Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan merombak total sistem adopsinya per Sabtu (19/7/2025) dengan mengakhiri praktik puluhan tahun menyerahkan proses adopsi kepada lembaga swasta, yang selama ini telah memicu berbagai tuduhan penyalahgunaan.
Ekonomi terbesar keempat di Asia itu telah mengirim lebih dari 140.000 anak ke luar negeri antara tahun 1955 hingga 1999.
Dan sebuah penyelidikan resmi yang diselesaikan tahun ini menyimpulkan bahwa proses adopsi internasional itu dipenuhi berbagai penyimpangan, termasuk pemalsuan status anak sebagai yatim piatu, pemalsuan identitas, dan proses penyaringan orang tua angkat yang tidak memadai.
Hak-hak anak-anak Korea Selatan, menurut temuan penyelidikan penting yang dilakukan oleh Komisi Pengungkapan Kebenaran, telah dilanggar.
Badan independen yang dibentuk oleh negara menyerukan permintaan maaf resmi dan menyalahkan pemerintah atas berbagai permasalahan tersebut, terutama karena gagal mengatur biaya adopsi yang pada akhirnya menjadikan proses adopsi sebagai industri yang berorientasi pada keuntungan.
Dalam sistem yang telah direstrukturisasi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengambil tanggung jawab penuh atas seluruh proses adopsi. Demikian disampaikan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan seperti dilansir CNA.
"Perubahan ini merupakan langkah penting untuk menjamin keselamatan dan mempromosikan hak-hak anak angkat," tambah kementerian tersebut.
Lembar Kelam dalam Sejarah
Adopsi internasional dimulai setelah Perang Korea sebagai cara untuk mengeluarkan anak-anak berdarah campuran—hasil hubungan antara ibu Korea dan tentara Amerika Serikat (AS)—dari sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi homogenitas etnis.
Praktik ini berkembang menjadi bisnis besar pada era 1970-an hingga 1980-an, menghasilkan jutaan dolar bagi lembaga adopsi internasional, seiring Korea Selatan keluar dari kemiskinan pascaperang dan mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan agresif.
Namun, menurut hasil penyelidikan Komisi Pengungkapan Kebenaran yang dibentuk pemerintah Korea Selatan, sistem ini telah gagal melindungi anak-anak. Salah satu temuan utamanya adalah tidak dijalankannya prosedur persetujuan hukum yang semestinya, yang kemudian memicu berbagai laporan mencolok tentang anak-anak yang dinyatakan hilang, namun ternyata diadopsi ke luar negeri.
Ketua komisi Park Sun-young mengatakan bahwa ini merupakan "bagian yang memalukan" dari sejarah Korea Selatan.
Di bawah sistem yang baru, prosedur-prosedur utama seperti menilai kelayakan orang tua angkat dan mencocokkan mereka dengan anak-anak akan ditentukan oleh komite kementerian, sesuai dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak”.
Sebelumnya, proses ini dilakukan oleh lembaga adopsi besar dengan pengawasan negara yang sangat minim.
"Dengan restrukturisasi sistem adopsi publik ini, negara kini mengambil tanggung jawab penuh untuk menjamin keselamatan dan hak-hak seluruh anak angkat," kata Kim Sang-hee, direktur kebijakan populasi dan anak di Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.
Para aktivis mengatakan bahwa langkah ini seharusnya hanya menjadi titik awal dan memperingatkan bahwa ini masih jauh dari cukup.
"Saya memang percaya sudah saatnya Korea menutup semua lembaga adopsi swasta, namun saya juga tidak yakin bahwa menyerahkan sepenuhnya proses adopsi yang baru kepada negara sudah cukup," ujar penulis Lisa Wool-rim Sjoblom, seorang anak angkat asal Korea yang dibesarkan di Swedia, kepada AFP.
Pemerintah, ungkap Sjoblom, seharusnya memprioritaskan pelaksanaan temuan dari komisi kebenaran, mengeluarkan permintaan maaf resmi, dan bekerja untuk membantu puluhan ribu warga Korea yang telah dikirim ke luar negeri untuk diadopsi—termasuk dalam hal pemulihan identitas, pencarian keluarga asal, dan pemulihan hak-hak mereka.
"Pemerintah perlu segera mengakui seluruh pelanggaran hak asasi manusia yang telah difasilitasi, didorong, dan dilakukannya secara sistematis, serta secepatnya memulai proses reparasi," imbuhnya.