Debat Kusir 'Whoosh'

5 days ago 12

Liputan6.com, Jakarta - Debat kusir di media sosial mengenai proyek kereta api cepat Whoosh semakin panas dengan motivasi masing-masing yang cenderung tendensius bahkan didominasi oleh kebencian (hatred) tanpa menggunakan data dan nalar. Namun, ada satu hal yang pasti dalam pembangunan proyek Whoosh, yaitu pembengkakan sebesar US$ 1,3 Miliar (22%) dari anggaran awal sebesar US$ 6 Miliar menjadi US$ 7,3 Miliar.

Pembengkakan sebesar 22% untuk proyek mega mencerminkan kelemahan dalam perencanaan. Jika perencanaan dilakukan dengan baik, dalam manajemen proyek, umumnya ‘cost over run’ yang wajar adalah sekitar 5%. Belum lagi penyelesaian yang molor terlalu lama (sebagian waktu karena Covid) juga membuktikan kualitas manajemen risiko yang tidak mumpuni.

Lambatnya Kereta Cepat

Pembangunan kereta cepat Whoosh telah mengalami peningkatan biaya dan keterlambatan penyelesaian proyek. Jalur yang dipilih membutuhkan viaduk, jembatan dan terowongan yang panjang (62% dari total lintasan) kurang dipertimbangkan sejak awal perencanaan dalam mengantisipasi biaya dan waktu. Pekerjaan sipil menghabisi US$3,3 Miliar atau Rp54,9 Trilyun, atau 45% dari biaya total proyek, meliputi pembangunan 13 terowongan dengan panjang total 16,3 Km. Sedangkan viaduct (jembatan dan peninggian elevasi) sepanjang 87,6 Km. dari total lintasan sepanjang 142,3 Km.

Selanjutnya, kesulitan pembebasan tanah menyebabkan molornya penyelesaian proyek, sehingga biaya kompensasi pembebasan tanah menjadi sebesar US$584 Juta atau Rp9,7 Trilyun (8% dari total biaya) sehingga menambah biaya bunga berjalan (interest during construction) sebesar US$876 Juta atau Rp14,6 Triliun (12% dari total biaya).

Faktor medan lapangan (terrain) yang berat, pembebasan tanah dan tambahan biaya bunga akibat waktu yang molor telah mengakibatkan ‘cost overrun’ yang tinggi.

Perbandingan

Perbandingan yang wajar (apple to apple) terhadap proyek Whoosh yang memakan biaya sebesar US$ 51,3 Juta/Km adalah proyek kereta cepat CHUO Shinkansen (Maglev) di Jepang yang memakan biaya US$ 100 Juta/km. Kedua proyek memiliki profil medan yang hampir sama, didominasi terowongan dan viaduk.

Debat kusir di media sosial banyak dipengaruhi oleh perbandingan yang kurang tepat, yaitu Whoosh dibandingkan dengan biaya kereta api cepat 350 Km/Jam di China sebesar US$ 17-21 Juta/Km. Perbandingan tersebut menjadi rancu karena biaya nya hanya untuk medan yang standar (tanpa terowongan dan viaduct) dan hanya mencakup biaya infrastruktur saja, tidak termasuk pembebasan tanah, bunga utang dan kereta (rolling stock).

Pertanyaan yang wajar dan belum terjawab adalah: "Kenapa kita memilih jalur medan yang berat dan mahal. Apakah tidak ada jalur lain yang lebih datar, mudah dan murah?"

Kekhawatiran akan adanya korupsi merupakan hal yang wajar dan ada pada setiap pembangunan proyek mega. Untuk itu, yang perlu diinvestigasi adalah; "Apakah ada 'middle man' atau makelar dadakan dalam proses pembebasan tanah, sub-kontraktor dan importir peralatan Rolling stock yang menelan 12% dari biaya proyek dan Signalling & electrification sebesar 8% dari total biaya. Kegiatan transaksi diatas yang mencurigakan dapat dengan mudah ditelusuri apakah ada tindakan korupsi dan bisnis oleh pihak terkait bernuansa benturan kepentingan. Seharusnya BPK RI dan BPKP sudah melakukan Audit.

'Utang' Sim Sala Bim

Ada kekhawatiran yang selalu digaungkan, yaitu proyek Whoosh mendapat pinjaman dengan suku bunga tinggi dari Chinese Development Bank (CDB) yang dianggap menjadi alat pemerintah China untuk menguasai aset aset Indonesia (sinyalemen ini sangat berlebihan dan lebih bernuansa drama korea).

Porsi utang US$ dari China memiliki suku bunga sebesar 2%~3,5% per tahun (masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga prime US$ sebesar 7%) dan untuk porsi pinjaman Yuan tingkat bunga sebesar 3,1% hampir sama dengan bunga pinjaman komersial mata uang Yuan dari perbankan China. Walaupun telah diberikan subsidi oleh CDB, Suku bunga tersebut dianggap lebih tinggi dari proposal pinjaman yang diusulkan oleh Overseas Development Agency (ODA) Jepang dalam mata uang Yen. Yaitu 0,1 % per tahun yang merupakan tingkat suku bunga pinjaman konsesi untuk negara berkembang dalam mata uang Yen (bandingkan dengan prime lending rate di perbankan Jepang sebesar 2,3% per tahun).

Walaupun pinjaman dari China lebih mahal, Indonesia memutuskan memilih China, karena adanya skema B to B (Business to Business) yaitu pinjaman diberikan kepada ‘perseroan terbatas’ PT KCIC dengan pemegang saham BUMN 60% dan China 40%. Pemerintah RI tidak bertanggung jawab atas pinjaman tersebut. Sebaliknya, walaupun tingkat suku bunga yang ditawarkan Jepang lebih murah, akan tetapi dengan adanya syarat kepada pemerintah RI untuk memberikan jaminan, maka dapat dikatakan pemerintah RI sebagai peminjam atau skema G to G (Government to Government). Selain jangka waktu pinjaman Jepang jauh lebih lama, proposal Jepang juga merencanakan dilakukannya integrasi dengan sistem jaringan kereta api nasional sampai ke Surabaya. Proposal Jepang dianggap akan memakan waktu lebih lama dan membebankan APBN.

Oleh karena itu, agar proyek kereta api cepat dapat segera direalisasikan, pemerintah Indonesia memutuskan memilih kerja sama dengan China. Apalagi China bergerak cepat, langsung menentukan Jalur Jakarta Walini (Bandung). Disinyalir, banyak tanah di lokasi Walini telah dikuasai para spekulan pemburu rente. Selain itu untuk mempertimbangkan hubungan diplomatis, Jepang sudah mendapatkan proyek MRT di Jakarta.

Akhirnya China Development Bank (CDB) menggelontorkan utang kepada PT KCIC sebesar US$2,73 Miliar dan mata uang Yuan CNY11,48 Miliar ( US$1,62 Miliar). Jumlah pinjaman bertambah lagi akibat pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 Miliar. Dengan demikian pinjaman dari China mencapai kurang lebih US$5,5 Miliar (tergantung nilai tukar rupiah).

Pembiayaan ‘cost overrun’ menjadi dilema, karena jika tidak ada pinjaman tambahan maka proyek terancam berhenti dan investasi yang sudah berjalan terancam menjadi mubazir. Akhirnya China bersedia memberikan pinjaman tambahan dengan syarat pemerintah RI memberikan jaminan. Dengan demikian utang KCAIC berubah menjadi utang negara.

Pemerintah RI kemudian menerbitkan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Keuangan pada tahun 2023 yang menerbitkan ‘Jaminan Pemerintah’ terhadap pinjaman PT KCIC. Skema Business to Business (B to B) KCIC berubah menjadi G to G. Yaitu, utang dijamin oleh negara!

Solusi Akar Permasalahan

Yang jadi masalah utama sumber pengembalian investasi proyek kereta api cepat Jakarta Bandung adalah jumlah penumpang (ridership) yang ternyata lebih rendah dari yang diproyeksikan baik oleh China maupun Jepang, ditambah dengan beban bunga pinjaman yang tinggi.

Masalah beban pinjaman dapat diselesaikan dengan melakukan restrukturisasi utang PT KACIC dengan penurunan tingkat suku bunga dan jangka waktu pinjaman yang diperpanjang. Pihak China harus menyetujui karena pemerintah Indonesia sudah memberikan jaminan, sehingga menjadi sama dengan skema G ti G kerjasama dengan Jepang. Oleh karena itu suku bunga harus turun dan tenggang waktu pinjaman diperbesar.

Masalah revenue atau pendapatan dapat didongkrak melalui optimalisasi potensi peningkatan jumlah penumpang, dengan meneruskan pembangunan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung-Surabaya. Pengembangan tersebut bertujuan agar investasi menjadi lebih efektif dan stimulus ekonomi akan berlipat ganda. Return on Investment (ROI) lebih tinggi dan jumlah penumpang akan jauh meningkat.

Informasi terakhir yang didapat ternyata cukup menggembirakan, yaitu pendapatan (revenue) PT KCIC sudah melampaui biaya operasional (opex), masalahnya hanya tinggal restrukturisasi pinjaman yang membebankan keuangan PT KCIC dan meneruskan jalur kereta Whoosh sampai Surabaya. Bangsa Indonesia tidak perlu khawatir, China akan menjadikan proyek ini sebagai alasan untuk menguasai aset-aset strategis nasional.

Kesimpulan

Kondisi pertanahan di Indonesia yang carut marut seperti sekarang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan Indonesia membangun proyek mega dengan cepat dan bersaing dengan negara lain. Untuk itu diperlukan Undang Undang yang memudahkan pembebasan tanah bagi proyek infrastruktur pemerintah. Kepada warga negara yang bersedia merelakan tanahnya untuk dipakai demi kepentingan proyek negara, tidak hanya diberikan kompensasi ganti rugi, juga diberikan imbalan dalam bentuk penghargaan negara sebagai seorang patriot. Kebijakan tersebut harus diatur dalam Undang Undang Patriotik (Patriotic Act).

Selain itu diperlukan proses perencanaan yang profesional dan transparan, peningkatan kemampuan mitigasi risiko dan kerja sama antar instansi yang baik. Diperlukan konsistensi dan upaya yang gigih. Kita tidak bisa membangun hanya dengan berteriak-teriak di media sosial, karena yang berteriak belum tentu bisa membangun.

Pengalaman membangun kereta api cepat Jakarta Bandung harus dijadikan pembelajaran untuk membangun proyek selanjutnya dengan lebih baik lagi, karena pembangunan proyek infrastruktur harus terus dilaksanakan.

Perlu juga dipahami bahwa setiap pembangunan proyek dibutuhkan proses ‘check and balance’. Pemerintah tanpa oposisi di parlemen (DPR RI) berarti pemerintah berjalan tanpa kontrol. Jika semua partai politik bersatu dalam koalisi besar maka fungsi kontrol akan hilang.

Oleh karena itu Undang Undang politik harus di reformasi untuk melembagakan oposisi di DPRRI yang setia terhadap NKRI dan Pancasila. Kualitas demokrasi dan pemerintah tergantung dari pada kualitas oposisi, demikian juga dengan kualitas pembangunan. Semoga tidak ada lagi debat kusir.

Read Entire Article