Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan mengenai kemungkinan Donald Trump menerima Nobel Perdamaian telah memunculkan diskusi hangat di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia sendiri, isu ini menjadi bahan refleksi menarik tentang makna perdamaian global, diplomasi internasional, dan bagaimana satu sosok pemimpin dapat mempengaruhi arah sejarah.
Meskipun wacana ini terkesan jauh dari keseharian publik Indonesia, ia sebenarnya memberi kita perspektif baru tentang kompleksitas geopolitik dunia dan nilai-nilai perdamaian yang layak diperjuangkan.
Sejumlah pencapaian diplomatik yang dilakukan Trump selama masa kepresidenannya menjadi dasar bagi pihak-pihak yang mengusulkan namanya sebagai kandidat penerima Nobel Perdamaian.
Kolonel Dedy Yulianto, seorang analis geopolitik yang saat ini menjabat sebagai Analis Madya Humas di Kementerian Pertahanan, menyebut ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan secara objektif, demikian dikutip dari laman Antara News, Senin (14/7/2025).
Salah satunya, adalah inisiatif Abraham Accords yang berhasil menciptakan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko pada tahun 2020.
Bagi banyak kalangan, ini adalah terobosan sejarah yang mengubah lanskap politik Timur Tengah.
Poin kedua yang sering dikemukakan oleh pendukung Trump adalah fakta bahwa selama menjabat, Amerika Serikat tidak memulai perang baru.
Di tengah sejarah panjang intervensi militer AS di berbagai kawasan dunia, ini dianggap sebagai sebuah pencapaian strategis yang menunjukkan kehati-hatian dan pengendalian diri dalam kebijakan luar negeri.
Trump juga sempat melakukan pendekatan langsung dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, serta menawarkan diri sebagai penengah dalam konflik India-Pakistan. Ini mencerminkan upaya untuk mengedepankan diplomasi, meski hasilnya tidak selalu konkret.
Meskipun demikian, banyak juga kritik keras terhadap Trump, terutama menyangkut pendekatan unilateral dan retorikanya yang cenderung provokatif.
Ketegangan memuncak! Donald Trump secara mengejutkan menuduh Elon Musk mengalami 'Sindrom Anti-Trump'. Apa alasan di balik tuduhan kontroversial ini dan bagaimana dampaknya bagi hubungan mereka?
American First
Dalam konteks global, kebijakan “America First” yang diusungnya dinilai telah merusak tatanan kerja sama multilateral. Penarikan diri Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris dan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada 2018 dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya menjaga stabilitas dan perdamaian dunia.
Bahkan, keputusan ini menuai kritik tajam dari Direktur IAEA dan negara-negara Eropa karena dianggap memperlemah diplomasi global dan membuka ruang ketegangan baru, khususnya dengan Iran.
Tidak hanya itu, gaya komunikasi Trump yang kerap memecah belah juga menjadi sorotan. Dalam berbagai forum, Trump tidak segan melontarkan ancaman tarif perdagangan terhadap negara-negara anggota BRICS.
Pada tahun 2024 dan 2025, dia secara terbuka mengancam akan menaikkan tarif 100 persen terhadap negara-negara tersebut, dan baru-baru ini menambah ancaman tarif sebesar 10 persen lagi, terutama setelah kelompok BRICS mengusulkan reformasi IMF dan mempertanyakan dominasi dolar sebagai mata uang utama.
Menteri keuangan dari negara-negara BRICS pun menyatakan bahwa kebijakan tarif tersebut justru membawa ketidakpastian ekonomi global dan mengancam kestabilan perdagangan internasional.
Kebijakan imigrasi yang keras juga menjadi salah satu titik lemah Trump dalam upaya meraih Nobel. Larangan masuk bagi warga dari beberapa negara mayoritas Muslim dan kebijakan pemisahan keluarga di perbatasan dianggap bertentangan dengan semangat kemanusiaan.
Banyak kelompok HAM internasional mengecam kebijakan ini, dan bagi sebagian orang, hal ini menjadi bukti bahwa retorika perdamaian tidak sejalan dengan tindakan konkret dalam negeri.
Salah satu dinamika paling sensitif dalam pencalonan Trump sebagai penerima Nobel adalah perannya dalam konflik Israel dan Palestina.
Meskipun ia berupaya mengumumkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, kenyataannya, dukungannya yang besar terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, justru menjadi penghalang.
Netanyahu yang telah didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang di Gaza, datang ke Gedung Putih dengan membawa surat nominasi Nobel bagi Trump, mempertegas hubungan politis yang rumit dan membuat mimpi Trump meraih Nobel tampak kontradiktif.
Trump memiliki ambisi besar untuk memperluas Abraham Accords dengan mengikutsertakan Arab Saudi, namun hingga kini, upaya itu belum membuahkan hasil.
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, menegaskan bahwa negaranya tidak akan menandatangani kesepakatan apapun dengan Israel, sebelum ada komitmen tegas untuk mendirikan negara Palestina.
Di sisi lain, Netanyahu sebagai sekutu Trump justru menjadi penghalang utama, karena secara politik ia dikenal menolak gagasan negara Palestina.
Dua Arah
Maka, menurut Kolonel Dedy, jika Trump benar-benar ingin meraih Nobel Perdamaian, ia perlu mengambil langkah nyata dalam dua arah, yakni memediasi kesepakatan diplomatik antara Israel dan Arab Saudi atau menjadi tokoh kunci dalam mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang hingga kini belum berhasil.
Hanya saja, jalan ke sana tidak mudah. Diperlukan tekanan besar dari negara-negara Eropa dan sekutu NATO untuk mendorong Amerika Serikat agar tegas menekan Israel dan menunjukkan komitmen serius terhadap perdamaian Palestina.
Dari perspektif Indonesia, wacana ini mengajak masyarakat di negeri ini untuk melihat bahwa perdamaian bukan sekadar soal penghargaan, melainkan soal keberanian politik untuk berpihak pada kemanusiaan.
Indonesia sebagai negara yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina tentu memahami bahwa perdamaian yang sejati memerlukan keberpihakan yang tegas terhadap keadilan.
Perjalanan sejarah Nobel Perdamaian sendiri memang dipenuhi dengan pemenang yang kontroversial, namun Komite Nobel Norwegia tidak sekadar mempertimbangkan pencitraan politik, melainkan dampak nyata terhadap perdamaian dunia.
Maka, apakah Donald Trump layak menerima Nobel Perdamaian, sepenuhnya bergantung pada apakah tindakannya benar-benar menghasilkan perdamaian berkelanjutan, bukan hanya sekadar inisiatif diplomatik, tanpa hasil konkret.
Harapan untuk dunia yang lebih damai tetap terbuka, jika para pemimpin dunia berani melampaui ego dan kepentingan politik sesaat.
Di tengah krisis global, krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik geopolitik yang terus berkembang, komitmen terhadap perdamaian dan kemanusiaan menjadi nilai tertinggi yang pantas dirayakan.
Dan hanya mereka yang sungguh-sungguh memperjuangkannya yang layak menyandang gelar pembawa damai dunia.