Liputan6.com, Jakarta Salah satu ciri khas anak autis adalah kecenderungan mereka untuk menghindari kontak mata. Melihat lawan bicara secara langsung bisa jadi terasa sangat menantang bagi mereka. Bukan karena mereka tidak ramah atau tidak tertarik, tetapi ada sejumlah alasan kompleks di balik perilaku ini.
Banyak penelitian telah mengungkap bahwa menghindari kontak mata pada anak autis bukan sekadar masalah sosial, melainkan juga terkait dengan bagaimana otak mereka memproses informasi visual dan sensorik. Gangguan pemrosesan informasi visual, stres, dan masalah koordinasi sensorik turut berperan besar dalam perilaku ini.
Dalam tinjauan terhadap 11 studi, ada delapan studi mengungkapkan hiperaktivasi amigdala, wilayah otak yang menjadi kunci dalam emosi berbasis ancaman seperti rasa takut ketika disajikan dengan gambar mata (Stuart et al., 2023), seperti melansir Psychology Today, Jumat (9/8/2024).
Dikenal di jagat perfilman sebagai aktris, kali ini Dian Sastrowardoyo meramaikan jagat perfilman sebagai produser. Film yang akan diproduseri Dian bergenre drama komedi berjudul Guru-guru Gokil.
Ciri-ciri Anak Autis
Anak autis memiliki spektrum ciri khas yang beragam. Beberapa ciri umum meliputi kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi, serta adanya pola perilaku yang repetitif dan terbatas.
Selain itu, anak autis juga sering menunjukkan minat yang terbatas dan intens pada hal-hal tertentu. Mereka mungkin juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap rangsangan sensorik, seperti suara, cahaya, atau sentuhan.
Meskipun setiap anak autis unik, pemahaman akan ciri-ciri umum ini dapat membantu dalam mendiagnosis dan memberikan intervensi yang tepat. Diagnosis dini sangat penting untuk memastikan anak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.
Alasan Anak Autis Menghindari Kontak Mata
Kontak mata bagi anak autis seringkali terasa seperti kelebihan stimulasi visual. Area korteks otak yang memproses informasi visual, terutama di area perifer, menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi pada anak autis dibandingkan anak neurotipikal.
Selain itu, korteks parietal dorsal, area otak yang penting untuk kontak mata, mungkin tidak berfungsi dengan baik pada anak autis. Ini membuat kontak mata menjadi tugas yang berat dan melelahkan.
Kontak mata juga dapat memicu stres dan kecemasan yang berlebihan. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena kontak mata terasa terlalu intens dan sulit ditangani oleh sistem saraf mereka. Pengalaman negatif masa lalu terkait kontak mata juga dapat memperkuat respon stres ini. "Masuk akal jika penyandang autis diberikan banyak sekali informasi untuk diproses saat melakukan kontak mata langsung. Mereka mungkin tersesat dalam semua proses yang diperlukan," kata ahli kesehatan mental Jennifer Gerlach LCSW.
Beberapa anak autis mungkin mengalami kesulitan mengkoordinasikan fungsi sensorik mereka. Meskipun ingin melakukan kontak mata, mereka kesulitan melakukannya secara tepat. Ini menunjukkan bahwa koordinasi sensorik yang buruk juga dapat menjadi faktor penyebab.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua anak autis menghindari kontak mata karena kurangnya minat sosial. Ketidaknyamanan sensorik dan stres yang ditimbulkan oleh kontak mata lebih sering menjadi faktor utama. Setiap anak autis unik, dan penyebab serta tingkat keparahan kesulitan kontak mata bervariasi.
Gangguan Pemrosesan Informasi Visual dan Sensorik
- Otak anak autis memproses informasi visual secara berbeda, menyebabkan kelebihan stimulasi saat kontak mata.
- Korteks parietal dorsal, area otak yang penting untuk kontak mata, mungkin kurang berfungsi optimal.
- Koordinasi sensorik yang buruk dapat membuat kontak mata menjadi sulit dilakukan, meskipun ada keinginan untuk melakukannya.
Studi menunjukkan hiperaktivasi amigdala, wilayah otak yang terkait dengan rasa takut, saat anak autis disajikan dengan gambar mata. Ini menunjukkan adanya respon ancaman yang berlebihan terhadap kontak mata.
Sebuah penelitian terhadap orang dewasa dan remaja autis menemukan bahwa banyak orang mengalami gangguan sensorik, tekanan, dan gangguan ketika mencoba melakukan kontak mata (Trevisan et al., 2017). Autisme juga ditandai dengan gaya pemrosesan dengan peningkatan fokus pada detail (Happe et al., 2006).
Terapi untuk Anak Autis
Alih-alih memaksa kontak mata, pendekatan yang lebih baik adalah menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung. Latihan kontak mata harus dilakukan secara bertahap dan dengan metode yang sesuai dengan kebutuhan individu anak.
Terapi perilaku kognitif (CBT) dapat membantu anak autis mengelola stres dan kecemasan yang terkait dengan kontak mata. Terapi ini mengajarkan strategi koping untuk mengatasi situasi yang memicu kecemasan.
Terapi okupasi juga dapat bermanfaat dalam membantu anak autis meningkatkan kemampuan sensorik mereka dan mengelola sensitivitas terhadap rangsangan sensorik. Ini dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan yang terkait dengan kontak mata.
Selain itu, penting untuk memberikan pendidikan dan pemahaman kepada orang tua, guru, dan lingkungan sekitar anak autis tentang kondisi ini. Dukungan sosial yang kuat sangat penting bagi keberhasilan intervensi.
Terapi bermain dan pendekatan yang berbasis bermain dapat membuat anak autis lebih nyaman dan terbuka untuk berinteraksi, termasuk kontak mata. Metode ini menekankan pada kesenangan dan kolaborasi.
Kesalahpahaman Mengenai Kontak Mata dan Autisme
Kurangnya kontak mata sering disalahartikan sebagai kurangnya minat sosial atau kurangnya perhatian. Padahal, ini adalah gejala yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab.
Penting untuk memahami bahwa menghindari kontak mata bukan berarti anak autis tidak ingin berinteraksi. Mereka mungkin hanya mengalami kesulitan dalam memproses informasi visual dan sensorik.
Mengajarkan kontak mata secara paksa dapat malah meningkatkan stres dan kecemasan pada anak autis. Pendekatan yang lebih baik adalah menciptakan lingkungan yang mendukung dan melatih keterampilan ini secara bertahap.
"Saya ingat seorang instruktur keterampilan sosial memberitahu saya bahwa orang-orang memperhatikan apa yang mereka perhatikan. Ini tidak pernah terpikir oleh saya karena tidak selalu benar bagi saya," ungkap Jennifer yang juga seorang penyandang autisme.
Dalam situasi tertentu, seperti wawancara kerja, memaksa kontak mata justru dapat mengganggu kemampuan komunikasi anak autis. Lebih baik fokus pada keterampilan komunikasi lainnya yang dapat secara tidak langsung meningkatkan kontak mata.
“Meskipun saya telah meluangkan waktu untuk beradaptasi dan membangun kapasitas kontak mata dalam interaksi tertentu, ada kalanya fokus saya tampak paling tajam ketika mata saya dialihkan,” ujar Jennifer.