OPINI: Pulau Run dan Bengkulu, Cermin Lemahnya Tata Kelola Negara

1 week ago 13

Sekarang kita bahas tentang Pulau Run yang ditukar dengan Manhattan di Amerika Serikat. Ini berdasar Perjanjian Breda tahun 1667 antara Belanda dan Inggris. Belanda menginginkan Pulau Run karena kekayaan rempahnya, sementara Inggris melihat potensi jangka panjang Manhattan sebagai pusat perdagangan dan kolonisasi.

Seperti diketahui, pada abad ke-17, dunia sedang mengalami demam rempah-rempah. Pala, cengkeh, dan lada menjadi komoditas mewah yang sangat dicari di Eropa. Pulau Run, bagian dari Kepulauan Banda di Maluku, adalah salah satu sumber pala terbaik di dunia. Belanda mendapatkan Pulau Run, memperkuat monopoli rempah-rempah mereka di Asia Tenggara. Sedangkan Inggris mendapatkan Manhattan, yang kemudian berkembang menjadi New York City.

Generasi kiwari tentu tidak percaya bahwa Manhattan yang demikian wah dan salah satu kota termahal dan tujuan manusia di dunia, adalah hasil tukar menukar dengan Pulau Run yang kian dilupakan. Di Pulau Run masih ditanam pala tapi nilai ekonominya sudah tidak besar, dan maksimal nilai pergerakan ekonominya sekitar maksimal Rp 10 miliar setahun. Manhattan, dari data internasional sebesar Rp 8 miliar dalam mata uang US$ atau sekitar Rp 128 triliun/tahun, sedikit di bawah total pendapatan gabungan provinsi Jabar dan DKI.

Sepertinya tidak masuk akal membandingkan Pulau Run dengan Manhattan, tapi faktanya terjadi seperti itu. Mungkin agak masuk akal adalah membandingkan Bengkulu dengan Singapura. Sebelum itu, kita mesti juga telisik mengenai pertukaran itu, antarkolonial Belanda dan Inggris melalui Traktat London tahun 1824. Belanda mendapatkan Bengkulu untuk memperkuat pengaruhnya di Sumatra, sementara Inggris memperoleh Singapura yang strategis untuk ekspansi dagang di Asia Tenggara.

Pada masa itu, 1824 terjadi konflik kolonial antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara, yang memuncak karena tumpang tindih wilayah kekuasaan dan kepentingan dagang. Untuk menghindari konflik lebih lanjut, kedua negara menandatangani Traktat London pada 17 Maret 1824, yang membagi wilayah pengaruh secara tegas. Belanda menguasai wilayah di selatan Selat Malaka (termasuk Sumatra dan Jawa), Inggris menguasai wilayah di utara Selat Malaka (termasuk Semenanjung Malaya dan Singapura). Keduanya sepakat.

Mengapa Belanda tertarik dengan Bengkulu, karena ini ingin memperkuat dominasi di wilayah barat Nusantara untuk memperkuat monopoli dagang dan kontrol politik. Kecuali itu, Belanda dalam hal ini VOC (sebagai entitas bisnis) melihat potensi sumber daya alam, rempah-rempah dan emas. Bila ditimbang, pada waktu itu, secara ekonomi Bengkulu lebih kaya kemana-mana ketimbang Singapura. Di atas kertas, Belanda lebih untung mendapatkan Bengkulu daripada Inggris mendapatkan Singapura. Sebab Singapura belum berkembang, hanya perdagangan kecil dan perikanan laut. Sementara Bengkulu merupakan penghasil rempah utamanya lada dan hasil bumi lainnya termasuk emas di Rejang Lebong.

Parakitri Simbolon, seorang sosiolog dan esais, dalam bukunya “Menjadi Indonesia” mengungkap gagasan bahwa Indonesia adalah proyek kebangsaan yang belum selesai, tak lepas membahas soal Pulau Run dan Bengkulu. Dalam buku ini, ia tidak memulai dari Proklamasi 1945, melainkan dari sejarah panjang intervensi kolonial dan bagaimana wilayah-wilayah Nusantara diperlakukan sebagai komoditas geopolitik. Bengkulu dan Pulau Run ditukar oleh Inggris dan Belanda bukan karena nilai budaya atau sosialnya, tetapi karena nilai ekonomi dan posisi strategis. Parakitri melihat kolonialisme sebagai bagian dari kapitalisme global, di mana wilayah Nusantara menjadi pion dalam permainan dagang dan kekuasaan. Pertukaran wilayah tersebut menunjukkan bahwa identitas Indonesia dibentuk oleh kekuatan eksternal, bukan semata-mata oleh kesadaran lokal.

Kedekatan Bengkulu dengan Singapura sampai sekarang masih bisa ditilik dari beberapa hal. Di Singapura misalnya, ada daerah Pecinan yang dinamai Bencoolen (kata lain dari Bengkulu). Seperti diketahui bahwa di Bengkulu ada temuan bunga raflesia arnoldii yang diabadikan sebagai bunga khas Bengkulu, yang namanya diambil dari Thomas Stamford Raffles yang pada 1818-1824 menjadi Gubernur Inggris di Bengkulu. Arnoldii diambil dari nama Dr Joseph Arnold yang memimpin riset ilmiah yang didukung oleh Gubernur Rafles. Bunga raflesia yang indah itu biasa disebut bunga bangkai karena baunya kurang sedap.

Ketajaman dan visi Raffles yang melihat bahwa posisi Singapura adalah strategis dalam konteks perdagangan internasional, terbukti. Singapura posisinya menjadi penghubung banyak wilayah di sekitarnya, menjadi bagian penting bisnis Kawasan sampai hari ini. Raffles namanya masih harum di Bengkulu karena meninggalkan legacy ilmiah bunga rafflesia sedangkan di Singapura meninggalkan warisan geopolitik dan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa Raffles sebagai administrator kolonial yang berpikir strategis dan ilmiah, visioner, meski tetap dalam kerangka imperialisme Inggris.

Singapura setelah Rafles mengambilnya, dimasukkan bagian dari Malaysia (Malaya). Namun, pada tahun 1964 terjadi ketegangan rasial antaretnis Melayu dengan Tionghoa yang menewaskan puluhan orang dari kedua belah pihak, memaksa keduanya berpisah.

Ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa memuncak dalam kerusuhan rasial pada tahun 1964 di Singapura, yang menewaskan puluhan orang. Pemerintah pusat khawatir bahwa pendekatan multirasial Lee Kuan Yew akan memicu ketidakstabilan di Malaysia yang mayoritas Melayu. Saat PM Tunku Abdul Rahman memimpin Malaysia, pihak Singapura yang sebagian besar etnis Tionghoa merasa dianaktirikan. Lee Kuan Yew dan Partai Aksi Rakyat (PAP) mendorong konsep “Malaysia untuk semua rakyat Malaysia” (Malaysian Malaysia), yang menekankan kesetaraan tanpa memandang ras. Namun itu malah memicu kerusuhan karena kebijakan federal Malaysia mengutamakan hak istimewa atas etnis Melayu (Bumiputera) yang didukung partai berkuasa Malaysia, UMNO. PM Malaysia Tunku Abdul Rahman, memutuskan bahwa perpisahan adalah solusi terbaik untuk mencegah konflik lebih lanjut.

Parlemen Malaysia secara resmi menyetujui pemisahan Singapura pada 9 Agustus 1965. Lee Kuan Yew memulai kepemimpinan dengan tetap menggandeng etnis Melayu dan India, dan mereka berbagi peran dalam kepemimpinan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Tampaknya tata kelola atau manajerial yang dilakukan Lee berhasil. Dalam waktu 20 tahun Singapura menjadi negara yang disegani, terutama dalam bisnis. Bahkan saat ini, jumlah investasi yang masuk ke Singapura dibanding Indonesia, lebih besar. Jangan lagi dibandingkan dengan Bengkulu.

Dalam ekonomi dan investasi, ada yang disebut sebagai FDI (Foreign Direct Investment) atau negara yang layak mendapatkan investasi, Singapura mendapat lebih besar. Pada 2025, Singapura mencatat FDI lebih dari US$ 200 miliar, sementara Indonesia menerima sekitar US$ 90 miliar. Kurang dari separohnya. Mestinya pemangku kebijakan nasional tersinggung dengan fakta seperti ini, kecuali mati rasa.

Apakah tambang yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, laut yang menjadi wilayah 2/3 total Indonesia, dan sumber alam lainnya, juga kemampuan rakyatnya yang katanya pintar-pintar, atau sopan santun, menjadi daya tarik internasional untuk berinvestasi di Indonesia? Dari banyak studi menyebutkan bahwa yang menjadi pemikat investor untuk mendaratkan investasinya ke Singapura adalah karena stabilitas politik dan hukum, infrastruktur logistik (pergudangan), kemudahan berbisnis seperti perizinan yang jelas, dan teknologi. Kalau sudah tahu seperti ini, dan sadar bahwa keunggulan di situ, mengapa kita tidak meniru Singapura dalam hal-hal tersebut? Atau, kalau misalnya memiliki keunggulan di luar itu, mengapa tidak dioptimalkan?

Jadi sedih dan dongkol rasanya, ketika pemangku kepentingan yang mendapat amanah mengatur negara, tidak belajar dari ketertinggalan dibanding dengan negara lain. Rakyat umum mengatakan, bahwa Arab atau Brunei, hanya memiliki minyak, tapi negerinya kaya raya dan rakyatnya makmur. Sementara Indonesia, sejak Nusantara, memiliki sumber alam melimpah, mulai dari minyak, timah, nikel, bauksit, mangan, hasil laut, dan sebagainya, tanah subur, tapi negaranya banyak utang dan rakyatnya tidak makmur.

Belajar dari pengalaman Pulau Run dan Bengkulu, dan melihat betapa hebatnya Manhattan dan Singapura, penulis meyakini bahwa persoalannya bukan pada soal kekayaan alam, tapi adalah soal tata kelola, soal manajemen. Persoalannya adalah bagaimana membuat semua potensi alam itu dikelola secara adil untuk membuat rakyatnya makmur. Bukan persoalan kepintaran saja, tapi juga diperlukan adanya kemauan (willing and willingness) para pemimpin bangsa ini memikirkan bagaimana mengelola secara baik dan adil seluruh sumber daya, baik alam dan manusia, demi memakmurkan rakyat.

Bisa saja para pengatur dan pelaksana kebijakan membantah, bahwa tak mudah mengelola Indonesia. Kalau memang begitu, serahkan pada cerdik pandai yang berdedikasi dan berkapasitas mumpuni mengelolanya. Kalaupun bahwa para cerdik pandai dan berkapasitas jumlahnya banyak, sementara kemampuan membayar gaji pemerintah terbatas, maka serahkan yang berprestasi. Kalau merit system (mengelola berdasar prestasi) yang objektif, bukan karena KKN termasuk karena dinasti, maka Indonesia tidak makin terjerembab dalam kubangan yang kian jauh dari cita-cita pendiri bangsa: masyarakat adil dan makmur. 

Oleh: Anggota Dewan Pers (2022-2025) A Sapto Anggoro

Read Entire Article