Banjir Bandang Sumatera: Peneliti UGM Sebut 'Dosa Ekologis' di Hulu Perparah Tragedi November 2025

9 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Bencana longsor dan banjir bandang Sumatera yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada akhir November 2025 menjadi salah satu tragedi hidrometeorologi terbesar dalam dua dekade terakhir. Lebih dari 400 jiwa meninggal dan ratusan permukiman hancur tersapu air bah.

Meski hujan ekstrem menjadi pemicu utama, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU, menegaskan bencana ini tidak berdiri sendiri. Ada akumulasi kerusakan lingkungan yang memperparah dampaknya.

Hatma menilai tragedi tersebut merupakan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan menumpuk bertahun-tahun. "Curah hujan memang sangat tinggi saat itu. Tapi cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Daya rusak banjir bandang terjadi karena rapuhnya benteng alam di kawasan hulu," ujar Hatma dikutip dari situs ugm.ac.id pada Selasa, 2 Desember 2025.

Menurut Hatma, kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra mengalami degradasi berat akibat deforestasi, alih fungsi hutan, hingga pembukaan lahan yang tidak terkendali. Hilangnya tutupan pohon membuat fungsi hidrologis hutan sebagai penyerap, penahan, dan pengatur aliran air melemah drastis.

Hutan Berperan sebagai Spons Raksasa

Padahal, hutan berperan sebagai 'spons raksasa' yang mampu menahan air hujan melalui intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi.

"Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menyerap air juga hilang. Hujan deras berubah menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai dalam volume besar. Inilah yang memicu banjir bandang," katanya.

Dia, menegaskan, akar permasalahan bencana ini bukan semata curah hujan, tapi 'dosa ekologis' yang merusak keseimbangan alam.

Data deforestasi di berbagai provinsi menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Di Aceh, lebih dari 700 ribu hektare hutan hilang dalam tiga dekade. Di Sumatra Utara, tutupan hutan tinggal sekitar 29 persen dari luas daratan.

Ekosistem penting seperti Batang Toru pun terdesak aktivitas manusia. Sementara Sumatra Barat mencatat kehilangan 740 ribu hektare tutupan pohon dalam periode 2001–2024.

Penurunan kualitas kawasan hulu membuat daya tampung sungai semakin terbatas, sehingga banjir bandang mudah terjadi ketika hujan ekstrem turun.

Penyebab Lainnya yang Harus Dijadikan Pelajaran

Hatma juga menjelaskan bahwa longsor yang menyertai banjir bandang tak lepas dari kerusakan vegetasi. Ketika akar-akar pohon yang seharusnya memperkuat tanah hilang, lereng menjadi rapuh dan mudah runtuh.

"Material longsor yang menumpuk di sungai membentuk bendungan alami. Ketika bendungan ini jebol, volume air besar langsung menyapu kawasan hilir," katanya.

Dia menilai penanganan bencana tidak bisa hanya bergantung pada upaya struktural seperti normalisasi sungai atau pembangunan tanggul. Pendekatan ekologis harus menjadi prioritas utama, terutama di area hulu DAS.

"Perlindungan hutan hulu seperti Leuser dan Batang Toru harus jadi harga mati. Tanpa hutan, kita kehilangan sabuk pengaman alami," kata Hatma.

Jangan Biarkan Hutan Rusak

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat mitigasi bencana melalui penegakan tata ruang, rehabilitasi lahan kritis, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan. Sistem peringatan dini cuaca ekstrem juga harus terus diperkuat agar pemerintah daerah dapat mengambil langkah cepat sebelum bencana terjadi.

Menurut Hatma, tragedi akhir November 2025 layak menjadi titik balik bagi Indonesia. "Pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan. Jika kerusakan hutan terus dibiarkan, bencana serupa akan semakin sering terjadi di masa depan," pungkasnya.

Read Entire Article