Liputan6.com, Jakarta Sebagian orang ragu menyebut penyandang disabilitas rungu dengan kata “tuli” karena menganggap bahwa istilah itu kasar.
Padahal, menurut teman tuli sekaligus pengajar dalam kelas bahasa isyarat di Career Development Center (CDC) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Riski Purna Adi, tuli bukan kata kasar.
“Sebaliknya, istilah ‘tunarungu’ dibuat oleh orang dengar dan penggunaan kata tersebut justru dianggap kasar dan menyinggung orang tuli,” ungkap Riski mengutip keterangan pers di laman Fisipol UGM, Selasa (28/1/2025).
Dia menambahkan, salah kaprah tentang tuli juga kerap datang dari tenaga medis atau tenaga kesehatan. Ada tenaga medis yang memaksa tuli untuk menggunakan bahasa oral dan menyarankan tidak menggunakan bahasa isyarat.
“Orang medis memaksa tuli untuk dapat menggunakan bahasa oral dan tidak menganjurkan kita untuk menggunakan bahasa isyarat. Mereka bilang, bahasa isyarat dapat merusak kemampuan berkomunikasi kami, dan anggapan itu salah,” ujar Riski.
Hingga sekarang, belum ada bukti spesifik yang mengatakan bahwa bahasa isyarat dapat mengganggu kemampuan berbahasa dan berinteraksi orang tuli.
“Fakta bahwa kami tidak bisa mendengar itu tidak apa-apa, selama kami bisa berinteraksi dengan bahasa isyarat. Kami tidak sakit atau bahkan cacat,” ujar Riski.
Menurut National Deaf Center, sekitar 50 persen warga tuli usia produktif tidak bekerja. Seorang pengusaha berkomitmen membantu komunitas tuli di DC dengan restoran pizza Mozzeria yang mengajarkan pengunjung tentang budaya tuli, sekaligus wadah bagi ...
Tak Semua Tuli dapat Dibantu dengan ABD
Meskipun susunan bahasa isyarat memang terbolak-balik apabila dibandingkan dengan susunan atau tata bahasa Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi orang tuli untuk dapat berinteraksi.
Susunan yang terbolak-balik juga tidak menjadikan kemampuan tulis berbahasa Indonesia orang tuli menurun karena menggunakan bahasa isyarat.
Riski juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa kasus di mana orang tuli dipaksa untuk menggunakan implan alat bantu dengar (ABD). Padahal, hal tersebut tidak dapat sepenuhnya membantu mereka untuk mendengar. Ada yang pendengarannya menjadi lebih baik setelah mengenakan ABD, ada pula yang tidak.
Alih-alih memaksa tuli untuk menggunakan ABD, hal yang sepatutnya dilakukan adalah saling membantu dan belajar bahasa satu sama lain.
“Yang terpenting adalah kita dapat berinteraksi. Kami bahkan juga mempelajari bahasa isyarat internasional supaya kami juga dapat berinteraksi saat berada di luar negeri,” ujarnya.
SIBI dan BISINDO, Apa Bedanya?
Riski pun memperkenalkan dua jenis bahasa isyarat yang ada di Indonesia. Jenis pertama adalah SIBI yang merepresentasikan Bahasa Indonesia pada gerakan atau isyarat tangan. Jenis ini dibuat oleh orang dengar dari pemerintah Indonesia.
Jenis yang kedua adalah BISINDO yang dibuat oleh orang tuli sendiri dari Laboratorium Penelitian Bahasa Tuli.
“Jenis ini lebih mudah dipahami oleh orang tuli dan lebih sering digunakan. Dalam menyampaikan konsep atau makna dari suatu kosa kata, BISINDO mengacu pada visual, sedangkan SIBI mengacu pada urutan,” terang Riski.
Dia menjelaskan, bahasa isyarat yang kerap digunakan di televisi adalah BISINDO. Fakta lainnya, bukan hanya bahasa isyarat Indonesia dan luar negeri yang berbeda, tapi bahasa isyarat di beberapa kota juga memiliki perbedaan. Misalnya, bahasa isyarat Jogja memiliki beberapa perbedaan dengan bahasa isyarat Jakarta.
Belajar Bahasa Isyarat
Riski menilai, jika ingin mulai belajar bahasa isyarat maka materi dapat dimulai dengan alfabet dan angka. Ini merupakan dasar dari pembelajaran suatu bahasa.
Pembelajaran bahasa isyarat perlu banyak dipraktikkan, bisa mulai dari belajar memperkenalkan nama dan pengucapan nomor telepon.
Dalam kelas bahasa isyarat, peserta juga belajar cara melakukan hitungan dan simbol-simbolnya dalam bahasa isyarat, serta mengucapkan tanggal, hari, bulan, dan tahun dalam bahasa isyarat. Tentu belajar bahasa isyarat ini tidak cukup hanya satu kali pertemuan.