Menteri Pertahanan Italia: Pemerintah Israel Telah Kehilangan Akal Sehat dan Kemanusiaan

2 months ago 26

Liputan6.com, Roma - Menteri Pertahanan (Menhan) Italia Guido Crosetto melontarkan kritik tajam terhadap tindakan Israel di Gaza, dengan mengatakan bahwa besarnya penderitaan warga sipil menunjukkan operasi militer Israel telah menyimpang jauh dari pembelaan diri yang sah.

"Pemerintah Israel telah kehilangan akal sehat dan kemanusiaannya. Memerangi teroris tidak lagi bisa dijadikan alasan," ungkap Crosetto dalam wawancara dengan surat kabar La Stampa, yang dipublikasikan Senin (11/8/2025), seperti dilansir kantor berita Anadolu.

Dia berpendapat bahwa situasi di Gaza dan Tepi Barat telah melewati ambang batas yang berbahaya.

"Seperti yang Anda tahu, saya berpandangan bahwa pendudukan Gaza dan beberapa tindakan serius di Tepi Barat menandai sebuah lompatan kualitatif, dan harus diambil keputusan-keputusan yang memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk berpikir. Dan itu bukanlah langkah melawan Israel, melainkan cara untuk menyelamatkan rakyatnya dari sebuah pemerintahan yang telah kehilangan akal sehat dan kemanusiaan," tutur Crosetto.

"Kita harus selalu membedakan antara pemerintah dengan negara dan rakyatnya, begitu pula dengan agama yang mereka anut."

Kenapa Pemimpin Eropa Tidak Mengunjungi Gaza?

Ketika ditanya mengapa tidak ada pemimpin Eropa yang melakukan perjalanan simbolis ke Gaza seperti yang pernah mereka lakukan ke Kyiv, Ukraina, meski ada populasi yang sedang "diratakan dengan tanah", Crosetto menjawab, "Karena mereka akan berhadapan dengan sebuah pemerintahan — yaitu Israel — yang tidak mau berdialog karena telah mengambil sikap fundamentalis dan integralistis."

"Pembelaan diri yang sah oleh sebuah negara demokrasi terhadap serangan teror yang mengerikan kini sudah tidak lagi meyakinkan. Yang kita saksikan sekarang adalah proyek dengan tujuan berbeda: menaklukkan wilayah asing sambil mengabaikan bencana kemanusiaan yang terjadi," ujarnya.

Apakah Italia Akan Mengakui Negara Palestina?

Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani pada Jumat, 25 Juli 2025, menegaskan bahwa Italia belum siap mengakui Negara Palestina. Pernyataannya itu muncul menyusul pengumuman Prancis yang akan melakukannya pada September mendatang.

Berbicara dalam pertemuan Dewan Nasional partainya, Forza Italia (FI), Tajani menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, namun menekankan bahwa pengakuan tersebut harus bersifat timbal balik.

"Italia mendukung solusi dua bangsa–dua negara, tetapi pengakuan terhadap negara Palestina yang baru harus dilakukan bersamaan dengan pengakuan mereka terhadap negara Israel," terang Tajani, seperti dikutip kantor berita ANSA.

"Kami menginginkan perdamaian, bukan kemenangan salah satu pihak atas pihak lainnya."

Dia membela rekam jejak kemanusiaan Italia, dengan mengatakan, "Kami adalah negara yang telah menerima pengungsi terbanyak dari Gaza."

Meski menegaskan persahabatan dengan Israel, Tajani mengecam operasi militer dan blokade Israel di Gaza.

"Kami tidak lagi dapat menerima pembantaian dan kelaparan. Saatnya gencatan senjata segera. Kami adalah sahabat Israel, namun kami telah menyampaikan hal ini kepada Israel," tegasnya.

Pernyataan Tajani memicu kritik dari Partai Demokrat (PD) yang beroposisi. Kepala urusan luar negeri PD, Giuseppe Provenzano, menuduh Tajani memutarbalikkan sejarah dan menggunakan alasan keliru untuk menunda pengakuan.

"Apakah menteri luar negeri kita tahu apa yang dia bicarakan?" kata Provenzano. "Dia mengatakan kita perlu pengakuan terhadap Israel. Padahal Italia telah mengakuinya sejak 194, dan Palestina bersama PLO juga mengakui Israel pada 1993 melalui Perjanjian Oslo."

Menurutnya, hambatan justru berasal dari pihak Israel.

"Israel-lah yang harus mengakui Palestina dan mengakhiri pendudukan ilegal atas wilayahnya," ujarnya, sambil menuding Netanyahu sebagai pihak yang telah menggagalkan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya.

"Pernyataan bahwa kita memerlukan 'pengakuan timbal balik' sama saja dengan menunggu keputusan Netanyahu, yang bertindak secara kriminal — dan itu berarti tidak akan pernah terjadi."

Dia menambahkan, "Anda boleh memilih berada di sisi sejarah yang salah, namun Anda tidak bisa menulis ulang sejarah dengan kemunafikan dan kebohongan."

Read Entire Article