Liputan6.com, Tokyo - Harga beras di Jepang naik drastis sebesar 99,2 persen pada Juni 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data resmi Kementerian Urusan Dalam Negeri yang dirilis Jumat (18/7). Lonjakan ini semakin memperberat tekanan terhadap Perdana Menteri Shigeru Ishiba, hanya dua hari menjelang pemilihan umum.
Kenaikan harga beras sudah terlihat sejak awal tahun. Pada April, harga melonjak 98,4 persen, disusul 101 persen pada Mei.
Mengutip CNA, Jumat (18/7/2025), tren ini memicu keresahan publik dan turut menjatuhkan popularitas pemerintahan Ishiba ke titik terendah sejak ia menjabat pada Oktober tahun lalu.
Beras bukan satu-satunya penyebab. Meningkatnya inflasi dan serangkaian skandal politik di tubuh Partai Demokratik Liberal (LDP) juga ikut menurunkan kepercayaan publik terhadap koalisi pemerintah.
Meskipun inflasi inti Jepang—yang tidak termasuk harga makanan segar—melambat ke 3,3 persen pada Juni dari 3,7 persen di Mei, harga kebutuhan pokok seperti beras terus menanjak. Bahkan jika energi juga dikecualikan, inflasi tetap naik menjadi 3,4 persen, sedikit di atas perkiraan pasar.
Kondisi ini menjadikan pemilu akhir pekan sebagai ujian berat bagi Ishiba. Survei menunjukkan koalisi pemerintah bisa kehilangan mayoritas di majelis tinggi, menyusul kekalahan mereka sebelumnya di majelis rendah. Jika prediksi itu menjadi kenyataan, posisi Ishiba sebagai perdana menteri terancam.
Tuntutan dari AS
Selain tekanan domestik, Ishiba juga menghadapi tuntutan dari Amerika Serikat untuk segera menuntaskan kesepakatan dagang sebelum tarif baru sebesar 25 persen diberlakukan pada 1 Agustus. Tarif tersebut akan memperberat ekspor Jepang, terutama di sektor otomotif, baja, dan aluminium.
Di tengah negosiasi yang belum tuntas, Ishiba dijadwalkan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent pada Jumat, didampingi utusan dagangnya Ryosei Akazawa. Akazawa telah tujuh kali mengunjungi Washington untuk membahas kesepakatan.
Lonjakan harga beras dipicu oleh beberapa faktor, termasuk musim panas ekstrem dua tahun lalu yang merusak panen secara nasional. Kondisi ini diperparah oleh penimbunan oleh pedagang serta kepanikan publik akibat peringatan pemerintah terkait potensi "mega-gempa" tahun lalu, yang pada akhirnya tidak terjadi.
Pemerintah Jepang bahkan telah mengeluarkan cadangan beras darurat sejak Februari—langkah yang biasanya hanya dilakukan saat bencana besar.
Namun, para ekonom memperkirakan tekanan harga masih akan berlangsung dalam waktu dekat. "Kombinasi dari kebijakan yang berubah-ubah, depresiasi yen, dan lemahnya kenaikan upah membuat inflasi tetap tinggi," kata Stefan Angrick dari Moody’s Analytics.
Bank of Japan, yang sejak tahun lalu perlahan mengetatkan kebijakan moneternya, kini dihadapkan pada dilema. Kenaikan suku bunga diperkirakan akan terjadi paling lambat Januari, bahkan bisa lebih cepat pada Desember.