menjadi penghubung antara negara dan publik. KPI/KPID yang mampu membaca dinamika lapangan dan membangun dialog akan lebih efektif menjalankan fungsinya sebagai regulator sekaligus mitra lembaga penyiaran dalam menjaga iklim penyiaran agar tetap sehat.
Tantangan lain yang tidak bisa diabaikan adalah ketimpangan regulasi. Siaran konvensional diawasi secara ketat, sementara konten digital bergerak bebas tanpa standar yang setara. Ketimpangan ini menimbulkan rasa tidak adil di kalangan lembaga penyiaran. KPI/KPID memang memiliki keterbatasan kewenangan, tetapi tidak kehilangan tanggung jawab moral. Suara KPI/KPID diperlukan untuk mendorong pembaruan kebijakan agar regulasi tidak tertinggal oleh laju perubahan media.
Di balik semua itu, kualitas personal para komisioner menjadi faktor penentu. Rekrutmen yang berbasis kompetensi, integritas, pemahaman dinamika penyiaran dan standar objektif adalah syarat mutlak. Tanpa fondasi ini, empati mudah disalahartikan sebagai keberpihakan dan ketegasan berisiko berubah menjadi penyalahgunaan kuasa. Independensi KPI/KPID bukan hanya soal posisi kelembagaan, tetapi soal keberanian etis menjaga kepercayaan publik sembari tetap menjaga suasana kebatinan lembaga penyiaran yang sedang berjuang melawan disrupsi.
Sering kali terlupakan bahwa regulasi bekerja dalam ruang yang sangat manusiawi. Di balik pasal-pasal regulasi penyiaran dan surat teguran, ada pekerja media yang bergulat dengan keterbatasan. Ada redaksi kecil yang bekerja dengan sumber daya minim yang bersanding dengan idealisme yang terus diuji oleh realitas ekonomi. Dalam situasi seperti itu, kehadiran KPI/KPID seharusnya dirasakan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat bersama bahwa penyiaran adalah kerja kebudayaan yang menyangkut hajat hidup publik.
Di sinilah komisioner KPI/KPID dituntut terus ngelmu dan menemukan harmonisasi antara penegakan aturan dan kondisi lembaga penyiaran yang sedang berjuang melawan disrupsi, tanpa harus mengorbankan salah satunya. Tanpa itu, mereka hanya akan menjadi robot penegak regulasi tanpa empati atau sebaliknya empati dengan menafikan penegakan regulasi. Bener tur Pener istilah Jawanya. Benar dalam pemahaman aturan sekaligus penerapan dalam kerangka kearifan lokalNamun semuanya tidak instan, ketekunan untuk belajar di tengah dinamika yang terjadi. Tanpa terkecuali, baik komisioner yang telah berpengalaman, praktisi media penyiaran yang memiliki jam terbang tinggi ataupun komisioner baru yang belum pernah berdinamika dengan dinamika penyiaran sebelumnya, harus terus mengasah diri.
Pada akhirnya, tanggung jawab KPI/KPID di tengah disrupsi media adalah soal cara memaknai pengawasan. Apakah pengawasan dijalankan semata untuk mencari kesalahan, atau untuk merawat ekosistem penyiaran? Apakah regulasi menjadi alat kuasa, atau wujud tanggung jawab bersama terhadap ruang publik? KPI/KPID tidak dituntut menjadi lembaga yang lunak, tetapi lembaga yang manusiawi. Tegas pada nilai, adil dalam tindakan, dan empatik dalam pendekatan. Di tengah perubahan media yang terus bergerak cepat, sikap inilah yang akan menjaga penyiaran tetap relevan, berdaya, dan bermartabat.
Oleh: Komisioner KPID Jatim (2016-2025) dan Pemerhati Dinamika Penyiaran, Immanuel Yosua T

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5453241/original/009692200_1766472815-WhatsApp_Image_2025-12-23_at_13.43.45.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5450626/original/035863100_1766151603-WhatsApp_Image_2025-12-19_at_09.57.43.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4878682/original/015534800_1719648934-260529_opini_Laksamana_Sukardi___.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1448550/original/003955100_1482914623-20161228-Chappy-Hakim-IA1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5290464/original/056522900_1753113336-WhatsApp_Image_2025-07-21_at_20.06.02_c2d8139b.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5293058/original/065406200_1753281729-WhatsApp_Image_2025-07-23_at_20.48.39.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5375172/original/076301400_1759912975-WhatsApp_Image_2025-10-08_at_3.21.23_PM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5390549/original/037748600_1761280659-c3d654a0-98bc-4604-9550-d9904ee79ef0.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5368939/original/097051700_1759400945-251002_Opini_ANGELINA_THEODORA_200x-100.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3980259/original/059576700_1648689083-220331_OPINI__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5363057/original/012614000_1758880226-WhatsApp_Image_2025-09-26_at_16.48.04.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5227678/original/003642000_1747817883-WhatsApp_Image_2025-05-21_at_15.45.23.jpeg)










:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406089/original/006566900_1762512009-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5161503/original/090966100_1741846958-1741840983693_penyebab-autis.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5032120/original/020113400_1733123995-fotor-ai-2024120214155.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423821/original/058306800_1764096334-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380909/original/004147800_1760438190-Ilustrasi_perundungan_di_Grobogan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5405703/original/088328900_1762495927-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5369993/original/045407100_1759484291-WhatsApp_Image_2025-10-03_at_16.34.53.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5293741/original/045684500_1753341485-2148817396.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406319/original/030571500_1762537820-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406988/original/070457800_1762657462-uld_pb.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5398804/original/020121200_1761897445-Abdul_Rauf.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355962/original/087526300_1758388524-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403042/original/097694400_1762315278-job_fair_disabilitas_pramono_anung.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5402912/original/011979600_1762310973-skrining_retina_1.jpg)