Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Disabilitas (KND) merumuskan empat poin pemenuhan hak difabel bersama Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Keempat poin itu adalah:
- Perlunya pendataan yang terintegrasi dan mendukung hak jaminan sosial penyandang disabilitas.
- Dorongan peningkatan anggaran pendidikan di Kemendikbud dan Kemenag untuk pemenuhan pendidikan inklusif.
- Komitmen mendorong Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota yang belum memiliki Perda atau RAD Penyandang Disabilitas.
- Menegaskan pentingnya agar RUU Daerah Kepulauan mengadopsi perspektif disabilitas dan ditindaklanjuti oleh Komite I DPD RI.
Perumusan empat poin ini dilakukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, di Ruang Rapat Padjadjaran, Gedung B DPD RI, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
Dalam RDP tersebut, jajaran Komisioner KND menyampaikan sejumlah isu, fakta, peluang, dan tantangan dalam proses pemenuhan hak penyandang disabilitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Di tengah keterbatasan kami, dalam kurun waktu tiga tahun ini KND mendokumentasikan sejumlah capaian yang tentunya dilakukan secara kolaboratif bersama mitra-mitra KND, baik dari sektor pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media massa,” kata Ketua KND, Dante Rigmalia dalam keterangan resmi.
“Ratusan kerja sama dengan berbagai pihak terkait penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas telah kami tanda tangani,” tambahnya.
Menurut Dante, capaian KND selama ini di antaranya:
- Keterlibatan dalam proses peningkatan 250 unit pelayanan publik yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
- Penguatan advokasi beasiswa LPDP bagi penyandang disabilitas.
- Mendorong pendataan difabel yang sistematis dan terpadu di berbagai daerah.
Liputan6 Update Spesial Hari Disabiltas Internasional 2021 mengangkat tema Sudahkah Kita Peduli Disabilitas? Hari ini tanggal 3 Desember 2021 merupakan peringatan hari Disabilitas Internasional kali ini ada kedai kopi yang mengkampanyekan kesetar...
Stigma Disabilitas Masih Ada
Sementara, Deka Kurniawan selaku Wakil Ketua KND menegaskan bahwa stigma yang masih mengakar terhadap penyandang disabilitas masih menjadi tantangan dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
“Perspektif terhadap penyandang disabilitas saat ini masih banyak yang menggunakan charity based yang menekankan pada konsep kasihan, padahal bila ingin mewujudkan kesetaraan, maka paradigma yang digunakan haruslah berbasis pada Hak Asasi Manusia (HAM)” tegas Deka.
Perspektif hak asasi manusia dalam isu disabilitas salah satunya terpotret dalam pemenuhan aksesibilitas, akomodasi yang layak, dan partisipasi bermakna penyandang disabilitas. Ini merupakan prinsip dari United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 dan dikontekstualkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Proses Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Dalam keterangan yang sama, Rachmita Maun Harahap selaku Anggota Komisioner KND menyampaikan soal proses pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Menurutnya, pemenuhan hak itu harus disertai akomodasi yang layak, aksesibilitas, serta pentingnya partisipasi bermakna. Akomodasi yang layak dan aksesibilitas adalah modifikasi yang dilakukan untuk mengeliminasi hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas.
“Dan partisipasi bermakna adalah bagaimana melibatkan penyandang disabilitas dalam semua proses dan berbagai aspek,” ujar Rachmita.
Kebijakan yang Harmonis untuk Penuhi Hak Difabel
Anggota Komisioner KND lainnya, Jonna Aman Damanik menyoroti kompleksitas implementasi asas desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah dan relasinya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang diimplementasikan di Indonesia.
Implementasi undang-undang tersebut dituangkan dalam berbagai kebijakan dan program pembangunan.
“Dalam mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dibutuhkan kebijakan yang sistematis, terpadu, dan harmonis antar seluruh sektor dan level pemerintahan,” kata Jonna.
Termasuk juga harmonisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025 – 2029 dengan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) Tahun 2025 – 2029, yang kemudian akan diturunkan dengan rencana pembangunan yang berperspektif inklusif disabilitas di tingkat daerah hingga tingkat desa.
“Oleh karena itu, KND bersama DPD RI bisa bersama-sama mengawal sejumlah kebijakan yang urgen, seperti percepatan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, serta mendorong terwujudnya Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RADPD) di seluruh provinsi di Indonesia.”
Jonna menambahkan, kompleksitas tersebut juga dipertebal dengan data penyandang disabilitas yang masih tersebar dan sangat sektoral. Untuk itu, data penyandang disabilitas yang terintegrasi seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) menjadi penting dan direlasikan dengan mandat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang satu data penyandang disabilitas Indonesia dan kartu penyandang disabilitas (KPD).
Perempuan dan Anak Difabel Rentan Stigma Berlapis
Selain menyoroti belum padunya sejumlah kebijakan, KND juga menyoroti hak perempuan dengan disabilitas dan hak anak dengan disabilitas. Serta Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan yang saat ini diajukan oleh DPD RI yang menjadi salah satu prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2025.
Anggota Komisioner KND, Fatimah Asri Mutmainnah menyampaikan bahwa perempuan dengan disabilitas dan anak dengan disabilitas rentan mendapatkan stigma berlapis dan rentan mengalami kekerasan seksual. Sehingga, perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah berkaitan dengan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR).
“RUU Daerah Kepulauan yang diusulkan oleh DPD RI dapat menjadi momentum untuk lebih memerhatikan hak penyandang disabilitas yang tinggal di daerah kepulauan, yang mana daerah ini identik dengan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).”
“Harapannya, dalam proses pembahasan RUU ini, KND dapat dilibatkan agar lebih berperspektif inklusif disabilitas dan memastikan kebijakan tersebut bersifat afirmatif dan interseksional terhadap penyandang disabilitas” ujar Fatimah.