Liputan6.com, Jakarta Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Setiap Agustus kita rayakan dengan lomba, bendera, dan wajah penuh semangat kolektif. Namun, di balik euforia, kita perlu bertanya: kemerdekaan macam apa yang kita miliki hari ini?.
Dulu lawan kolonialisme jelas: kapal, serdadu, senjata. Kini, “penjajahan” datang dengan wajah halus: algoritma, arus data, dan platform digital yang menjadi bagian rutinitas sehari-hari. Ia tak selalu terlihat, namun pelan-pelan membentuk cara kita hidup, berpikir, bahkan bermimpi.
Ruang Publik yang Menyempit
Anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia yang makin didominasi layar. Ruang publik konvensional seperti taman, perpustakaan, ruang dialog antar generasi—makin menyempit, digantikan ruang digital yang algoritmis.
Survei APJII 2025 menunjukkan gejala mengejutkan. Gen Alpha kini menyumbang hampir seperempat aktivitas digital, naik drastis dari hanya 9 persen tahun sebelumnya. Anak-anak yang baru belajar membaca sekaligus menjadi pendorong utama pasar gim, video pendek, dan edutech dengan dompet orang tua sebagai mesin transaksinya.
Laporan Alan Turing Institute (2024) menegaskan bahwa platform digital kini membentuk ulang tumbuh kembang anak. Imajinasi, empati, dan daya kritis makin digantikan ketergantungan pada algoritma. Studi MIT (2025) bahkan menunjukkan bukti fisiologis: mahasiswa yang menulis esai dengan bantuan AI mengalami penurunan memori jangka pendek dan rasa kepemilikan terhadap tulisan.
Di sinilah muncul paradoks: generasi depan disiapkan jadi pemain ekonomi digital, tetapi terancam menjadi “pengguna pasif”—bukan pencipta nilai.
Dari Pagar ke Strategi
Pemerintah sebenarnya sudah bergerak. Hadir PP TUNAS untuk melindungi anak di ruang digital, juga Peta Jalan AI Nasional yang menandai sektor prioritas (kesehatan, pendidikan, pertanian, mobilitas, layanan publik). Dokumen ini penting sebagai pagar awal.
Namun pagar saja tidak cukup. Kita butuh strategi berdaulat yang memastikan ruang digital kita tidak hanya jadi “halaman bermain” bagi raksasa global. Tanpa menjadi paranoid, risiko “kolonialisme baru” sangat nyata. Indonesia hanya jadi pemasok data mentah, sementara algoritma dan teknologi canggih kita impor. Pola ini persis masa lalu, ketika rempah diangkut ke luar, aturan dagang ditentukan orang lain.
Utang Institusional dan Ketergantungan Pengetahuan
Ekonom Haskel & Westlake (2022) menyebut istilah institutional debt, yaitu ketika institusi hukum, fiskal, dan ekonomi masih berbasis logika aset berwujud, padahal realita telah berubah menjadi ekonomi intangible—pengetahuan, data, algoritma.
Kolonialisme dulu sengaja menjaga jarak pengetahuan. Pribumi diajari seni liberal dasar, bukan sains dan rekayasa teknologi. Tujuannya melahirkan elit lokal yang bisa mengelola administrasi kolonial, tapi tidak cukup kritis menantang kekuasaan. Hari ini pola itu berulang dalam bentuk ketergantungan pengetahuan. Kita cepat mengadopsi teknologi impor, tapi lambat membangun kapasitas domestik.
Alih-alih memimpin ASEAN menghadapi fragmentasi geopolitik digital, kita sering terjebak bersaing satu sama lain. Tanpa reformasi institusi—pajak, riset, ekosistem talenta—“tanah air digital” kita berisiko dikuasai pihak luar.
Peran Masyarakat Sipil
Sejarah teknologi modern menunjukkan, peran civil society organization (CSO) kerap beperan vital. Vaclav Smil (2023) mengingatkan bagaimana karya Rachel Carson Silent Spring melahirkan gerakan lingkungan yang menumbangkan DDT, bagaimana bensin bertimbal ditinggalkan karena tekanan publik, dan bagaimana protes global pasca-Three Mile Island hingga Chernobyl mendorong Jerman menutup program nuklir.
Dalam dunia digital, peran ini tak kalah penting. José van Dijck dkk. (2018) menekankan pentingnya platform cooperativism dan komunitas pengguna sebagai benteng nilai bersama—privasi, transparansi, keadilan data—di tengah dominasi korporasi global. Organisasi masyarakat sipil, koperasi digital, hingga gerakan open knowledge, adalah bagian vital dari soft infrastructure yang menjaga kedaulatan digital.
Tanpa mereka, regulasi hanya pagar kosong. Dengan mereka, kebijakan bisa hidup sebagai norma, standar, dan ekosistem kepercayaan.
Paradoks Produktivitas
Ekonomi digital menjanjikan pertumbuhan, tapi data menunjukkan paradoks. Pada 1970-an, Robert Solow berkata: “Anda bisa melihat era komputer di mana-mana, kecuali di statistik produktivitas.” Hari ini, bayangan paradoks itu masih terasa. OECD (2017) dan IMF (2023) mencatat, lonjakan produktivitas digital hanya dinikmati segelintir perusahaan frontier. Mayoritas usaha, apalagi UMKM, tak merasakan hal yang sama.
Haskel & Westlake menyebut ini intangibles crisis, di mana investasi pada aset tak berwujud (pengetahuan, jaringan, ide) melambat sejak 2008. Mereka mencirikan perekonomian intangible dengan empat-S, yaitu Scalability, Sunkenness, Spillovers, dan Synergies. Pertumbuhan ekonomi darinya, sangat tergantung pada kematangan institusi. Tanpa perlindungan spillovers, tanpa pembiayaan yang berani menanggung sunk cost, dan tanpa infrastruktur kota maupun sosial yang menopang synergies, produktivitas digital hanya akan menumpuk di segelintir aktor besar.
Paradoks juga terjadi di tingkat individu. Alan Turing Institute (2024) menunjukkan generative AI bisa mempercepat keterampilan, tapi sekaligus mereduksi deep learning. MIT (2025) bahkan mencatat melemahnya konektivitas otak pada mahasiswa yang bergantung pada LLM.
Tambahan data APJII 2025 lebih gamblang, 76,71% pengguna internet di Indonesia tidak memanfaatkannya untuk kegiatan ekonomi. Mayoritas hanya konsumtif. Internet riuh, tapi kontribusi riil ke produktivitas nasional masih minim.
Kisah dari China memberi perspektif lain. Zak Dychtwald dalam Young China (2018) menggambarkan generasi muda yang resah, tetapi diarahkan oleh Chinese Dream, sebuah mimpi kolektif untuk menjadikan China makmur (2021) dan maju penuh (2049).
Pemerintah China bahkan aktif mensponsori diaspora pendidikan, mengirim mahasiswa ke universitas top dunia untuk menyerap keterampilan kritis, lalu pulang sebagai motor transformasi. Visi kolektif ini menjahit mimpi personal ke tujuan nasional: dari Made in China menuju Created in China.
Kontras dengan Indonesia, di mana 76,71% pengguna internet masih konsumtif. Di sinilah letak paradoks kita, generasi muda terjebak sebagai low-value users, sementara negara lain sudah membangun creator class.
Pertanyaan strategisnya: apakah kita punya Indonesian Dream? Sebuah visi yang mampu mengikat mimpi personal generasi muda ke arah kolektif bangsa, lebih tinggi dari sekadar Visi 2045.
Melanjutkan Jembatan Emas
Diponegoro mengajarkan bahwa kedaulatan bukan hanya soal tanah, tapi juga soal makna. Soedirman menunjukkan sakit bukan penghalang, melainkan energi spiritual untuk bergerilya. Hatta menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas: nilainya bukan pada jembatan itu sendiri, melainkan keberanian menyeberang.
Hari ini, perjuangan itu hadir di ranah digital. Di algoritma yang kita pilih, di pusat data yang kita kelola, di kurikulum yang kita bangun.
Dari rempah ke ruang digital, kedaulatan tetaplah inti. Pertanyaannya sederhana tapi mendasar: apakah kita puas jadi konsumen algoritma asing, atau berani berdiri sebagai produsen pengetahuan dan inovasi dari tanah air?
Membangun Indonesian Dream berarti menjahit imajinasi digital ke dalam mimpi kedaulatan. Sebuah mimpi tentang ruang digital yang adil, produktif, dan berdaulat, bukan sekadar hanyut dalam arus global, melainkan berani menulis ulang arah geoekonomi dan geostrategi kita. (Tulisan ini adalah pendapat pribadi).

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4878682/original/015534800_1719648934-260529_opini_Laksamana_Sukardi___.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5390549/original/037748600_1761280659-c3d654a0-98bc-4604-9550-d9904ee79ef0.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5375172/original/076301400_1759912975-WhatsApp_Image_2025-10-08_at_3.21.23_PM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5368939/original/097051700_1759400945-251002_Opini_ANGELINA_THEODORA_200x-100.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3980259/original/059576700_1648689083-220331_OPINI__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5363057/original/012614000_1758880226-WhatsApp_Image_2025-09-26_at_16.48.04.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5293058/original/065406200_1753281729-WhatsApp_Image_2025-07-23_at_20.48.39.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5227678/original/003642000_1747817883-WhatsApp_Image_2025-05-21_at_15.45.23.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5341581/original/077067500_1757317072-WhatsApp_Image_2025-09-08_at_2.02.31_PM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5185637/original/024575800_1744455939-250410_OPINI_PRI_AGUNG_RAKHMANTO_200x-100.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5316861/original/007356200_1755252783-WhatsApp_Image_2025-08-15_at_17.06.20.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5290464/original/056522900_1753113336-WhatsApp_Image_2025-07-21_at_20.06.02_c2d8139b.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5221314/original/045843400_1747315750-WhatsApp_Image_2025-05-15_at_19.38.25.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5292291/original/022889500_1753249923-WhatsApp_Image_2025-07-18_at_10.16.13_AM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5287704/original/087405000_1752830776-john_fredy.jpeg)










:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5306844/original/053364400_1754451455-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5236094/original/8487869-g_8___8_potret_mas_brewog_sound_horeg_ungkap_nilai_full_set_audio_1_truk_capai_angka_miliaran_kini_punya_10_yang_laris_manis_keliling_jawa_timur_mas_brewog_sound_horeg-20250526-034-gunturm.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5306465/original/017032900_1754393503-WhatsApp_Image_2025-08-05_at_18.28.55.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5252086/original/007300100_1749857885-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1427491/original/065234600_1481000798-PANTI-JOMPO.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5221694/original/003674800_1747367357-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288092/original/067044200_1752891478-9f3bfbe0-fecb-44d2-b8d4-1b4836ebe25d.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/3934359/original/048979900_1644900282-IMG20200129114536.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3442371/original/048867300_1619606697-20210428-Melihat_Lebih_Dekat_Para_Santri_Tadarusan_dengan_Al-Quran_Braille-4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5286819/original/086327400_1752758458-irak.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5283987/original/096142600_1752570992-dna-cceeb4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5285952/original/053913200_1752732898-54641762928_3a60b4a2af_c.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288739/original/058288800_1752989078-Screenshot_2025-07-18-15-12-39-63_1c337646f29875672b5a61192b9010f9_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5266915/original/058178600_1751023901-IMG-20250627-WA0180.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5287155/original/043147000_1752812525-WhatsApp_Image_2025-07-18_at_11.20.42_AM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5284413/original/015257600_1752633547-72dabf29-5dee-4de2-bc9f-770e1ee1ad21.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5289351/original/002614900_1753068428-aad3ff27-7e8a-4a28-ae02-b50df1701565.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288850/original/048376300_1752998023-Screenshot_2025-07-20_143619.jpg)