Liputan6.com, Paris - Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay sangat menyesalkan keputusan Presiden Donald Trump untuk sekali lagi menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
"Keputusan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar multilateralisme dan kemungkinan besar akan berdampak terlebih dahulu pada banyak mitra kami di AS—komunitas-komunitas yang sedang mengupayakan pencatatan situs di Daftar Warisan Dunia, status Kota Kreatif, dan University Chairs," sebut Azoulay dalam pernyataan tertulisnya di situs web UNESCO, Selasa (22/7/2025).
"Namun, meskipun disesalkan, pengumuman ini bukan hal mengejutkan dan UNESCO telah mempersiapkan diri."
University Chairs merujuk pada program kerja sama antara UNESCO dan universitas di berbagai negara. Melalui program ini, UNESCO menunjuk universitas atau lembaga pendidikan tinggi sebagai pusat keahlian di bidang tertentu—misalnya hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, atau pendidikan budaya.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kami telah melakukan reformasi struktural besar-besaran dan mendiversifikasi sumber-sumber pendanaan kami. Berkat upaya yang dilakukan oleh organisasi sejak 2018, tren penurunan kontribusi keuangan dari AS telah berhasil diimbangi, sehingga saat ini kontribusi AS hanya mencakup delapan persen dari total anggaran organisasi, dibandingkan dengan 40 persen untuk beberapa entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya; sementara pada saat yang sama, anggaran keseluruhan UNESCO terus meningkat secara stabil. Saat ini, organisasi lebih terlindungi secara finansial, berkat dukungan yang konsisten dari banyak negara anggota dan kontributor swasta. Kontribusi sukarela ini telah meningkat dua kali lipat sejak 2018," tutur Azoulay.
Pada tahap ini, ungkap Azoulay, pihaknya tidak mempertimbangkan adanya pemutusan hubungan kerja.
UNESCO: Alasan AS Sama Seperti Tujuh Tahun Lalu
Terlepas dari keluarnya AS dari UNESCO pada masa jabatan pertama Trump tahun 2017, Azoulay menyatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya justru semakin gencar menjalankan misinya—hadir di berbagai wilayah yang membutuhkan, berkontribusi bagi perdamaian, dan menunjukkan betapa pentingnya mandat yang diembannya.
"UNESCO berhasil menyelesaikan operasi terbesar dalam sejarahnya, yaitu rekonstruksi kota tua Mosul yang dimulai pada 2018; mengadopsi satu-satunya instrumen penetapan standar global pertama tentang etika kecerdasan buatan; serta mengembangkan program-program besar untuk mendukung budaya dan pendidikan di wilayah konflik, baik di Ukraina, Lebanon, maupun Yaman. UNESCO juga telah meningkatkan tindakannya dalam hal keanekaragaman hayati dan warisan alam, serta pendidikan bagi anak perempuan," ujar Azoulay.
"Alasan yang dikemukakan oleh AS untuk menarik diri dari organisasi adalah alasan yang sama seperti tujuh tahun lalu, meskipun situasinya telah berubah secara mendalam, ketegangan politik telah mereda, dan UNESCO kini menjadi forum yang langka untuk membangun konsensus atas multilateralisme yang konkret dan berorientasi pada tindakan."
Alasan-alasan (AS) tersebut, kata Azoulay, juga bertentangan dengan kenyataan atas upaya UNESCO, khususnya di bidang pendidikan tentang Holocaust dan perjuangan melawan antisemitisme.
"UNESCO adalah satu-satunya badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertanggung jawab atas isu-isu tersebut dan pekerjaannya telah secara bulat dipuji oleh organisasi-organisasi khusus utama seperti United States Holocaust Memorial Museum di Washington DC, World Jewish Congress ... serta American Jewish Committee (AJC). UNESCO telah mendukung 85 negara dalam mengimplementasikan alat-alat dan melatih guru untuk mendidik siswa tentang Holocaust dan genosida, serta memerangi penyangkalan terhadap Holocaust dan ujaran kebencian," terang Azoulay.
"UNESCO akan terus menjalankan misi-misi ini, meskipun dengan sumber daya yang tidak terelakkan akan berkurang. UNESCO terbuka bagi semua bangsa di dunia, dan AS—akan selalu—disambut dengan sepenuh hati. Kami akan terus bekerja sama dengan semua mitra kami di AS di sektor swasta, dunia akademis, dan organisasi nirlaba, serta akan terus menjalin dialog politik dengan pemerintah AS dan Kongres."
Alasan AS Mundur dari UNESCO
Mengutip pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS, keterlibatan yang berkelanjutan dalam UNESCO tidak sejalan dengan kepentingan nasional AS.
"UNESCO mendorong isu-isu sosial dan budaya yang memecah belah, serta terlalu memusatkan perhatian pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dari PBB—sebuah agenda globalis dan ideologis untuk pembangunan internasional yang bertentangan dengan kebijakan luar negeri kami yang mengedepankan kepentingan AS (America First)," bunyi pernyataan Kemlu AS.
"Keputusan UNESCO untuk menerima 'Negara Palestina' sebagai negara anggota sangat bermasalah, bertentangan dengan kebijakan AS dan telah berkontribusi pada berkembangnya retorika anti-Israel di dalam organisasi tersebut."
Keterlibatan AS dalam organisasi internasional ke depan, sebut Kemlu AS, akan difokuskan pada upaya untuk memajukan kepentingan AS secara jelas dan tegas.
"Sesuai dengan Pasal II(6) Konstitusi UNESCO, penarikan diri AS akan berlaku efektif pada 31 Desember 2026. Hingga saat itu, AS akan tetap menjadi anggota penuh UNESCO," imbuh Kemlu AS.