Bulan Semakin Menjauh dari Bumi, Studi: Ada Kaitannya dengan Siklus Mood Manusia

8 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Setiap tahun, bulan bergerak semakin jauh dari bumi. Selama ini siklus bulan juga telah dianggap sebagai salah satu pengaruh terhadap perubahan perilaku manusia, meskipun sebagian besar gagasannya dibantah oleh kedokteran modern.

Sementara itu, sebuah penelitian menunjukkan adanya fakta terhadap teori-teori ini.

Melansir BBC pada Kamis, 11 Desember 2025, penelitian ini dimulai oleh psikiater dari Seattle, David Avery, yang kedatangan pasien seorang insinyur dan suka memecahkan berbagai masalah. Pasien tersebut merupakan pria berusia 35 tahun yang dirawat karena perubahan suasana hati yang ekstrem. Kondisinya juga menimbulkan ilusi hingga keinginan untuk bunuh diri.

Selain itu, pola tidur sang pasien juga tidak menentu dan bervariasi. Terkadang ia tidak tidur sama sekali atau tidur selama 12 jam per malam. Sebagai seorang yang suka memecahkan masalah, pasien itu kerap mencatat pola-pola dan meneliti terkait kondisinya sendiri.

Avery menemukan hal yang menarik dari catatan ini, bahwa ritme perubahan suasana hati dan pola tidurnya sama dengan pasang surut air laut yang dipengaruhi siklus bulan.

Meskipun tidak ada mekanisme yang dapat menjelaskan kaitan keduanya, Avery menyebutkan bahwa suasana hati dan pola tidur pasien itu kembali stabil. Hal ini karena selama dirawat, ia tidak hanya diberi obat tetapi juga melakukan terapi cahaya.

Kemungkinan Faktor Eksternal dari Perubahan Perilaku Manusia

Di samping itu, seorang profesor emeritus psikiatri dari National Institute of Mental Health AS, Thomas Wehr, menerbitkan makalah hasil penelitiannya. Dalam studi tersebut, ia meneliti 17 pasien yang mengalami gangguan bipolar dengan siklus cepat.

Siklus para pasien yang terlalu cepat membuat Wehr beranggapan adanya pengaruh eksternal. Menurutnya, ritme yang tidak sesuai dengan proses biologis ini bisa jadi ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa bulan memengaruhi perilaku manusia.

Selama berabad-abad, orang banyak yang percaya bahwa bulan dapat memengaruhi perilaku manusia. Kepercayaan ini menimbulkan istilah ‘lunacy’ yang berasal dari bahasa Latin ‘lunaticus’ dengan arti ‘terpukau oleh bulan’.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat filsuf Yunani Aristoteles dan naturalis Romawi Pliny the Elder. Keduanya menyebutkan bahwa kegilaan dan epilepsi disebabkan oleh bulan. Selain itu, ada pula anggapan bahwa perempuan lebih mudah melahirkan saat bulan purnama. Namun, narasi tersebut dibantah karena catatan kelahiran tiap fase bulan tidak konsisten.

Studi lain menyajikan bukti bahwa siklus bulan dapat meningkatkan keganasan pasien jiwa atau narapidana. Hal ini karena tingkat kriminal dan insiden terjadi lebih tinggi di luar ruangan dengan paparan cahaya bulan.

Pola Tidur yang Bervariasi

Di samping itu, studi lain menunjukkan bahwa orang-orang membutuhkan waktu lima menit lebih lama untuk tertidur dan tidur 20 menit lebih sedikit pada saat bulan purnama. Meskipun tidak terpapar cahaya bulan, pengukuran aktivitas otak menunjukkan adanya penurunan sebesar 30 persen terhadap pola tidur mereka.

Menurut Vladyslav Vyazovskiy, seorang peneliti tidur dari Universitas Oxford, masalah utama dari studi-studi tersebut adalah tidak ada penelitian yang memantau tidur pasien secara individual selama satu siklus penuh, atau selama beberapa bulan.

Dia menyebutkan bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan semua studi adalah dengan merekam individu yang sama dari waktu ke waktu selama berbagai fase.

Cara ini dilakukan oleh Wehr dan ditiru oleh Avery. Saat menganalisis ulang terkait kondisi pasiennya, ditemukan fakta bahwa pasien tersebut menunjukkan pola 14,8 hari atau setengah fase bulan dalam siklus suasana hatinya.

Lebih lanjut, kondisi ini dibuktikan dengan beberapa pasien mengalami gangguan suasana hati setiap 206 hari. Gangguan ini dipengaruhi oleh siklus bulan seperti supermoon, ketika orbit berbentuk oval dan mendekatkan bulan dengan bumi.

Secara teori, cahaya bulan purnama dapat mengganggu tidur seseorang yang pada akhirnya akan memengaruhi suasana hatinya. Terutama pada pasien bipolar yang tiap episodenya dipengaruhi oleh ritme sirkadian atau pola tidur.

Mendukung gagasan tersebut, Wehr menemukan bahwa seiring berjalannya hari waktu bangun pasien bergeser semakin larut. Sedangkan waktu tidur mereka tetap sama sehingga jumlah waktu tidur mereka tiba-tiba memendek. Lompatan fase ini dinilai berkaitan dengan timbulnya episode mania.

Ritme Sirkadian dengan Medan Magnetik

Berkaitan dengan pola tidur, aktivitas matahari juga berperan penting. Paparan matahari yang menghantam medan magnet bumi mampu meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, kejang epilepsi, skizofrenia, hingga gangguan mental.

Sebuah studi menunjukkan bahwa orang yang terpapar medan magnet mengalami penurunan aktivitas gelombang alfa otak yang signifikan. Wehr memiliki teori bahwa sensor magnetik ini ditimbulkan oleh protein kriptokrom. Protein ini berperan penting untuk menggerakan ritme sirkadian selama 24 jam di sel dan jaringan termasuk otak baik pada manusia maupun hewan.

Di samping itu, penelitian lain menyebutkan bahwa kriptokrom manusia dan hewan berbeda. Alex Jones, ahli fisika dari National Physical Laboratory di Inggris, mengatakan bahwa kriptokrom manusia tidak sensitif terhadap medan magnet, kecuali ada molekul lain yang dapat mendeteksi. Sehingga kaitan antara aktivitas matahari dengan ritme sirkadian memiliki kemungkinan yang kecil.

Para peneliti terus mengkaji hubungan antara fase langit (termasuk bulan dan matahari) terkait siklus perubahan perilaku manusia. Sampai saat ini, tidak ada peneliti yang membantah temuan Wehr karena bipolar sifatnya ritmis dan memiliki korelasi terhadap gravitasi maupun siklus bulan.

Read Entire Article