Partai Pengusung Japanese First Muncul sebagai Kekuatan Politik Baru di Jepang Pasca Pemilu

3 months ago 36

Liputan6.com, Tokyo - Partai sayap kanan ekstrem Sanseito tampil sebagai salah satu pemenang dalam pemilu Majelis Tinggi Jepang pada Minggu (20/7/2025). Partai ini berhasil menarik dukungan publik melalui retorika yang memperingatkan tentang "invasi diam-diam" oleh para imigran, serta janji-janji populis berupa pemotongan pajak dan peningkatan anggaran kesejahteraan.

Partai ini berawal dari YouTube selama pandemi COVID-19, dengan menyebarkan teori konspirasi seputar vaksinasi dan keberadaan kelompok elite global. Dari sana, Sanseito perlahan menembus arus utama politik melalui kampanye bertema "Japanese First".

Dalam pemilu kali ini, Sanseito berhasil menambah 14 kursi di Majelis Tinggi, sehingga kini memiliki total 15 kursi — lonjakan besar dari hanya satu kursi yang mereka miliki sebelumnya. Sementara itu, di Majelis Rendah yang lebih berpengaruh, Sanseito masih hanya memiliki tiga kursi.

"Frasa 'Japanese First' dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tentang membangun kembali kehidupan masyarakat Jepang dengan cara melawan globalisme. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus melarang sepenuhnya orang asing atau bahwa semua orang asing harus keluar dari Jepang," kata Sohei Kamiya, pemimpin partai berusia 47 tahun itu, dalam wawancara dengan penyiar lokal, Nippon Television, setelah pemilu.

Sementara itu, Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dipimpin Perdana Menteri Shigeru Ishiba, bersama mitra koalisinya Komeito, secara resmi kehilangan mayoritas kursi di Majelis Tinggi. Setelah sebelumnya kalah dalam pemilu Majelis Rendah pada Oktober, kekuatan mereka di parlemen kini semakin melemah, sehingga mereka harus lebih bergantung pada dukungan partai oposisi untuk menjalankan pemerintahan.

Majelis Rendah Jepang secara konstitusional memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding Majelis Tinggi.

"Sanseito telah menjadi bahan pembicaraan, terutama di Amerika Serikat (AS), karena pandangan populis dan sikap anti-imigran yang mereka usung. Namun, ini sebenarnya lebih mencerminkan kelemahan LDP dan Ishiba daripada kekuatan Sanseito sendiri," tutur Joshua Walker, kepala lembaga nirlaba Japan Society yang berbasis di AS.

Terinspirasi Donald Trump

Dalam jajak pendapat menjelang pemilu, 29 persen pemilih mengatakan kepada NHK bahwa jaminan sosial dan penurunan angka kelahiran merupakan kekhawatiran utama mereka. Sebanyak 28 persen menyatakan kekhawatiran terhadap harga beras yang telah naik dua kali lipat dalam setahun terakhir. Isu imigrasi berada di urutan kelima, dengan hanya 7 persen responden yang menyorotinya.

"Kami dikritik xenofobik dan diskriminatif. Masyarakat akhirnya menyadari bahwa media yang salah dan Sanseito yang benar," kata Kamiya.

Menurut para analis politik, pesan Kamiya menarik hati para pemilih yang frustrasi dengan lemahnya ekonomi dan nilai tukar yang membuat Jepang dibanjiri wisatawan dalam beberapa tahun terakhir, semakin mendorong kenaikan harga yang sulit dijangkau masyarakat Jepang.

Masyarakat Jepang yang menua dengan cepat juga telah menyaksikan jumlah penduduk asing mencapai rekor sekitar 3,8 juta tahun lalu, meskipun itu hanya 3 persen dari total populasi—jauh lebih kecil dibanding proporsi serupa di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Kamiya, mantan manajer supermarket dan guru bahasa Inggris, mengatakan kepada Reuters sebelum pemilu bahwa dia terinspirasi oleh gaya politik Donald Trump yang berani dan menantang arus utama.

Setelah pemilu, Kamiya menyatakan dia berencana mengikuti jejak partai-partai populis baru di Eropa dengan membangun aliansi bersama partai-partai kecil lainnya, alih-alih bekerja sama dengan pemerintahan LDP yang telah berkuasa hampir sepanjang sejarah Jepang pasca perang.

Fokus Sanseito pada isu imigrasi dinilai telah mendorong politik Jepang bergeser ke kanan.

Hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara, pemerintahan Ishiba mengumumkan pembentukan satuan tugas baru untuk memerangi kejahatan dan tindakan tidak tertib oleh warga negara asing. LDP bahkan menjanjikan target "nol warga asing ilegal".

Kamiya, yang memenangkan kursi pertama partainya pada 2022 setelah menuai kontroversi karena dianggap menyarankan agar lembaga kekaisaran Jepang menghidupkan kembali praktik selir, telah berupaya meredam sejumlah gagasan kontroversial yang sebelumnya dianut partainya.

Namun, selama kampanye, Kamiya tetap menuai kecaman setelah menyebut kebijakan kesetaraan gender sebagai kesalahan karena mendorong perempuan bekerja dan menghalangi mereka memiliki anak.

Untuk melunakkan citra dirinya yang disebut "berdarah panas" dan menarik dukungan di luar basis utama Sanseito yang terdiri dari pria usia 20–30-an tahun, Kamiya mengajukan banyak kandidat perempuan dalam pemilu.

Salah satunya adalah penyanyi bernama, Saya, yang berhasil merebut satu kursi di Tokyo.

Seperti partai-partai oposisi lainnya, Sanseito menyerukan pemotongan pajak dan peningkatan tunjangan anak—kebijakan yang membuat para investor khawatir terhadap kondisi fiskal Jepang dan tumpukan utangnya yang sangat besar. Namun, berbeda dengan oposisi lainnya, Sanseito memiliki kehadiran daring yang jauh lebih besar, yang dimanfaatkannya untuk menyerang kemapanan politik Jepang.

Terobosan Sanseito di Majelis Tinggi, kata Kamiya, barulah permulaan.

"Kami perlahan-lahan menambah jumlah kursi dan memenuhi harapan rakyat. Dengan membangun organisasi yang kuat dan mengamankan 50 atau 60 kursi, saya yakin kebijakan kami akhirnya akan terwujud," imbuhnya.

Read Entire Article