Liputan6.com, Washington, DC - Donald Trump mengerahkan kapal selam nuklir Amerika Serikat (AS) ke wilayah-wilayah strategis yang dianggap tepat menyusul pernyataan yang dinilainya sangat provokatif dari mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.
Medvedev, yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, sebelumnya menyatakan bahwa ultimatum Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia baru-baru ini merupakan sebuah ancaman dan langkah menuju perang.
"Saya telah memerintahkan dua kapal selam nuklir untuk ditempatkan di wilayah strategis, untuk berjaga-jaga kalau pernyataan bodoh dan provokatif ini bukan sekadar omong kosong," tulis Trump di platform media sosial Truth Social pada Jumat (1/8/2025). "Kata-kata sangat penting dan sering kali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Saya harap ini bukan salah satu dari kejadian seperti itu."
Dia tidak menjelaskan apakah yang dimaksud adalah kapal selam bertenaga nuklir atau kapal selam yang dipersenjatai dengan senjata nuklir.
Ketika kemudian ditanya oleh wartawan mengapa dia memerintahkan pemindahan kapal selam tersebut, Trump seperti dilansir The Guardian menjawab, "Sebuah ancaman telah dilontarkan oleh mantan presiden Rusia dan kami akan melindungi rakyat kami."
Awal pekan ini, Medvedev menanggapi keputusan Trump yang memangkas tenggat waktu bagi Rusia untuk menunjukkan kemajuan menuju perdamaian dengan Ukraina — dari 50 hari menjadi hanya 10 hari. Trump siap menjatuhkan sanksi dan hukuman finansial lainnya jika Rusia tidak mematuhi.
"Trump sedang memainkan permainan ultimatum dengan Rusia: 50 hari atau 10," tulis Medvedev di platform media sosial X. "Dia seharusnya ingat dua hal: 1. Rusia bukanlah Israel atau bahkan Iran. 2. Setiap ultimatum baru adalah sebuah ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, namun dengan negaranya sendiri."
"Jangan meniru jalan Sleepy Joe!" tambahnya, merujuk pada mantan presiden AS Joe Biden.
Trump awalnya memberi Rusia tenggat 50 hari, yang dimulai sekitar pertengahan Juli, untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Ukraina atau menghadapi konsekuensi. Namun, pada Senin (28/7), dia memperpendek tenggatnya menjadi 10–12 hari.
Trump Mulai Frustrasi pada Putin
Beberapa analis keamanan menyebut langkah Trump sebagai eskalasi retoris terhadap Rusiaa, namun tidak serta-merta merupakan eskalasi militer mengingat AS memang sudah memiliki kapal selam bertenaga nuklir yang dikerahkan dan mampu menyerang Rusia.
Trump sendiri telah menyuarakan rasa frustrasinya terhadap Putin, yang menurutnya menghambat upaya dalam menengahi gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina — sebuah janji kampanye yang dia klaim bisa dicapai hanya dalam waktu 24 jam. Pada Kamis, Trump menyebut serangan Rusia yang terus-menerus ke wilayah sipil "menjijikkan".
"Saya pulang ke rumah. Saya bilang ke ibu negara, 'Kamu tahu, hari ini saya berbicara dengan Vladimir. Percakapan kami luar biasa.' Lalu dia meresponsnya, 'Oh, sungguh? Baru saja ada kota lain yang diserang,'" ujarnya di Gedung Putih bulan lalu.
Putin belum menanggapi ultimatum Trump. Pada Jumat, dia mengaku menginginkan perdamaian yang langgeng dan stabil di Ukraina, namun tidak memberikan indikasi bahwa dia bersedia membuat konsesi apa pun untuk mencapainya.
"Kami membutuhkan perdamaian yang langgeng dan stabil, di atas landasan yang kokoh, yang dapat memuaskan baik Rusia maupun Ukraina, serta menjamin keamanan kedua negara," kata Putin kepada para jurnalis pada Jumat.
Putin secara berkala menyatakan tertarik pada perdamaian, namun hanya dengan syarat-syarat yang sama sekali tidak dapat diterima oleh Kyiv. Pekan lalu, putaran ketiga perundingan langsung Rusia-Ukraina berlangsung di Istanbul, namun bubar dalam waktu kurang dari satu jam dan sejauh ini belum menghasilkan kesepakatan apa pun selain pertukaran tahanan.
Dalam pernyataan yang diyakini merujuk pada komentar Trump, Putin mengatakan pada Jumat, "Mengenai kekecewaan, semua kekecewaan muncul dari ekspektasi yang berlebihan. Ini sudah jadi aturan umum."