Liputan6.com, Jakarta - Hampir tiga dekade konflik bersenjata melukai Aceh dan meninggalkan jejak penderitaan yang dalam. Pada 15 Agustus 2005, Perjanjian Damai Helsinki mengakhiri bab kelam itu dan membuka jalan bagi harapan baru.
Jalan menuju perdamaian di Aceh dibangun dibangun selama bertahun-tahun secara gotong royong. Bahkan, dalam prosesnya, melibatkan diplomasi.
"Perjanjian damai Aceh, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, bukanlah pencapaian satu orang saja. Itu adalah hasil kerja bersama dari banyak pihak—pemerintah, masyarakat Aceh, TNI dan Polri, masyarakat sipil, serta komunitas internasional—yang percaya bahwa setelah puluhan tahun konflik, perdamaian adalah hal yang mungkin dicapai," tegas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang saat itu menjabat presiden Republik Indonesia, dalam Forum Peringatan 20 Tahun Perjanjian Damai Aceh yang diselenggarakan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Komitmen politik yang kuat dari SBY dan Jusuf Kalla (JK), wakil presiden saat itu, menjadi faktor penting dalam penyelesaian konflik Aceh dengan mendorong proses negosiasi.
"Peringatan ini juga sangat pribadi bagi saya. Aceh bukan sekadar satu provinsi di wilayah kepulauan yang luas. Saya mengenalnya sejak lama, bahkan sebelum menjadi presiden—melalui kunjungan, tugas di pemerintahan, dan interaksi langsung dengan para pemimpin serta rakyat Aceh. Saya memahami penderitaan akibat konfliknya dan urgensi menemukan solusi politik. Rasa tanggung jawab itu terus saya bawa dan menjadi panduan kepemimpinan saya ketika kesempatan untuk mencapai perdamaian akhirnya datang. Hari ini, saya berdiri di hadapan Anda bukan hanya untuk merayakan pencapaian sejarah, tetapi juga untuk merenungkan perjalanan panjang yang telah kita lalui. Perjalanan yang sarat pelajaran, sekaligus tantangan yang masih tersisa—baik bagi Aceh, maupun bagi upaya perdamaian di berbagai belahan dunia," tutur SBY.
Sejak awal, SBY menyatakan keyakinannya jelas: Konflik Aceh tidak bisa dan tidak seharusnya diselesaikan hanya dengan cara militer. Langkah keamanan kadang diperlukan, tetapi tidak akan menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan adalah penyelesaian politik komprehensif, berlandaskan keadilan, saling menghormati, dan tetap dalam bingkai konstitusi.
"Pengalaman saya di bidang politik dan keamanan sebelum menjadi presiden meyakinkan saya bahwa perdamaian hanya akan tercapai jika kita membangun dialog tulus dan menemukan titik temu yang bisa diterima kedua pihak," ujar SBY.
Perjalanan Dimulai dari Era Habibie
SBY mengatakan ketika bicara tentang proses perdamaian Aceh, banyak orang sering kali terjebak untuk hanya fokus pada momen penandatanganan perjanjian damai di Helsinki.
"Namun, sejarah jarang sesederhana itu. Perjanjian Helsinki bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Itu adalah puncak dari perjalanan panjang dan sering kali sulit yang membentang selama bertahun-tahun. Melalui beberapa masa kepresidenan, melalui inisiatif yang sebagian berhasil dan yang gagal sama sekali. Dan melalui upaya tanpa henti untuk menjembatani jurang antara Jakarta dan Aceh," cerita SBY.
Bab pertama dari perjalanan menuju damai di Aceh dimulai setelah jatuhnya Orde Baru, ketika era reformasi membuka ruang politik baru untuk dialog. Di bawah Presiden B.J. Habibie, humanitarian pause diperkenalkan.
"Ini belum merupakan penyelesaian damai, tetapi merupakan langkah awal yang penting. Ini adalah pengakuan dari kedua belah pihak bahwa bahkan dalam konflik, kebutuhan kemanusiaan harus dipenuhi, dan bahwa dialog itu mungkin dilakukan," terang SBY.
"Tahap berikutnya datang di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Ada energi baru untuk menemukan solusi damai, dengan pembahasan yang berkembang melampaui urusan kemanusiaan menuju pengaturan politik. Pada saat itu, saya menjabat sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan dan saya berada di garis depan misi ini. Namun, jalannya tetap terjal. Ketidakpercayaan yang dalam, terakumulasi selama puluhan tahun, membuat setiap usulan menghadapi penolakan, baik di Jakarta maupun di Aceh."
Di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri, sebut SBY, upaya berlanjut.
"Dalam kapasitas saya sebagai Menko Polkam, saya melakukan lebih dari selusin kunjungan ke kabupaten dan kota di seluruh Aceh—bertemu ulama, tokoh masyarakat, pejabat lokal, dan warga biasa—untuk memahami harapan, keluhan, dan gagasan mereka untuk perdamaian. Saya juga berupaya membuka jalur komunikasi diam-diam dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Pada masa inilah Perjanjian Jenewa dicapai. Untuk sesaat, ada optimisme bahwa kita telah menemukan jalan ke depan," terang presiden ke-6 RI ini.
"Namun, seperti humanitarian pause sebelumnya, Perjanjian Jenewa menghadapi kesulitan dalam pelaksanaan. Kepatuhan lemah di kedua belah pihak dan tidak lama kemudian, perjanjian itu runtuh. Bagi saya, sebagai penanggung jawab utama pemerintah untuk isu ini, hal ini terasa seperti misi yang belum selesai—utang sejarah yang saya harap suatu hari dapat saya lunasi. Pada tahun 2004, rakyat Indonesia mempercayakan saya dengan jabatan presiden. Saya berkampanye secara terbuka dengan janji bahwa jika terpilih, saya akan menjadikan akhir konflik Aceh sebagai prioritas—secara damai, adil, dan bermartabat."
Hanya satu bulan setelah pelantikannya, SBY mengunjungi Banda Aceh. Secara terbuka, dia mengundang semua pihak untuk duduk bersama dan menemukan solusi politik.
"Responsnya hati-hati. Beberapa di GAM tetap skeptis, tetapi banyak yang menyambut sentimen tersebut. Saya mulai mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari GAM, kepercayaan yang meskipun masih rapuh, membuka pintu untuk dialog yang lebih dalam dan kemungkinan nyata perdamaian. Lalu, satu bulan kemudian, bencana melanda—tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Kehancuran yang terjadi di Aceh melampaui apa yang dapat dibayangkan," ungkap SBY.
"Di tengah tragedi, saya mengulangi seruan untuk perdamaian. Kali ini, responsnya berbeda. Besarnya bencana menciptakan urgensi baru dan kesadaran bersama bahwa membangun kembali Aceh tidak dapat dilakukan ketika senjata masih meletus. Dengan perubahan pola pikir itu, kami mulai mempersiapkan perundingan resmi."
Ujian pada Kesabaran dan Kehati-hatian
Ada lima putaran pembicaraan di Helsinki, jelas SBY, yang masing-masing menurutnya menguji kesabaran dan keteguhan kedua delegasi.
"Saya memegang kendali langsung atas arah keseluruhan perundingan ini. Tugas saya adalah memastikan bahwa setiap pembahasan tetap berada dalam batas-batas konstitusi, bahwa kedaulatan kita tetap utuh, dan bahwa setiap kesepakatan dapat dilaksanakan tanpa menciptakan ketidakstabilan politik atau hukum. Saya menetapkan parameter bagi delegasi, memberikan persetujuan akhir untuk posisi strategis, dan membuat keputusan penting ketika pembicaraan mencapai titik kritis," beber SBY.
"Ketika Martti Ahtisaari—mantan presiden Finlandia dan Kepala Crisis Management Initiative (CMI)—diminta untuk menjadi mediator dalam proses perdamaian Aceh, dia meminta untuk bertemu langsung dengan saya untuk mendengar dari otoritas tertinggi apa yang sebenarnya diinginkan Indonesia. Pertanyaannya singkat dan jelas, 'Apakah saya benar-benar ingin dia menjadi mediator dan apa visi saya sebagai presiden Indonesia?' Jawaban saya sama langsungnya, 'Ya, saya menyambutnya sebagai mediator dan saya membayangkan berakhirnya konflik dengan Aceh diberikan otonomi luas, tetapi tanpa kemerdekaan.' Dari pertemuan itu, Martti dan CMI mulai bekerja dengan sungguh-sungguh."
Beberapa isu sangat sensitif.
"Pertanyaan tentang partai politik lokal harus diselesaikan sedemikian rupa, sehingga memungkinkan status khusus Aceh tanpa menciptakan preseden yang bermasalah bagi provinsi lain. Gagasan tentang 'pemerintahan sendiri' harus didefinisikan dengan hati-hati agar selaras dengan kerangka otonomi khusus Indonesia yang ada. Persoalan simbol, seperti bendera, harus ditangani dengan tegas karena berakhirnya konflik berarti tidak boleh lagi ada penggunaan lambang-lambang separatis," ujar SBY.
Akhirnya, perjanjian damai pun ditandatangani.
"Saya masih mengingat dengan jelas saat berbicara hari itu di Istana Kepresidenan di Jakarta, menyambut perjanjian tersebut tetapi juga memperingatkan bahwa pekerjaan berat belum selesai. Perdamaian di atas kertas adalah satu hal—perdamaian di hati, pikiran, dan kehidupan sehari-hari adalah hal lain. Masa segera setelah Helsinki adalah, menurut pandangan saya, yang paling rapuh. Kepercayaan antara mantan pihak yang bertikai harus dibangun dari awal," terang SBY.
"Pelaksanaan perjanjian harus dikelola dengan hati-hati melalui legislasi dan perubahan administratif. Saya sering mengatakan kepada semua komandan dan pemimpin di Aceh, 'Berdirilah bersama. Jangan biarkan kecurigaan memecah belah kalian. Tunjukkan kepemimpinan, tanggung jawab, dan komitmen. Jika kalian melakukan itu, setengah dari masalah kita sudah teratasi.' Pesan yang sama saya sampaikan kepada para menteri di Jakarta. Kita membutuhkan satu suara, satu pemahaman, satu tekad untuk melindungi perdamaian ini. Seiring waktu, meskipun ada kesulitan yang tidak terhindarkan, perjanjian itu bertahan. Undang-undang disahkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat. Mantan kombatan meletakkan senjata mereka dan merangkul kehidupan sipil."
Aceh Hari Ini dari Kacamata SBY
Penandatanganan Perjanjian Helsinki pada tahun 2005 diiringi harapan besar bahwa perdamaian akan membuka pintu bagi kemajuan yang pesat, sehingga Aceh dapat segera pulih, berkembang secara ekonomi, dan menawarkan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya.
"Melihat kembali setelah 20 tahun, saya harus berbicara dengan jujur. Meskipun ketiadaan konflik bersenjata adalah pencapaian besar, banyak dari mimpi yang kami miliki untuk pembangunan Aceh belum sepenuhnya terwujud. Pertumbuhan ekonomi belum mencapai potensi penuhnya. Dan, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan perbaikan sosial dan infrastruktur benar-benar memenuhi aspirasi rakyat. Kesenjangan antara apa yang dibayangkan dan apa yang telah dicapai mengingatkan kita akan perjalanan yang masih harus ditempuh," kata SBY.
"Ya, rakyat menikmati keamanan dan kebebasan dari rasa takut; ya, stabilitas politik telah terjaga; dan meskipun kemajuan di bidang ekonomi, pembangunan sosial, dan pelayanan publik bervariasi, capaian-capaian ini membentuk fondasi yang kuat untuk membangun kemajuan yang lebih besar di tahun-tahun mendatang.Mengapa demikian? Jawabannya tidak dapat ditemukan pada satu penyebab tunggal."
Perjanjian Helsinki sendiri, tegas SBY, tidak pernah dimaksudkan sebagai formula ajaib yang secara otomatis membawa kemakmuran.
"Itu, pertama dan terutama, adalah penyelesaian politik untuk mengakhiri konflik bersenjata, menciptakan kerangka pemerintahan, dan memberikan Aceh perdamaian serta stabilitas yang dibutuhkannya untuk bergerak maju. Pembangunan, bagaimanapun, memerlukan lebih banyak hal—kebijakan yang tepat, tata kelola yang efektif, investasi pada modal manusia, dan partisipasi aktif masyarakat. Saya harus berbicara secara jujur di sini—beberapa aspirasi yang kita tetapkan pada tahun 2005 belum sepenuhnya terwujud. Kita memahami bahwa perjalanan ekonomi setelah perjanjian damai menghadapi kompleksitas alami dan prioritas yang terus berkembang. Sementara kemajuan dalam diversifikasi ekonomi dan penguatan layanan publik berjalan secara bertahap, pengalaman-pengalaman ini telah memberi kita pelajaran yang berharga," jelas SBY.
"Inilah mengapa saya percaya sudah saatnya dilakukan evaluasi yang menyeluruh dan jujur. Jakarta dan Banda Aceh harus duduk bersama, dengan keterbukaan dan saling menghormati, untuk meninjau dua dekade terakhir. Apa yang berhasil? Apa yang kurang berhasil? Kesalahan apa yang telah dibuat? Dan yang terpenting, apa yang harus dilakukan secara berbeda di tahun-tahun mendatang? Evaluasi seperti itu harus menghindari jebakan saling menyalahkan. Semangat Helsinki adalah kerja sama, bukan konfrontasi."
SBY mencatat poin penting lainnya adalah bahwa generasi muda di Aceh, yang pada tahun 2005 masih anak-anak atau belum lahir, harus merasakan bahwa perdamaian telah memberikan peluang nyata bagi mereka.
"Jika mereka melihat stagnasi, kurangnya lapangan kerja, atau ketidaksetaraan, narasi bahwa perdamaian membawa kemakmuran akan kehilangan kekuatannya. Inilah sebabnya mengapa pendidikan, pelatihan vokasi, kewirausahaan, dan inovasi menjadi prioritas penting ke depan. Rakyat Aceh berhak mendapatkan dividen perdamaian. Mereka berhak atas pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, infrastruktur, dan kesempatan untuk membangun masa depan tanpa rasa takut dan kemiskinan. Tanggung jawab untuk mewujudkan ini bersifat bersama. Ada pada pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Jika fondasi tata kelola yang baik dan pembangunan yang merata diabaikan, ujar SBY, frustrasi yang pernah memicu konflik dapat muncul kembali dalam bentuk baru. Sebaliknya, jika perdamaian diperkuat dengan keadilan, kesempatan, dan inklusivitas, perdamaian tidak tergoyahkan.
"Saat kita menatap ke depan, mari kita ingat: penandatanganan Perjanjian Helsinki bukanlah akhir dari cerita. Itu adalah awal dari bab baru. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita akan menulis bab-bab berikutnya—apakah akan menjadi kisah kemajuan yang berkelanjutan atau kisah peluang yang terlewatkan. Pilihan dan tanggung jawabnya ada pada kita," imbuhnya.

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406089/original/006566900_1762512009-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5405703/original/088328900_1762495927-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5404907/original/048142000_1762418883-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5404719/original/031815100_1762414585-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403850/original/018730500_1762338996-7.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403844/original/088109900_1762338993-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-gray-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/4856410/original/085614500_1717749518-20240512_112214.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5264344/original/007151400_1750845056-zohran.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403410/original/023036900_1762326590-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403478/original/084562800_1762328141-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403265/original/094766500_1762322476-1.jpg)










:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5306844/original/053364400_1754451455-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5236094/original/8487869-g_8___8_potret_mas_brewog_sound_horeg_ungkap_nilai_full_set_audio_1_truk_capai_angka_miliaran_kini_punya_10_yang_laris_manis_keliling_jawa_timur_mas_brewog_sound_horeg-20250526-034-gunturm.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5306465/original/017032900_1754393503-WhatsApp_Image_2025-08-05_at_18.28.55.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5252086/original/007300100_1749857885-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1427491/original/065234600_1481000798-PANTI-JOMPO.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5221694/original/003674800_1747367357-Untitled.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5287704/original/087405000_1752830776-john_fredy.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288092/original/067044200_1752891478-9f3bfbe0-fecb-44d2-b8d4-1b4836ebe25d.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/3934359/original/048979900_1644900282-IMG20200129114536.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3442371/original/048867300_1619606697-20210428-Melihat_Lebih_Dekat_Para_Santri_Tadarusan_dengan_Al-Quran_Braille-4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5286819/original/086327400_1752758458-irak.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5283987/original/096142600_1752570992-dna-cceeb4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5285952/original/053913200_1752732898-54641762928_3a60b4a2af_c.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288739/original/058288800_1752989078-Screenshot_2025-07-18-15-12-39-63_1c337646f29875672b5a61192b9010f9_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5266915/original/058178600_1751023901-IMG-20250627-WA0180.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5287155/original/043147000_1752812525-WhatsApp_Image_2025-07-18_at_11.20.42_AM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5284413/original/015257600_1752633547-72dabf29-5dee-4de2-bc9f-770e1ee1ad21.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5288850/original/048376300_1752998023-Screenshot_2025-07-20_143619.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5289351/original/002614900_1753068428-aad3ff27-7e8a-4a28-ae02-b50df1701565.jpg)