Kenapa Prancis Memutuskan Mengakui Negara Palestina? Ini Kata Ahli

16 hours ago 4

Liputan6.com, Paris - Presiden Emmanuel Macron, menurut para analis, berharap bahwa pengakuan resmi Prancis terhadap Negara Palestina di Majelis Umum PBB (UNGA) pada September nanti akan mendorong negara-negara lain untuk mengikuti langkah serupa. 

Para utusan internasional dijadwalkan untuk membahas solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina pada awal pekan depan di New York, sebelum digelarnya konferensi tingkat tinggi lanjutan yang diselenggarakan bersama oleh Prancis menjelang pertemuan PBB pada September.

Pernyataan Macron disampaikan di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas krisis kemanusiaan di Gaza, di mana lebih dari dua juta warga Palestina menghadapi kondisi yang sangat memprihatinkan di tengah perang yang masih berlangsung antara Israel dan Hamas. Lembaga-lembaga bantuan telah memperingatkan adanya ancaman kelaparan massal dan runtuhnya sistem kesehatan di seluruh wilayah itu.

"Rasa urgensi mungkin mendorong presiden untuk maju sendiri," kata mantan duta besar Prancis untuk Israel Gerard Araud seperti dilansir CNA.

David Khalfa dari Yayasan Jean Jaures menilai, selain alasan kemanusiaan dan pernyataan yang mengejutkan dari sejumlah menteri Israel tentang Gaza, Macron juga mungkin terpengaruh oleh tekanan politik dalam negeri.

Perang di Gaza ini telah memicu ketegangan di Prancis, yang merupakan rumah bagi komunitas muslim terbesar di Uni Eropa dan salah satu komunitas Yahudi terbesar di luar Israel dan Amerika Serikat (AS).

Prancis sendiri telah lama mendukung solusi dua negara, yakni pembentukan Negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel.

Macron awalnya mengusulkan pengakuan terhadap Palestina secara terkoordinasi, idealnya bersamaan dengan kesepakatan normalisasi antara Arab Saudi dan Israel. Namun, karena pendekatan itu menemui jalan buntu, Macron dinilai memutuskan untuk melangkah sendiri, dengan harapan dapat membangun momentum sebelum pertemuan PBB.

"Tujuannya adalah memanfaatkan waktu sekitar satu bulan ke depan untuk menggalang dukungan dari negara-negara lain, agar nantinya bisa membuat pengumuman bersama yang lebih besar di New York," kata analis di Institut Hubungan Internasional Prancis Amelie Ferey.

"Inggris dan Kanada mungkin bisa ikut bergabung."

Rencana Prancis dan Arab Saudi

Prancis, Inggris, dan Kanada termasuk di antara 25 negara yang pada Senin (21/7) menyerukan diakhirinya perang di Gaza. Mereka menyatakan bahwa skala penderitaan warga sipil telah mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mendapat tekanan dari internal Partai Buruh untuk bertindak.

"Dia ingin bergerak seiring dengan negara-negara lain dan menggunakan pengakuan (Palestina) sebagai kartu tawar dalam negosiasi gencatan senjata di Gaza," kata Mujtaba Rahman dari Eurasia Group.

Namun, Starmer dinilai mungkin akan menahan diri agar tidak memicu ketegangan dengan AS mengingat Presiden Donald Trump akan tiba di Skotlandia, sementara pembicaraan dagang antara AS dan Inggris masih tertunda.

Meskipun Prancis memiliki pengaruh langsung yang terbatas terhadap konflik Palestina-Israel, negara itu berharap dapat memainkan peran sentral dalam diplomasi pasca-perang bersama Arab Saudi.

Camille Lons dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa menerangkan bahwa Prancis dan Arab Saudi tengah menyusun peta jalan yang mencakup upaya untuk mengisolasi dan melucuti senjata Hamas, menyelenggarakan pemilu Palestina pada tahun 2026, serta membentuk pemerintahan teknokrat.

Mungkin juga akan ada usulan mengenai pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB yang bisa melibatkan personel dari Mesir. Tujuannya, kata Lons, adalah untuk membangun dukungan kawasan guna menyingkirkan Hamas — bahkan dari negara-negara seperti Qatar, yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok tersebut.

Realistiskah Rencana Prancis dan Arab Saudi?

Beberapa analis memperingatkan bahwa inisiatif Prancis dan Arab Saudi bersifat aspiratif.

"Ini cukup jauh dari kenyataan," ujar Lons.

Ferey menambahkan bahwa pemerintah Israel saat ini tampaknya sepenuhnya menolak gagasan pembentukan Negara Palestina.

Setelah hampir dua tahun perang sejak serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, Gaza telah hancur akibat pengeboman Israel. Sementara itu, pemerintah Israel terus memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki, yang masih menjadi bagian penting dari wilayah yang digadang-gadang sebagai negara masa depan Palestina.

Sekitar 500.000 warga Israel tinggal di permukiman di Tepi Barat yang dianggap ilegal menurut hukum internasional. Tiga juta warga Palestina juga tinggal di wilayah tersebut.

Di Yerusalem Timur yang dianeksasi, terdapat tambahan sekitar 200.000 warga Yahudi, yang semakin mempersulit kemungkinan pembagian wilayah.

Khalfa mencatat bahwa Arab Saudi kecil kemungkinan akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dituduh para pengkritiknya memperpanjang perang demi bertahan di kekuasaan, masih menjabat.

Read Entire Article