Liputan6.com, Jakarta - Di tengah meningkatnya ketidakpastian iklim dan tekanan ekonomi global, masa depan kopi tidak lagi bisa bergantung pada pola lama. Tantangan tersebut hanya bisa dijawab jika seluruh ekosistem kopi, yaitu mulai dari kebun hingga konsumen, dipandang sebagai satu kesatuan.
Di sisi hulu, meski permintaan akan kopi terlihat meningkat, persoalan regenerasi petani menjadi tantangan yang mendesak. Di banyak negara penghasil kopi, generasi muda mulai enggan melanjutkan pekerjaan di kebun seperti pendahulunya. Pendapatan yang tidak menentu serta risiko iklim yang tinggi membuat bertani kopi kian dipandang kurang menjanjikan sebagai jaminan masa depan.
Christian Hackenberg, Green Coffee Trader Starbucks Coffee Trading Company (SCTC) yang berbasis di Swiss, telah menyaksikan perubahan itu secara langsung selama lebih dari 18 tahun berkeliling di hampir 30 negara penghasil kopi.
“Produksi global telah tumbuh secara signifikan selama 20 tahun terakhir atau dua dekade terakhir,” ungkap Christian kepada Liputan6.com di Starbucks Visitor Center Hacienda Alsaicak, Kosta Rika pada Jumat (12/12). “Begitu pula konsumsi global, baik dari segi volume, pasar, maupun tren. Jadi, bisa dibilang konsumsi global menjadi jauh lebih beragam.”
Perubahan itu bukan hanya soal volume, tetapi juga cara kopi diproduksi dan dipahami oleh konsumen. Negara-negara penghasil kopi, menurut Christian, telah meningkatkan standar produksi, teknologi, dan cara mereka terhubung dengan pasar global.
Praktik C.A.F.E. dan Tantangan Generasi Petani
Starbucks saat ini membeli sekitar lima juta karung kopi per tahun—dengan 99 persen di antaranya bersumber dari pemasok yang telah diverifikasi melalui Praktik C.A.F.E. (Coffee and Farmer Equity) atau Praktik Kopi dan Kesetaraan Petani.
“Praktik C.A.F.E. dirancang untuk membantu petani menanam kopi dengan cara yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab,” ujar Christian. “Dan untuk membantu kami memastikan akses terhadap kopi di komunitas penghasil kopi dalam jangka panjang.”
Program ini tidak hanya berbicara tentang standar lingkungan dan sosial, tetapi juga produktivitas dan kelayakan ekonomi petani. Bagi Christian, isu tersebut menjadi semakin mendesak karena ada tantangan lain yang mulai membayangi masa depan kopi, yakni regenerasi petani.
Ia menyebutkan bahwa salah satu hal yang paling membuatnya cemas adalah soal generational relay atau estafet antargenerasi di komunitas kopi.
“Rata-rata usia petani kopi di beberapa negara saat ini sudah di atas 50 tahun,” ungkap Christian. “Kami telah mengamati tren migrasi generasi penerus ke daerah perkotaan.”
Jika bertani kopi tidak lagi menarik secara ekonomi, dan banyak generasi muda memilih untuk bekerja di area urban, pertanyaan besar pun muncul: siapa yang akan memproduksi kopi di masa depan?
Karena itu, Christian menilai seluruh pendekatan Starbucks, mulai dari riset varietas hingga pendampingan petani, dirancang agar kopi tetap menjadi mata pencaharian yang layak dan menarik bagi generasi berikutnya.
Kopi, Komunitas, dan Dampak Sosial
Selama hampir dua dekade bekerja di negara asal kopi, Christian menyimpan banyak pengalaman personal. Namun satu momen di Rwanda membekas paling dalam.
Saat itu, Christian terlibat langsung dalam sebuah prosesi yang berfokus pada rekonsiliasi pascagenosida Rwanda — sebuah upaya mempertemukan para korban genosida dengan individu-individu yang sebelumnya terlibat dalam kejahatan selama tragedi tersebut. Upaya ini bertujuan untuk memulihkan hubungan sosial dan mengembalikan rasa damai di tengah komunitas yang pernah terbelah oleh kekerasan ekstrem.
Yang membuat pengalaman ini semakin bermakna adalah peran kopi sebagai medium pemersatu.
“Bagi saya, itu adalah pengalaman yang luar biasa. Saya sangat tersentuh secara emosional melihat bahwa melalui kopi, di negara seperti Rwanda dengan sejarahnya, kita dapat berkontribusi untuk menyatukan kembali orang-orang dan memulihkan perdamaian di masyarakat melalui kopi,” ungkapnya.
Pengalaman itu memperkuat pandangannya bahwa kopi bukan hanya komoditas, tetapi juga alat pembangunan sosial. Sebuah prinsip yang juga tercermin di Hacienda Alsacia, kebun kopi seluas 240 hektare milik Starbucks yang menyediakan fasilitas kesehatan, perumahan pekerja musiman, pusat penitipan anak, serta kebijakan nol toleransi terhadap pekerja di bawah umur.
Hacienda Alsacia sebagai Pusat Riset Kopi Global
Hacienda Alsacia di Kosta Rika menempati posisi unik. Bagi Christian, kebun kopi ini bukan sekadar tempat produksi, melainkan pusat pengujian masa depan kopi.
“Di Hacienda Alsacia, pada dasarnya kami menguji teknologi, strategi, dan solusi baru untuk produksi kopi serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan para produsen kopi di seluruh dunia, terlepas dari apakah mereka memasok kopi ke Starbucks atau tidak,” tutur Christian.
“Pada dasarnya ini semacam pusat penelitian dan pengembangan kami,” lanjutnya.
Di lapangan, fungsi itu terlihat jelas. Hacienda Alsacia beroperasi sebagai lab terbuka—petani dari berbagai negara dapat melihat langsung bagaimana varietas kopi baru dikembangkan, bagaimana sistem pengolahan air diuji, hingga bagaimana praktik kompos dan pemanfaatan limbah dilakukan. Pengetahuan tersebut dibagikan secara gratis.
Penelitian dilakukan dalam jangka panjang dan penuh ketelitian. Pohon kopi membutuhkan waktu 2–3 tahun untuk mulai berbuah, dan varietas hibrida yang dikembangkan di sini dipantau efektivitasnya hingga 15 tahun sampai siap dinyatakan pantas untuk produksi. Fokusnya adalah menghasilkan tanaman yang lebih tahan terhadap karat daun, jamur, dan tekanan iklim, tanpa mengorbankan kualitas rasa.
Bagi Christian, inilah nilai utama Hacienda Alsacia.
“Tempat ini benar-benar menjadi pusat inovasi, pusat penelitian, dan tempat di mana kita dapat mengembangkan solusi untuk tantangan di pasar kopi,” katanya, “untuk membantu memastikan masa depan kopi bagi industri ini.”
Potensi dan Tantangan Indonesia
Dalam konteks Asia, Indonesia menempati posisi strategis. Bagi Christian, peluangnya sangat besar—baik sebagai pasar konsumsi maupun sebagai negara produsen.
“Ada peluang pertumbuhan yang sangat besar bagi kami di Indonesia sebagai pasar konsumen. Saya percaya Indonesia sendiri mengonsumsi sekitar 5 juta karung kopi saat ini, yang sebagian besar juga diimpor,” ujarnya.
Namun di sisi produksi, tantangannya juga nyata.
“Saya yakin produktivitas per hektar di perkebunan Indonesia masih di bawah 15 karung per hektar,” kata Christian. “Jadi, ada potensi besar untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas bagi petani agar mereka tetap menanam kopi.”
Di sinilah pendekatan yang diuji di Kosta Rika menemukan relevansinya. Starbucks mengoperasikan Farmer Support Center (FSC) di Berastagi, Sumatera—salah satu dari sepuluh FSC global milik Starbucks—yang memberikan pelatihan agronomi dan hasil riset kopi secara gratis kepada petani. Prinsipnya sama, yaitu pendampingan berbasis sains, tetapi disesuaikan dengan kondisi lokal.
Apa yang berhasil di lereng Kosta Rika tidak serta-merta diterapkan di Sumatera. Sebab, kondisi tanah dan iklim yang berbeda pastinya berdampak pada jenis pohon kopi yang ditanam. Namun, pendekatan sistemiknya—alias riset jangka panjang, pendampingan berkelanjutan, dan fokus pada kesejahteraan petani—menjadi benang merah yang menghubungkan kedua wilayah tersebut.
Bagi Christian, masa depan kopi bergantung pada kemampuan industri untuk berpikir lintas generasi dan lintas negara.
“Segala yang kami lakukan juga diarahkan untuk mencari cara agar para petani kopi menjadi lebih produktif dan lebih menguntungkan,” katanya. “Sehingga pertanian kopi sebagai bisnis akan menjadi mata pencaharian yang menarik.”
Dari Hacienda Alsacia hingga Sumatera, tantangannya berbeda. Namun tujuannya sama: memastikan kopi tetap hidup—bukan hanya di cangkir, tetapi juga di komunitas yang menanamnya.

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3161200/original/029559100_1592983793-200624_Ilustrasi_Tinju.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5455303/original/090641400_1766644470-6.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5455298/original/062392100_1766644468-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5440982/original/029784500_1765449160-Bonnie_Blue.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3389842/original/074746100_1614591577-Screenshot__79_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5453741/original/039154600_1766491712-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5450383/original/056206600_1766140719-01.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5272602/original/081614300_1751589860-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5452735/original/093012300_1766456226-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5452716/original/023370700_1766449382-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5451696/original/038503200_1766333766-Michi.jpg)










:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406089/original/006566900_1762512009-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5161503/original/090966100_1741846958-1741840983693_penyebab-autis.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5032120/original/020113400_1733123995-fotor-ai-2024120214155.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423821/original/058306800_1764096334-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380909/original/004147800_1760438190-Ilustrasi_perundungan_di_Grobogan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5405703/original/088328900_1762495927-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5369993/original/045407100_1759484291-WhatsApp_Image_2025-10-03_at_16.34.53.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3980259/original/059576700_1648689083-220331_OPINI__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5293741/original/045684500_1753341485-2148817396.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406319/original/030571500_1762537820-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406988/original/070457800_1762657462-uld_pb.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5398804/original/020121200_1761897445-Abdul_Rauf.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5293058/original/065406200_1753281729-WhatsApp_Image_2025-07-23_at_20.48.39.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355962/original/087526300_1758388524-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403042/original/097694400_1762315278-job_fair_disabilitas_pramono_anung.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5402912/original/011979600_1762310973-skrining_retina_1.jpg)