Profil Dick Cheney, Mantan Wapres AS dan Arsitek Perang Irak yang Meninggal Karena Komplikasi Jantung dan Pneumonia

3 days ago 4

Liputan6.com, Washington, DC - Dick Cheney, seorang konservatif keras yang menjadi salah satu wakil presiden (wapres) paling berpengaruh sekaligus paling memecah belah dalam sejarah Amerika Serikat (AS), serta pendukung utama invasi Irak, meninggal dunia pada usia 84 tahun.

Menurut pernyataan keluarganya, Cheney meninggal pada Senin (3/11/2025) malam karena komplikasi pneumonia dan penyakit kardiovaskular — gabungan gangguan jantung dan pembuluh darah.

"Selama beberapa dekade, Dick Cheney mengabdi kepada bangsa kita, termasuk sebagai kepala staf Gedung Putih, anggota Kongres dari Wyoming, menteri pertahanan, dan wapres AS," bunyi pernyataan keluarga seperti dikutip dari Associated Press. "Dick Cheney adalah sosok yang hebat sekaligus berhati baik. Ia menanamkan kepada anak-anak dan cucunya rasa cinta pada tanah air, serta teladan untuk hidup dengan keberanian, kehormatan, kasih sayang, kebaikan, dan kecintaan pada memancing di alam bebas. Kami bersyukur tanpa batas atas segala pengabdian Dick Cheney bagi negara ini, dan merasa sungguh beruntung karena telah bisa mencintai — dan dicintai — oleh sosok besar yang begitu mulia."

Bertahan di Era Dua Generasi Bush

Cheney, yang dikenal tenang namun tegas, pernah mengabdi di bawah dua presiden dari keluarga yang sama. Ia memimpin angkatan bersenjata AS sebagai Menteri Pertahanan dalam pemerintahan George H. W. Bush (Bush Sr.), terutama saat Perang Teluk 1990–1991, sebelum kemudian kembali ke pemerintahan sebagai wapres bagi putra sang presiden, George W. Bush (Bush Jr.).

Dalam masa kepemimpinan Bush Jr., Cheney berperan layaknya kepala operasional pemerintahan. Ia terlibat langsung — dan sering kali memegang kendali besar — dalam pelaksanaan berbagai keputusan penting, baik yang berkaitan dengan presiden maupun kebijakan strategis yang menjadi minat pribadinya. Semua itu ia jalani sambil bertahun-tahun berjuang melawan penyakit jantung kronis, hingga akhirnya menjalani transplantasi jantung setelah keluar dari pemerintahan.

Cheney juga dikenal terus membela penggunaan berbagai langkah ekstrem — seperti pengawasan ketat, penahanan tanpa batas, dan metode interogasi keras — yang diterapkan sebagai tanggapan terhadap serangan teroris 11 September 2001.

Berseteru dengan Trump

Bertahun-tahun setelah meninggalkan jabatannya, Cheney menjadi sasaran serangan Donald Trump. Hal ini terutama dipicu oleh kiprah Liz Cheney, putri sulungnya, yang muncul sebagai salah satu pengkritik paling keras terhadap Trump. 

"Dalam sejarah bangsa kita selama 246 tahun, tak pernah ada seseorang yang menjadi ancaman lebih besar terhadap republik kita dibanding Donald Trump," kata Cheney dalam sebuah iklan televisi yang dibuat untuk mendukung putrinya. "Ia mencoba mencuri pemilu terakhir dengan kebohongan dan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan setelah para pemilih menolaknya. Ia adalah seorang pengecut."

Dalam sebuah ironi politik yang tak terbayangkan di masa mudanya, Cheney bahkan menyatakan pada tahun 2024 bahwa ia memilih kandidat Demokrat, Kamala Harris, dalam pemilu untuk menentang Trump.

Sebagai penyintas lima serangan jantung, Cheney lama merasa hidupnya adalah "bonus waktu". Pada 2013, ia pernah berkata bahwa setiap pagi ia terbangun dengan senyum di wajah, bersyukur atas anugerah satu hari lagi — gambaran yang terasa kontras dengan reputasinya sebagai sosok keras.

Masa jabatannya sebagai wapres berlangsung di tengah era terorisme global. Cheney bahkan pernah mematikan fungsi nirkabel alat defibrillator-nya karena takut disusupi teroris untuk mengirim kejutan listrik mematikan ke jantungnya.

Pada masa itulah jabatan wapres tak lagi bersifat seremonial. Cheney menjadikannya pusat pengaruh tersembunyi, saluran belakang untuk memengaruhi kebijakan Irak, keamanan nasional, energi, dan kekuasaan eksekutif.

Dengan senyum miring yang khas — yang oleh para pengkritik disebut sinis — Cheney sering menertawakan reputasinya sendiri sebagai dalang licik.

"Apakah saya ini jenius jahat di sudut ruangan yang tak pernah terlihat keluar dari lubangnya?" ujarnya sambil bercanda. "Itu sebenarnya cara bekerja yang cukup menyenangkan."

Sebagai sosok garis keras dalam isu Irak, Cheney semakin terisolasi setelah para pejabat lain yang juga berpendirian keras meninggalkan pemerintahan. Ia terbukti keliru dalam banyak hal terkait Perang Irak — mulai dari klaim adanya hubungan antara Irak dan serangan 11 September, hingga keyakinannya bahwa pasukan AS akan disambut sebagai pembebas.

Pada Mei 2005, ia menyatakan bahwa pemberontakan di Irak sedang berada di "fase terakhir", padahal saat itu korban tentara AS baru separuh dari jumlah yang akhirnya jatuh sebelum perang berakhir.

Meski demikian, bagi para pendukungnya, Cheney tetap dipandang sebagai sosok yang teguh di masa penuh ketidakpastian — tetap berpegang pada keyakinannya meski bangsa sendiri mulai menentang perang dan para pemimpin yang menggelarnya.

Namun menjelang akhir masa jabatan kedua Bush Jr., pengaruh Cheney mulai surut, terkikis oleh keputusan pengadilan dan perubahan politik. Upayanya memperluas kekuasaan presiden dan memperkeras perlakuan terhadap tersangka teroris ditolak, sementara pandangannya tentang Iran dan Korea Utara tak sepenuhnya diadopsi oleh Bush Jr.

Orang Nomor Satu yang Sesungguhnya

Kecenderungannya menutup diri dan bekerja di balik layar akhirnya berbalik menjadi bumerang. Cheney mulai dipandang sebagai Machiavelli modern yang mudah tersinggung dan gagal mengelola kritik atas perang Irak. Citra itu makin memburuk ketika pada 2006 ia secara tak sengaja menembak rekan berburunya, Harry Whittington, di bagian dada, leher, dan wajah.

Cheney menyebut insiden itu sebagai "salah satu hari terburuk dalam hidup saya". Whittington selamat dan memaafkannya, tetapi selama berbulan-bulan para komedian dan satiris di televisi menjadikannya bahan olok-olok.

Ketika Bush Jr. memulai kampanye pertamanya pada tahun 2000, ia meminta bantuan Cheney — sosok berpengalaman di dunia politik Washington yang saat itu telah kembali ke bisnis minyak sebagai CEO Halliburton. Cheney ditunjuk memimpin tim untuk mencari calon wakil presiden yang ideal.

Namun pada akhirnya, Bush Jr. justru memilih Cheney sendiri. Keduanya kemudian menghadapi pertarungan panjang pasca-pemilu 2000, dengan penghitungan ulang suara di Florida dan gugatan hingga Mahkamah Agung sebelum akhirnya dinyatakan menang.

Cheney memimpin proses transisi pemerintahan bahkan sebelum kemenangan resmi dipastikan, membantu memastikan awal pemerintahan Bush Jr. berjalan mulus. Dalam kabinet, ia kerap menjadi penengah di antara departemen yang berebut anggaran — dan sering kali, keputusannya menjadi kata akhir.

Di Kongres, ia melobi keras untuk kebijakan presiden di lorong-lorong yang dulu pernah ia kenal sebagai anggota parlemen. Banyak lelucon beredar bahwa Cheney adalah "orang nomor satu yang sesungguhnya di Washington" — dan Bush Jr. pun sering menanggapinya dengan tawa. Namun menjelang akhir masa jabatannya, lelucon itu memudar ketika Bush Jr. mulai tampil sebagai pemimpin yang sepenuhnya mandiri.

Cheney kemudian pensiun di Jackson Hole, Wyoming, tak jauh dari tempat Liz membeli rumah beberapa tahun kemudian. Dengan menetap di sana, Liz mencalonkan diri dan berhasil memenangkan satu-satunya kursi Wyoming di DPR AS pada 2016 — kursi yang dulu pernah diduduki ayahnya.

Cheney mendukung penuh Liz saat ia menjabat sebagai wakil ketua Komite DPR AS yang menyelidiki serangan ke Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Sikap keras Liz terhadap Trump membuatnya dikucilkan di Partai Republik, terutama di Wyoming yang sangat konservatif.

Terpilih sebagai anggota DPR pada 2016 dan kembali menang pada 2018, Liz mendapat pujian luas dari banyak Demokrat dan pengamat politik karena keberaniannya menentang Trump. Namun, dukungan ayahnya tak cukup menyelamatkannya; dalam upaya ketiganya mencalonkan diri pada 2022, ia kalah telak dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik — kejatuhan tajam setelah kariernya melesat cepat di panggung politik nasional.

Perjalanan Awal dan Karier Politik

Ketertarikan Cheney pada politik membawanya ke Washington pada 1968, ketika ia mengikuti program magang Kongres (Congressional Fellowship). Di sana, ia bertemu dan menjadi murid Donald Rumsfeld, anggota DPR Partai Republik dari Illinois. Cheney bekerja di bawah Rumsfeld di dua lembaga pemerintahan dan kemudian di Gedung Putih era Presiden Gerald Ford. Pada usia 34 tahun, ia diangkat menjadi Kepala Staf Gedung Putih, pejabat tertinggi yang mengatur jadwal dan kegiatan presiden — menjadikannya orang termuda yang pernah memegang posisi itu.

Ia memegang jabatan tersebut selama 14 bulan, lalu kembali ke kampung halamannya di Casper, Wyoming, dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR AS yang mewakili Wyoming — negara bagian dengan satu kursi tunggal di Kongres.

Dalam kampanye pertamanya, Cheney sempat mengalami serangan jantung ringan, tetapi tetap maju. Dengan nada bercanda ia berkata akan membentuk kelompok dukungan bernama "Cardiacs for Cheney". Ia akhirnya menang telak dan terpilih kembali lima kali berturut-turut.

Pada 1989, Cheney diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Bush Sr., memimpin Pentagon selama Perang Teluk yang berhasil mengusir pasukan Irak dari Kuwait.

Setelah menjabat sebagai menteri pertahanan di era Bush Sr., Cheney sempat beralih ke dunia bisnis dan memimpin Halliburton Corp., perusahaan rekayasa dan energi berbasis di Dallas, sebelum kembali ke pemerintahan sebagai wapres di bawah Bush Jr. 

Cheney lahir di Lincoln, Nebraska, sebagai putra seorang pegawai senior di Departemen Pertanian AS. Ia tumbuh besar di Casper, Wyoming, di mana ia terpilih sebagai ketua kelas dan menjadi salah satu kapten tim sepak bola sekolahnya.

Setelah lulus, ia mendapat beasiswa penuh ke Universitas Yale, namun keluar setelah satu tahun karena nilai yang buruk. Ia kemudian kembali ke Wyoming, melanjutkan studi di Universitas Wyoming, dan kembali menjalin hubungan dengan kekasih masa SMA-nya, Lynne Anne Vincent, yang dinikahinya pada 1964.

Read Entire Article