Laporan Liputan6.com dari Kosta Rika: Menengok Hacienda Alcasia, Episentrum Kopi Dunia

2 days ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Terik matahari terasa membakar kulit. Namun, berada di lereng pegunungan Kosta Rika terasa berbeda. Panasnya 'jinak' diredam sejuknya angin yang berhembus di antara barisan pohon kopi yang membentang sejauh mata memandang.

Di lereng itu, Hacienda Alsacia berada. Hacienda Alsacia tak sekadar menghasilkan kopi, tetapi menjadi kebun pengetahuan bagaimana kopi seharusnya ditanam, dirawat, dan diwariskan ke generasi berikutnya.

Hacienda Alsacia bukan kebun kopi sunyi. Riset berlangsung terus menerus, berdampingan dengan aktivitas panen, diskusi agronomi, dan kunjungan petani dari berbagai negara.

Starbucks menjadikan tempat ini sebagai pusat pembelajaran global. Sebuah titik temu antara sains, praktik lapangan, dan realitas hidup para petani kopi.

Peran tersebut kian relevan di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim terhadap produksi kopi dunia. Cuaca yang semakin tak menentu. Penyakit merebak dan menjangkit tanaman sampai memunculkan satu pertanyaan besar: bagaimana petani dapat mempertahankan kualitas sekaligus produktivitas kopi di masa depan? Bagi Carlos Mario Rodriguez, jawabannya tidak bisa bersifat instan, apalagi eksklusif.

Carlos merupakan Director of Coffee di Starbucks Coffee Company yang memimpin riset agronomi dan inovasi kopi global. Dia mengatakan Alsacia tak cuma menjadi lumbung kopi, tetapi juga episentrum pengetahuan kopi dunia. 

“Alsacia memiliki total 240 hektare, 170 hektar ditanami kopi, dan sebagai bagian dari itu kami menyisihkan 14 hektare untuk mengembangkan koleksi inti,” ujar Carlos kepada Liputan6.com di Hacienda Alsacia, Kosta Rika pada Jumat (12/12).

“Koleksi inti kami memiliki sekitar 617 varietas kopi yang berbeda,” lanjutnya.

Pengetahuan yang lahir di Hacienda Alsacia mengalir melalui jaringan Starbucks Farmer Support Center (FSC) ke berbagai origin. Salah satunya Sumatera, wilayah yang kini tengah menghadapi tantangan iklim dan keberlanjutan yang semakin nyata.

Ruang Belajar dan Strategi Menjaga Kualitas Kopi

Bagi Starbucks, Hacienda Alsacia adalah sebuah laboratorium terbuka yang dapat diakses oleh petani kopi dari berbagai belahan dunia. Di kebun ini, pohon kopi tidak dibiarkan tumbuh begitu saja. Setiap siklusnya dirancang dengan perhitungan matang.

Sebuah pohon kopi membutuhkan waktu sekitar tiga hingga empat tahun hingga bisa berbuah. Siklus hidupnya pun terbatas, hanya setiap 20 hingga 30 tahun, dan pohon harus diremajakan agar produktivitas tetap terjaga karena buah kopi tidak tumbuh pada dahan yang sama.

Cabang lama harus dipangkas agar siklus baru bisa dimulai. Proses ini penting, namun mahal dan memakan waktu. Tantangan klasik bagi petani kecil di banyak negara produsen.

Oleh karenanya, riset di Hacienda Alsacia difokuskan untuk membantu petani menghadapi jeda panjang tersebut. Penelitian dilakukan untuk mempercepat masa produktif tanaman, meningkatkan hasil, dan memperkuat ketahanan terhadap penyakit seperti karat daun serta tekanan iklim.

Yang membedakan pendekatan ini dari banyak penelitian pertanian lainnya adalah keputusan untuk membuka manfaat bagi masyarakat, alias membagikan ilmu secara gratis.

“Berdasarkan koleksi inti serta hibrida baru, kami telah membagikan benih dan bibit ke sektor kopi secara global,” kata Carlos. “Kami mendonasikan bibit dan benih tersebut tidak peduli apakah petani tersebut menjual kopi kepada kami atau tidak.”

Menurutnya, keputusan ini merupakan strategi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas kopi di negara tersebut. Sebab, kebijakan Kosta Rika dalam mengelola sektor kopi berdiri di atas fondasi regulasi yang sangat kuat. Sejak akhir dekade 1980-an, pemerintah menetapkan larangan penanaman kopi robusta, sebuah keputusan strategis yang dirumuskan melalui rekomendasi Instituto del Café de Costa Rica (ICAFE) dan disahkan oleh National Coffee Congress. Langkah ini menjadikan Kosta Rika sebagai salah satu negara dengan regulasi kopi paling ketat di dunia.

Keputusan tersebut bukan semata soal varietas tanaman yang unggul, melainkan arah industri. Kosta Rika sejak lama memilih untuk memosisikan diri sebagai produsen kopi arabika berkualitas tinggi dibanding mengejar volume produksi.

Arabika dinilai mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi petani karena harga jualnya di pasar global secara konsisten berada di atas robusta.

Pilihan ini juga memberi perlindungan ekonomi bagi petani. Dengan fokus pada arabika, sistem kopi Kosta Rika memastikan hasil panen berada di segmen premium, sebuah pendekatan yang sejalan dengan kerangka hukum kopi nasional yang sejak 1933 dirancang untuk menjaga transparansi harga, keberlanjutan produksi, dan keberlangsungan petani kecil.

Di lapangan, dampaknya terlihat nyata. Starbucks menyumbangkan sekitar satu juta benih kopi per tahun di Kosta Rika saja, dan secara global telah membantu mendistribusikan benih untuk sekitar 150 juta pohon kopi yang lebih tahan penyakit dan iklim ekstrem.

“Perusahaan memutuskan untuk mendonasikan benih dan bibitnya untuk memastikan bahwa 10, 20 tahun dari sekarang, kami akan memiliki cukup kopi berkualitas tinggi,” sebut Carlos.

“Dan juga, sangat penting untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarga yang memproduksi kopi agar mereka tetap memproduksi kopi.”

Dari Kosta Rika ke Sumatera

Starbucks menyumbangkan sekitar satu juta benih kopi setiap tahun di Kosta Rika. Secara global, benih hasil pengembangan tersebut telah ditanam menjadi sekitar 150 juta pohon kopi di berbagai negara produsen.

Distribusi benih ini menjadi bagian dari upaya jangka panjang untuk membantu petani menghadapi penyakit tanaman dan perubahan iklim, sekaligus menjaga kualitas kopi.

Upaya tersebut dijalankan melalui jaringan Farmer Support Center (FSC) yang kini berjumlah 10 di seluruh dunia, dan salah satunya berada di Berastagi, Sumatera Utara, Indonesia.

Di pusat ini, petani dapat mengikuti pelatihan agronomi secara gratis, mempelajari praktik budi daya yang lebih efisien, hingga mengakses bibit unggul yang telah dikembangkan agar lebih tahan terhadap penyakit.

Namun, pendekatan ini tidak pernah dimaksudkan sebagai solusi seragam untuk semua wilayah. Menurut Mauro Madrigal, Senior Tour Guide sekaligus bagian dari tim pendukung Starbucks di Kosta Rika, perbedaan kondisi alam menjadi faktor penentu.

“Yang kami bagikan bukan resep tunggal,” kata Mauro. “Ketinggian, jenis tanah, dan iklim berbeda-beda. Apa yang berhasil di Kosta Rika belum tentu cocok di Indonesia. Tapi prinsip dan ilmunya bisa disesuaikan.”

Di sinilah benang merah yang menghubungkan Hacienda Alsacia dengan Sumatra mulai terlihat. Pengetahuan tentang varietas kopi tahan penyakit, pengelolaan air, hingga praktik pertanian berkelanjutan memang mengalir lintas negara, tetapi selalu diterjemahkan ulang sesuai konteks lokal.

Pendekatan berbasis adaptasi ini menjadi penting karena tantangan yang dihadapi petani kopi di Kosta Rika juga dirasakan di Indonesia. Anomali cuaca, penurunan produktivitas, dan penyakit tanaman kini menghantui kebun kopi di Sumatera, Jawa, dan wilayah penghasil kopi lainnya.

Dari sisi riset, Carlos Mario Rodriguez menjelaskan penerapan pengetahuan dari Hacienda Alsacia di Indonesia dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga lokal.

“Kami sedang berkoordinasi dan menandatangani perjanjian dengan ICRI agar kami dapat memvalidasi hasil terbaik kami dari Alsacia ke kondisi lokal di Indonesia,” ujar Carlos.

Menurutnya, proses validasi lokal menjadi kunci sebelum varietas atau teknik tertentu diterapkan secara luas.

“Itu termasuk suhu, kelembapan, dan jumlah curah hujan,” ujar Carlos. “Ada banyak faktor berbeda yang perlu kita validasi berdasarkan kondisi setempat.”

Karena itu lah, peran FSC di Berastagi menjadi krusial. Di pusat ini, riset global dari Kosta Rika tidak langsung dicontoh begitu saja, melainkan diuji melalui analisis tanah serta pemilihan varietas yang paling sesuai dengan kondisi setempat.

Salah satu contoh yang disebut Carlos adalah varietas hasil persilangan dari lini San Roque. "Kami telah bekerja dengan varietas yang kami sebut San Roque, yang memiliki profil warna yang sangat baik dan bahkan memenangkan Cup of Excellence pada tahun 2015," tutur Carlos.

"Dan sekarang kami membuat persilangan yang menggabungkan ketahanan terhadap pemanggangan kopi. Itu adalah contoh yang sangat baik yang penting untuk divalidasi dalam kondisi Indonesia," pungkasnya.

Kopi, Manusia, dan Martabat Kerja

Keberlanjutan di Hacienda Alsacia juga menyentuh aspek sosial. Sekitar 20 persen pemetik kopi di sana berasal dari komunitas lokal Costa Rica, sementara sisanya adalah pekerja migran dari Nikaragua.

Los Temporales, begitu mereka menyebut para pekerja musiman tersebut. Selama masa panen, Starbucks menyediakan rumah tinggal bagi para pemetik beserta keluarganya.

Anak-anak mereka tidak ikut bekerja di kebun. Sebaliknya, tersedia pusat penitipan anak, klinik kecil, dan layanan kesehatan gratis selama musim panen berlangsung.

Kebijakan tanpa pekerja anak diterapkan secara ketat, sebuah praktik yang menjadi bagian dari standar etika Starbucks di seluruh rantai pasoknya guna memastikan hasil panen yang sesuai standar etika.

Dan bagi Marcelo Elizondo, Country Manager Starbucks Farmer Support Center (FSC) Kosta Rika, pendekatan ini berangkat dari pemahaman bahwa kesejahteraan petani dan pekerja adalah fondasi keberlanjutan jangka panjang.

“Melihat para petani datang, membawa pulang benih yang diproduksi di sini, lalu tiga atau empat tahun kemudian kami mengunjungi kebun mereka dan melihat benih itu memberi mereka keuntungan dan masa depan bagi keluarga mereka—itu sangat memuaskan,” ujar Marcelo.

Ia menekankan bahwa FSC hadir untuk mengurangi risiko yang kerap harus ditanggung petani kecil. Bagi petani dengan lahan terbatas, mencoba teknik atau pupuk baru berarti mempertaruhkan sebagian besar penghasilannya.

“Bayangkan jika saya petani kopi dengan satu hektare lahan. Untuk mencoba pupuk baru, saya harus mengorbankan 25–30 persen lahan saya dengan hasil yang belum pasti. Itu berarti saya mempertaruhkan sekitar 30 persen pendapatan saya selama dua atau tiga tahun,” kata Marcelo.

Di sinilah peran Hacienda Alsacia menjadi krusial. Kebun ini berfungsi sebagai ruang uji coba terbuka, tempat berbagai eksperimen agronomi dilakukan tanpa memaksa petani mempertaruhkan lahan dan penghasilan mereka sendiri. Hasil riset tersebut kemudian dibagikan melalui jaringan FSC yang terhubung secara global.

Pendekatan ini, menurut Marcelo, memungkinkan pengetahuan bergerak lintas negara, termasuk ke Indonesia, tanpa membebani petani kecil. Model ini mencerminkan filosofi yang juga diterapkan di negara lain, bahwa kualitas kopi tidak bisa dipisahkan dari kualitas hidup orang-orang yang menanam dan memanennya.

Indonesia dalam Peta Masa Depan Kopi

Indonesia, dengan wilayah penghasil kopinya seperti Sumatera, menghadapi tantangan yang tidak jauh berbeda. Perubahan iklim, produktivitas yang fluktuatif, serta tekanan ekonomi pada petani kecil. Kehadiran Starbucks Farmer Support Center di Sumatera menjadi perpanjangan dari apa yang diuji di Hacienda Alsacia. Bukan untuk menyalin, melainkan menyesuaikan.

Di pusat dukungan petani tersebut, agronomis bekerja langsung dengan petani lokal untuk meningkatkan praktik budidaya, kualitas hasil panen, dan keberlanjutan jangka panjang.

Prinsipnya sama: berbagi ilmu, memperkuat ketahanan, dan memastikan kopi tetap menjadi sumber penghidupan yang layak.

Hacienda Alsacia menunjukkan bahwa masa depan kopi tidak dibangun di satu negara saja, namun tumbuh dari jejaring pengetahuan global. Dari Kosta Rika hingga Sumatera, berakar pada tanah, petani, dan waktu.

Di kebun ini, kopi bukan sekadar komoditas. Ia adalah hasil kesabaran, riset bertahun-tahun, dan keyakinan yang tulus bahwa dengan kolaborasi, secangkir kopi di masa depan masih bisa dinikmati tanpa mengorbankan alam dan manusia yang menumbuhkannya.

Read Entire Article