Larangan Memberi Makan Merpati Jadi Kontroversi di India, Ini Duduk Perkaranya

2 months ago 16

Liputan6.com, New Delhi - Larangan pengadilan terbaru terhadap pemberian makan merpati di ruang publik di Kota Mumbai, India, telah menjadi pemicu perdebatan besar antara otoritas kota, aktivis kesehatan masyarakat, dan para pecinta burung.

Bulan ini, ratusan orang bentrok dengan polisi sebanyak dua kali saat memprotes penutupan lokasi pemberian makan merpati yang sudah ada selama puluhan tahun atau disebut kabutarkhana. Kabutar adalah kata dalam bahasa Hindi untuk merpati.

Beberapa orang merobek terpal yang menutupi lokasi itu dan mengancam akan melakukan mogok makan tanpa batas waktu. Polisi bahkan dilaporkan sempat menahan sekitar 15 orang dalam sebuah protes lain.

Melansir BBC, otoritas menerapkan larangan tersebut karena khawatir terhadap bahaya kesehatan akibat kotoran merpati.

Masalah ini bukan hanya terjadi di Mumbai. Di Venesia, memberi makan merpati di alun-alun bersejarah sudah lama dilarang. Singapura mengenakan denda berat, sementara New York dan London mengatur zona khusus untuk memberi makan burung tersebut.

Kembali ke India, Kota Pune dan Thane di Negara Bagian Maharashtra sudah mengenakan denda atas pemberian makan merpati. Delhi sendiri tengah mempertimbangkan imbauan agar masyarakat tidak memberi makan burung-burung itu di ruang publik.

Warisan Budaya, Religi, dan Ikatan Emosional

Tindakan keras ini memicu kemarahan para pecinta hewan dan kelompok religius, sebab merpati telah lama menjadi bagian dari warisan budaya India.

Dalam film-film, sering ditampilkan adegan merpati yang diberi makan biji-bijian untuk menegaskan suasana khas kota seperti Mumbai dan Delhi, tempat burung itu akrab terlihat di balkon dan mesin pendingin udara.

Beberapa kabutarkhana di Mumbai bahkan dianggap sebagai bangunan warisan ikonik, yang konon berasal dari tradisi amal masyarakat yang mendonasikan biji-bijian.

Ada pula sentimen keagamaan. Di Mumbai, komunitas Jain — yang menganggap memberi makan merpati sebagai kewajiban religius — bersuara keras dalam protes mereka.

Di tempat lain, banyak orang juga merasakan ikatan dengan merpati, yang dianggap simbol perdamaian dan kesetiaan.

Di Delhi, Syed Ismat mengatakan bahwa dia sudah memberi makan burung itu selama 40 tahun dan menganggap mereka sebagai keluarganya.

"Mereka itu polos. Mungkin makhluk paling polos dari semua. Yang mereka minta hanyalah sedikit kebaikan," ujar Ismat.

Risiko Kesehatan

Namun, sentimen ini berhadapan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap kotoran merpati bisa menimbulkan risiko penyakit paru-paru dan gangguan pernapasan.

Ledakan populasi merpati di India dalam beberapa tahun terakhir memperburuk risiko ini, sehingga mendorong diberlakukannya pembatasan.

Ahli keanekaragaman hayati yang berbasis di Delhi, Faiyaz Khudsar, mengatakan ketersediaan makanan yang mudah telah menyebabkan ledakan populasi merpati di banyak negara.

Di India, kata dia, tantangan ini diperparah dengan penurunan jumlah burung lain seperti goraiya atau burung gereja, yang makin tergeser oleh merpati.

"Dengan makanan yang mudah dan tanpa predator, merpati berkembang biak lebih cepat dari sebelumnya. Mereka mengalahkan burung kota lainnya, sehingga menimbulkan kerugian ekologis," tutur Khudsar.

Laporan State of India’s Birds 2023 menyebutkan bahwa jumlah merpati meningkat lebih dari 150 persen sejak tahun 2000 — lonjakan terbesar di antara semua jenis burung — meninggalkan rumah-rumah dan ruang publik penuh kotoran. Seekor merpati dapat menghasilkan hingga 15kg kotoran setiap tahun.

Penelitian menunjukkan kotoran ini mengandung setidaknya tujuh jenis patogen zoonosis yang bisa menyebabkan penyakit seperti pneumonia, infeksi jamur, bahkan kerusakan paru-paru pada manusia.

Seorang warga Delhi berusia 75 tahun, Nirmal Kohli, mulai mengalami batuk persisten dan kesulitan bernapas beberapa tahun lalu.

"Akhirnya, hasil CT scan menunjukkan sebagian paru-parunya menyusut," kata putranya, Amit Kohli. "Dokter mengatakan itu akibat paparan kotoran merpati."

Tahun lalu, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun meninggal di Delhi akibat pneumonitis hipersensitivitas — penyakit yang menyebabkan peradangan di paru-paru. Dokter menyebut penyebabnya adalah paparan jangka panjang terhadap kotoran dan bulu merpati.

RS Pal, seorang ahli paru, mengungkapkan kepada BBC bahwa kasus seperti itu umum terjadi.

"Bahkan jika Anda tidak langsung memberi makan merpati, kotoran mereka di ambang jendela dan balkon bisa menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas," ujarnya. "Kami juga sering menjumpai kasus infeksi bakteri, virus, maupun jamur pada orang-orang yang kerap berinteraksi dengan merpati."

Mencari Jalan Tengah

Kekhawatiran tersebutlah yang mendorong otoritas Kota Mumbai memberlakukan larangan memberi makan bulan lalu dan meluncurkan operasi pembongkaran pusat-pusat pemberian makan merpati.

Untuk saat ini, pembongkaran masih ditunda, namun Pengadilan Tinggi Bombay telah menolak gugatan terhadap larangan tersebut dengan alasan bahwa kesehatan publik adalah hal yang paling utama dan memerintahkan tindakan tegas terhadap pemberian makan ilegal.

Wali Kota Delhi Raja Iqbal Singh mengatakan kepada BBC bahwa kecintaan terhadap burung tidak bisa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.

"Tempat-tempat pemberian makan sering kali menjadi kotor, menimbulkan bau tidak sedap, memicu infeksi, dan mengundang hama. Karena itu, kami berupaya membatasi praktik pemberian makan," jelas dia.

Namun, banyak pecinta hewan yang tidak setuju.

Mohammad Younus, pemasok biji-bijian untuk sebuah lokasi pemberian makan di Delhi, berargumen bahwa semua hewan bisa menyebarkan penyakit jika kebersihan tidak dijaga.

"Saya dikelilingi merpati selama 15 tahun terakhir. Kalau memang sesuatu bakal terjadi, pasti sudah terjadi pada saya juga," ujarnya.

Aktivis hak-hak hewan, Megha Uniyal, menekankan bahwa tidak ada kejelasan mengenai bagaimana larangan akan diterapkan.

"Sejauh ini, wacana soal mengatur pemberian makan merpati hanya kata-kata yang dilontarkan otoritas, namun tidak ada yang benar-benar memahami seperti apa pelaksanaannya," sebut Uniyal.

Di tengah tarik-menarik ini, upaya mencari jalan tengah terus dilakukan.

Ujjwal Agrain, dari People for the Ethical Treatment of Animals (Peta) India, mengusulkan agar pemberian makan merpati hanya diizinkan pada jam tertentu di pagi dan sore hari.

"Itu memberi cukup waktu bagi otoritas kota untuk membersihkan tempat dan menjaga kebersihan. Dengan begitu, kita bisa menghormati kesehatan publik sekaligus ikatan emosional," kata dia.

Pengadilan Tinggi Bombay telah membentuk panel ahli untuk mengusulkan alternatif dan pejabat Kota Mumbai mengatakan pemberian makan secara terkontrol dan bergiliran mungkin diizinkan berdasarkan saran panel tersebut.

Bagi Syed Ismat, solusi terletak pada upaya untuk menata ulang hubungan antara burung dan ruang perkotaan.

"Mungkin sudah saatnya kita membayangkan ulang bagaimana berbagi kota, bukan hanya dengan merpati, tetapi juga dengan seluruh bentuk kehidupan," ujarnya.

Read Entire Article