Liputan6.com, Damaskus - Pekan ini terjadi eskalasi besar, ketika Israel menyatakan mereka menyerang Suriah untuk melindungi komunitas Druze, sebuah minoritas Arab yang menjadi pusat bentrokan dengan loyalis pemerintah.
Namun, keputusan Israel untuk menyerang juga kemungkinan besar terkait dengan penolakannya terhadap pemerintahan Suriah saat ini, yang dipimpin oleh mantan jihadis, Presiden Ahmed al-Sharaa.
Pemerintah Suriah dan para pemimpin Druze menyepakati gencatan senjata pada Rabu (16/7/2025), setelah beberapa hari bentrokan yang menewaskan ratusan orang. Belum lama kesepakatan ini tercapai, bentrokan kembali terjadi pada Jumat (18/7).
Berikut sejumlah penjelasan mengenai hal-hal terkait konflik.
Siapa itu Druze?
Melansir Britannica, agama atau komunitas Druze berakar dari Mesir dan muncul sebagai cabang dari Syiah Ismailiyah. Pada awal Abad ke-11, ketika Khalifah Fatimiyah keenam, Al Hakim bi Amr Allah, sedang berkuasa, sekelompok teolog Ismaili mulai menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa Al Hakim adalah sosok ilahi.
Gagasan ini disebut kemungkinan besar mendapat dorongan dari Al Hakim sendiri, namun segera dianggap sesat oleh otoritas keagamaan resmi Kekhalifahan Fatimiyah. Mereka tetap memandang Al Hakim dan para khalifah sebelumnya sebagai pemimpin yang diangkat secara ilahi, namun bukan Tuhan.
Druze berjumlah sekitar satu juta orang dan sebagian besar tinggal di Suriah, Lebanon, dan Israel.
Di Suriah, komunitas Druze terkonsentrasi di tiga provinsi utama di selatan negara itu, yang letaknya berdekatan dengan Dataran Tinggi Golan — wilayah strategis yang kini diduduki Israel.
Lebih dari 20.000 orang Druze juga tinggal di Dataran Tinggi Golan itu sendiri, wilayah yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Enam Hari tahun 1967, lalu dianeksasi secara sepihak pada 1981. Mereka berbagi wilayah itu dengan sekitar 25.000 pemukim Yahudi yang tersebar di lebih dari 30 permukiman.
Sebagian besar Druze yang tinggal di Dataran Tinggi Golan mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Suriah dan menolak tawaran kewarganegaraan Israel ketika Israel merebut wilayah itu. Mereka yang menolak diberikan kartu izin tinggal Israel, namun tidak dianggap sebagai warga negara.
Berbeda dengan Druze Suriah, kaum Druze yang tinggal di dalam perbatasan Israel – yang tidak memiliki figur pemersatu – umumnya loyal kepada Israel, bahkan sebagian di antaranya menduduki posisi tinggi di militer Israel.
Di Provinsi Sweida di selatan Suriah, tempat di mana Druze menjadi mayoritas, komunitas ini kerap terjepit di antara kekuatan rezim Bashar al-Assad dan kelompok ekstremis dalam perang saudara Suriah.
Kenapa Pasukan Suriah Bentrok dengan Druze?
Setelah menggulingkan Assad, Sharaa berjanji akan bersikap inklusif dan melindungi semua komunitas beragam di Suriah.
Namun, kaum Druze tetap berhati-hati terhadap presiden baru ini. Mereka menyampaikan kekhawatiran atas tidak dilibatkannya sejumlah pemimpin mereka dalam proses dialog nasional yang diinisiasi Sharaa, serta minimnya representasi dalam pemerintahan baru yang hanya mencakup satu menteri dari kalangan Druze.
Selain itu, pasukan ekstremis Sunni yang loyal kepada Sharaa terus melakukan konfrontasi kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas.
Maret lalu, ratusan orang terbunuh dalam tindakan keras terhadap sekte Alawiyah – sekte yang menjadi tempat asal Assad – di Kota Latakia di barat Suriah. Sementara pada April, bentrokan antara pasukan bersenjata pro-pemerintah dan milisi Druze menewaskan sedikitnya 100 orang.
Bentrok terbaru pecah pada akhir pekan lalu ketika pasukan pemerintah Suriah turun tangan setelah pecah kekerasan antara kelompok Druze dan suku Arab Badui.
Menurut kelompok pemantau Syrian Network for Human Rights, kekerasan yang meningkat itu melibatkan pembunuhan di luar hukum, saling tembak artileri, dan serangan udara oleh pasukan Israel.
Hal ini kemudian memicu serangan udara lanjutan oleh Israel, yang mengklaim melakukan intervensi demi melindungi kaum Druze.
Setelah melalui pembicaraan yang melibatkan AS, pemerintah Suriah sepakat untuk menarik pasukannya dan mengumumkan gencatan senjata baru dengan milisi Druze pada Rabu.
Presiden Sharaa menyatakan bahwa dia memilih mengutamakan rakyatnya daripada membiarkan negara terjerumus dalam kekacauan dan kehancuran, serta berjanji akan melindungi komunitas Druze.
Kenapa Israel Ikut Campur?
Ketika Israel melakukan intervensi, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa negaranya berkomitmen untuk mencegah bahaya terhadap kaum Druze di Suriah karena hubungan persaudaraan yang erat dengan warga Druze di Israel.
Namun, terdapat pula faktor-faktor lain, seperti keinginan Israel untuk melindungi wilayah perbatasannya seiring dengan diperluasnya kehadiran militer Israel di Suriah.
Netanyahu sebelumnya menyebut pemerintahan baru di Damaskus sebagai rezim Islam ekstremis dan ancaman terhadap negara Israel. Pada Mei, seorang pejabat Israel mengatakan kepada CNN bahwa Netanyahu telah meminta Presiden Donald Trump agar tidak mencabut sanksi terhadap Suriah karena dia khawatir hal itu akan menyebabkan terulangnya peristiwa 7 Oktober 2023, ketika militan yang dipimpin Hamas menyerang Israel.
Pemerintah Israel sendiri telah secara sepihak mendeklarasikan zona demiliterisasi di Suriah yang melarang masuknya pasukan dan senjata ke wilayah selatan Suriah. Pemerintah Suriah menolak deklarasi zona demiliterisasi tersebut dan bersama dengan komunitas internasional berulang kali menyerukan kepada Israel untuk menghentikan tindakan militer yang melanggar kedaulatannya.
Sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024, Israel telah merebut lebih banyak wilayah di Suriah dan secara berulang melancarkan serangan ke negara tersebut, dengan alasan untuk mencegah pembangunan kembali kekuatan militer dan memberantas militansi yang dapat mengancam keamanannya.
Serangan-serangan Israel terus berlanjut meskipun sekutu terdekatnya, Amerika Serikat (AS), mendorong agar Israel melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah.