Bentrokan Thailand–Kamboja Sisakan Kisah Pilu: Ibu dan Anak Tewas Saat Membeli Camilan

3 months ago 25

Liputan6.com, Bangkok - Kamis (24/7/2025) pagi, seperti biasa, dua anak Komsan Prachan berada di sekolah. Namun, di hari itu, suasana mendadak berubah tegang. Desa mereka di timur laut Thailand dinyatakan dalam kondisi siaga tinggi setelah pertempuran pecah di perbatasan yang disengketakan dengan Kamboja.

Para pejabat setempat segera membatalkan kegiatan belajar mengajar dan mengumumkan lewat pengeras suara agar warga bersiap-siap untuk evakuasi.

Komsan dan istrinya, Rungrat, pergi menjemput Pongsapak yang berusia delapan tahun dan Taksatorn yang berusia 14 tahun dari sekolah.

Dalam perjalanan pulang untuk menjemput kakek dan nenek anak-anak itu, mereka singgah sebentar di sebuah SPBU di Provinsi Sisaket. Rungrat masuk ke sebuah toko serba ada bersama kedua anaknya untuk membeli camilan, sementara Komsan menunggu di dalam mobil.

Tidak lama, sebuah roket menghantam.

Rungrat, Taksatorn, dan Pongsapak termasuk di antara delapan orang yang tewas.

"Istri saya adalah separuh hidup saya," kata Komsan seperti dilansir The Guardian.

Pasangan itu tumbuh bersama, bersekolah di tempat yang sama, dan jatuh cinta ketika mereka bekerja di Bangkok.

"Dia begitu perhatian. Dia selalu menanyakan pada saya dan siapa pun di sekitarnya—apakah kami baik-baik saja, tidur dengan cukup, sudah makan," kisah Komsan.

Di seluruh Thailand, 20 orang tewas, termasuk 13 warga sipil dan tujuh tentara. Di Kamboja, jumlah korban jiwa mencapai 13 orang, terdiri dari lima tentara dan delapan warga sipil. Lebih dari 200.000 orang telah dievakuasi dari wilayah perbatasan di kedua negara.

Di sebuah kuil di Distrik Non Khun, Sisaket, para pejabat pemerintah mengunjungi warga yang telah meninggalkan rumah mereka. Lewat pengeras suara, mereka mengimbau agar keselamatan menjadi prioritas utama. Mereka menyampaikan belasungkawa kepada keluarga yang kehilangan orang terkasih dan mengumumkan bahwa santunan akan diberikan—meskipun mereka menyadari, tidak ada jumlah uang yang bisa menggantikan apa yang telah hilang.

Gara-gara Hun Sen?

Warga di kawasan perbatasan pernah mengalami bentrokan pada 2008 dan 2011. Namun, menurut mereka, tidak pernah separah kali ini.

"Kali ini seperti tak kunjung berhenti," tutur Prasit Saopa, seorang petani berusia 52 tahun yang duduk di luar kuil.

Prasit tidak membawa apa pun saat melarikan diri dari rumah karena keluarganya mengira mereka hanya akan mengungsi sebentar—seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Pada Jumat (25/7), dia memberanikan diri pulang untuk mengambil sejumlah barang penting dan sempat berlindung di sebuah bunker di tengah jalan. Suasana di kampung halamannya seperti kota hantu—kecuali dentuman meriam yang terus bergema.

Desa tempat Prasit tinggal memang belum terkena serangan, namun sekitar 20 pohon karet di ladang terdekat mengalami kerusakan dan sebuah rumah di desa sebelah sekitar 500 meter dari sana hancur.

Prasit berharap militer Thailand mengambil sikap tegas dan "membersihkan" pasukan Kamboja dari wilayah perbatasan. Meski begitu, dia menegaskan bahwa kemarahannya bukan ditujukan kepada rakyat Kamboja.

"Orang-orang Kamboja itu teman kami. Mereka orang biasa, baik-baik saja. Masalahnya ada pada Hun Sen."

Hun Sen adalah mantan perdana menteri Kamboja yang otoriter. Dia berkuasa hampir 40 tahun, sebelum akhirnya digantikan oleh putranya, Hun Manet.

Dorongan Berdamai

Pada Sabtu (26/7), Donald Trump menyatakan bahwa Thailand dan Kamboja telah sepakat untuk segera bertemu guna merundingkan gencatan senjata, setelah dia berbicara dengan pemimpin kedua negara dan "mengancam" bahwa Amerika Serikat (AS) tidak akan bernegosiasi soal perdagangan dengan salah satu pihak hingga pertempuran dihentikan. Namun, keesokan harinya bentrokan tetap berlanjut.

Kedua pihak saling menyalahkan atas siapa yang lebih dulu melepaskan tembakan.

Bentrokan bersenjata terbaru diperkeruh oleh perseteruan tajam antara Hun Sen dan mantan pemimpin Thailand, Thaksin Shinawatra, yang putrinya, Paetongtarn, sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri.

Bulan lalu, Hun Sen membocorkan rekaman percakapan telepon antara dirinya dan Paetongtarn. Rekaman itu tidak hanya menyibak kedekatan kedua keluarga, di mana Paetongtarn memanggil Hun Sen dengan sebutan "paman", namun dia juga mengkritik komandan militer Thailand.

Langkah itu memicu kegaduhan di Thailand lantaran Paetongtarn dituduh tunduk pada Kamboja. Perdana menteri termuda Thailand itu kemudian diskors dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Belum jelas mengapa Hun Sen memutuskan membocorkan isi pembicaraan tersebut, namun para analis menilai konflik pribadi antara kedua tokoh itu telah menambah ketegangan yang sudah ada. Thaksin membantah bahwa bentrokan bersenjata dipicu oleh urusan pribadi mereka—sebuah kritik yang banyak dilontarkan warga Thailand di media sosial.

Pekan lalu, dia mengatakan bahwa militer Thailand seharusnya memberi pelajaran kepada Hun Sen, setelah keduanya saling melontarkan hinaan di dunia maya.

Gencatan Senjata

Bagi Komsan, harga yang harus dibayar akibat pertempuran ini tidak terhingga. Dia menemukan putrinya, namun para dokter tidak berhasil menyelamatkan nyawanya. Tim penyelamat kemudian menemukan jenazah seorang perempuan yang memeluk anak kecil—yang diyakini sebagai Rungrat dan Pongsapak.

"Taksatorn anak yang sangat baik," ujarnya. "Dia selalu membantu membersihkan rumah, memasak, dan mendengarkan orang tuanya. Kalau diminta tolong, dia pasti selalu bilang 'ya'."

Sementara itu, Pongsapak dikenal sebagai anak yang ceria dan menyenangkan.

"Ke mana pun dia pergi, selalu ada tawa dan senyum," kata Komsan. "Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa menggantikan hidup mereka."

Pada Senin (28/7), dengan bantuan mediasi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang menjabat sebagai ketua bergilir ASEAN, Thailand dan Kamboja akhirnya mencapai kesepakatan gencatan senjata segera dan tanpa syarat. Mereka bertemu di Putrajaya. Turut serta dalam pertemuan itu utusan AS dan China.

"Alhamdulillah, dua negara sesama anggota ASEAN, Thailand dan Kamboja, telah sepakat untuk mengakhiri permusuhan mereka melalui penerapan gencatan senjata yang akan berlaku mulai tengah malam ini," ungkap Anwar via Instagram pada Senin.

Anwar menambahkan, "Sebagai ketua bergilir ASEAN, Malaysia telah dipercaya untuk memegang tanggung jawab penting dalam memantau pelaksanaan dan kepatuhan terhadap gencatan senjata ini atas permintaan kedua belah pihak, bersama dengan mitra-mitra kawasan kami."

"Saya menyampaikan apresiasi yang tulus kepada Thailand dan Kamboja karena telah memilih jalur diplomasi, serta kepada Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping atas dukungan konstruktif mereka dalam mendorong inisiatif perdamaian ini," imbuhnya.

Read Entire Article