Israel Terpecah Belah soal Rencana Kamp ala Nazi di Gaza

9 hours ago 5

Liputan6.com, Tel Aviv - Israel terpecah belah soal rencana pembangunan kamp bagi warga Palestina di Gaza Selatan, terutama menyangkut biaya dan dampaknya. Proyek ini menuai kritik dari sejumlah politisi, termasuk mantan Perdana Menteri Ehud Olmert yang memperingatkan bahwa jika dilanjutkan, rencana tersebut bisa menciptakan kamp konsentrasi.

Proyek yang disebut sebagai "kota kemanusiaan" ini menjadi titik krusial dalam perundingan gencatan senjata dengan Hamas. Israel ingin mempertahankan kehadiran pasukan di sejumlah besar wilayah Gaza, termasuk reruntuhan Kota Rafah di selatan, tempat menteri pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan kamp tersebut akan dibangun.

Sementara itu, Hamas menuntut penarikan pasukan yang lebih menyeluruh. Husam Badran, seorang pejabat senior Hamas, mengatakan kepada New York Times bahwa rencana kamp tersebut adalah tuntutan yang sengaja menghambat yang akan memperumit perundingan.

"Ini akan menjadi kota yang terisolasi dan menyerupai ghetto (wilayah atau lingkungan tempat sekelompok orang dipisahkan secara sosial, ekonomi, atau fisik dari kelompok lainnya)," ujarnya dalam pesan kepada surat kabar tersebut seperti dilansir The Guardian. "Ini benar-benar tidak dapat diterima dan tidak akan disetujui oleh warga Palestina mana pun."

Katz mengungkapkan pekan lalu bahwa dia telah memerintahkan militer untuk menyusun rencana pembangunan kamp. Dalam rancangan tersebut, warga Palestina akan dipindahkan ke sebuah area yang terletak di antara perbatasan Mesir dan koridor Morag — jalur militer Israel yang membentang melintasi Gaza.

Pada tahap awal, 600.000 orang akan dipindahkan ke sana dan pada akhirnya seluruh penduduk Gaza. Mereka yang berada di dalam kamp, ungkap Katz, hanya diizinkan keluar jika pindah ke negara lain.

Rencana ini diungkap ke publik saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sedang berada di Washington DC untuk kunjungan resmi, namun diketahui telah mendapat dukungannya.

Bagaimanapun, rencana ini langsung menimbulkan kekhawatiran di antara sekutu-sekutu Israel, termasuk Inggris, maupun di dalam negeri sendiri.

Olmert, yang memimpin Israel dari tahun 2006 hingga 2009, menjadi pengkritik domestik paling menonjol terhadap proyek ini. Dia mengatakan bahwa jika warga Palestina dipaksa pindah ke kamp tersebut maka itu akan tergolong sebagai pembersihan etnis.

Komentarnya yang membandingkan situasi tersebut dengan era Nazi Jerman mendapat kecaman keras di dalam negeri. Menteri Warisan Budaya Israel Amichai Eliyahu secara tersirat menyerukan agar Olmert dipenjara atas komentarnya, sambil menyindir masa hukuman penjara yang pernah dijalaninya akibat kasus korupsi setelah meninggalkan jabatannya.

"(Olmert) sudah sangat mengenal penjara," ujar Eliyahu. "Tidak ada cara lain untuk menghentikannya dari menyebarkan kebencian dan antisemitisme ke seluruh dunia."

Beban Anggaran Israel

Militer Israel juga menentang proyek ini, meskipun tetap menjalankan perintah untuk menyusun rencananya. Dalam rapat kabinet keamanan pada Minggu (13/7) malam, menurut laporan media Israel, ketegangan memuncak secara terbuka ketika Kepala Staf Angkatan Bersenjata Nasional Israel (IDF) Eyal Zamir bersitegang dengan Netanyahu.

Zamir dilaporkan mengatakan bahwa proyek tersebut akan mengalihkan dana dan sumber daya dari militer, melemahkan kemampuan tempur, dan mengganggu upaya penyelamatan sandera. Sebelumnya, kantor Zamir juga telah menanggapi gugatan hukum dari para tentara cadangan — yang khawatir akan diperintahkan melakukan pemindahan paksa warga sipil — dengan menegaskan bahwa memindahkan dan memusatkan warga sipil bukanlah tujuan perang ini.

Netanyahu dilaporkan membalas kritik Zamir dengan marah.

"Saya meminta rencana yang realistis," ujar Netanyahu seperti dilaporkan Channel 12 Israel, sambil menuntut agar tenggat waktu pembangunan yang lebih murah dan cepat diserahkan sebelum Selasa (16/7).

Pejabat kementerian keuangan, ungkap surat kabar Yedioth Ahronoth, turut menyampaikan keberatan praktis terhadap rencana "kota kemanusiaan" di Rafah. Mereka memperkirakan biaya tahunan sebesar 15 miliar shekel akan menjadi beban besar bagi anggaran negara.

"Biaya itu kemungkinan besar akan ditanggung oleh warga Israel melalui pajak, dengan konsekuensi pengalihan anggaran dari pendidikan, rumah sakit, dan layanan sosial," tambah surat kabar itu.

Sejumlah pejabat senior Israel, menurut laporan Ynet, memperkirakan bahwa pembangunan "kota kemanusiaan" di Rafah akan menelan biaya antara USD 2,7 miliar hingga USD 4 miliar. Mereka menambahkan bahwa jika rencana ini berjalan, Israel kemungkinan besar akan menanggung hampir seluruh biaya pada tahap awal.

Perpecahan ini terjadi saat Israel terus melanggengkan bencana kemanusiaan di Gaza. Badan-badan PBB, termasuk yang menyediakan pangan dan layanan kesehatan, kembali memperingatkan bahwa tanpa pasokan bahan bakar yang memadai, mereka kemungkinan besar akan menghentikan operasi sepenuhnya.

Dalam pernyataan bersama, mereka mengatakan rumah sakit sudah mulai gelap dan ambulans tak lagi bisa beroperasi. Transportasi, produksi air, sanitasi, dan layanan telekomunikasi akan terhenti, dan roti serta dapur komunitas tidak dapat berfungsi tanpa bahan bakar.

Read Entire Article