Era Baru Paus Leo XIV Asal AS, Pilihan Nama Jadi Sinyal Komitmen Keadilan Sosial dan Kemanusiaan?

6 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Paus Leo XIV (69), dalam homili misa pertamanya di Vatikan pada Jumat (9/5/2025), menyerukan Gereja Katolik Roma untuk "dengan sungguh-sungguh" melawan hilangnya iman.

Berbicara sehari setelah pemilihannya sebagai paus ke-267 dan pemimpin Gereja Katolik Roma pertama asal Amerika Serikat (AS), dia memperingatkan bahwa banyak orang kini menjauh dari iman, beralih kepada "teknologi, uang, kesuksesan, kekuasaan, atau kenikmatan."

Paus Leo XIV menyatakan, dia terpilih untuk menjadi penatalayan yang setia, memimpin gereja menjalankan perannya sebagai mercusuar yang menerangi malam-malam tergelap dunia ini. Demikian seperti dilansir BBC.

Terpilihnya Robert Francis Prevost —nama lahir Leo XIV— sebagai paus tidak hanya disambut gembira di tanah kelahirannya, AS, namun juga di Peru, di mana dia mengabdi selama 20 tahun.

Paus yang baru pada Jumat juga mengungkapkan bahwa di banyak tempat, iman Kristiani dianggap "absurd", terpinggirkan oleh dominasi kekuasaan, kekayaan, dan teknologi. Namun, justru di tempat-tempat seperti itulah misi gereja harus hadir.

"Kurangnya iman sering kali, secara tragis, disertai dengan hilangnya makna hidup, pengabaian terhadap belas kasih, pelanggaran yang mengerikan terhadap martabat manusia, krisis keluarga, dan begitu banyak luka lain yang mengoyak masyarakat kita," ujarnya dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Italia.

Dalam pengantar yang tidak disiapkan sebelumnya menjelang homili, Paus Leo XIV menyerukan kesatuan di antara para kardinal. Dengan aksen AS yang kental, dia mengatakan dalam bahasa Inggris, "Saya tahu saya bisa mengandalkan kalian semua untuk berjalan bersama saya."

Paus Leo XIV menandai sambutan perdananya di hadapan umat yang memadati Lapangan Santo Petrus pada Kamis (8/5) malam, dengan menyampaikan visinya tentang gereja yang misioner, yang "membangun jembatan, membuka dialog, dan selalu terbuka. Dia menggemakan seruan damai dari pendahulunya, mendiang Paus Fransiskus.

"Mari kita saling bahu-membahu membangun jembatan melalui dialog, melalui perjumpaan yang menyatukan kita semua menjadi satu umat, selalu dalam damai," ujarnya.

Pasca diumumkan sebagai pemimpin baru Gereja Katolik Roma, ucapan selamat, harapan, bahkan janji untuk bekerja bersama dalam menyelesaikan isu-isu global di tengah masa yang penuh ketidakpastian mengalir. Salah satunya dari Presiden AS Donald Trump.

"Selamat kepada Kardinal Robert Francis Prevost, yang baru saja diangkat sebagai paus. Merupakan sebuah kehormatan luar biasa mengetahui bahwa dia adalah paus pertama dari AS. Betapa membanggakan dan luar biasa kehormatan ini bagi negara kita. Saya sangat menantikan untuk bertemu dengan Paus Leo XIV. Ini akan menjadi momen yang penuh makna!," tulis Trump di akun media sosialnya.

Potensi Gesekan

Meskipun Trump menyampaikan ucapan selamat dengan nada penuh hormat dan antusiasme, perbedaan mendalam antara latar belakang dan pandangan politiknya dengan Paus Leo XIV sulit diabaikan.

Seperti pendahulunya, Paus Leo XIV kemungkinan besar akan berselisih dengan Trump dalam isu-isu utama seperti imigrasi, hak asasi manusia, hingga lingkungan. Dikutip dari Time, paus baru memiliki sejarah kuat dalam membela hak-hak migran dan orang miskin, memperjuangkan keadilan rasial, pengendalian senjata, dan menentang hukuman mati—pandangan yang sangat bertentangan dengan kebijakan Trump.

"Inilah paus baru dari AS. Tentu saja berseberangan dengan gerakan MAGA (Make America Great Again) dan berpandangan progresif. Sekali lagi, seorang paus yang mendukung kebijakan perbatasan terbuka. Menjijikkan," cuit aktivis sayap kanan dan sekutu Trump, Laura Loomer.

Dalam cuitan berbeda, Loomer menyebut seperti halnya Fransiskus, Paus Leo XIV seorang Marxis sejati.

Sebelum menjadi paus, Leo XIV dikenal sebagai salah satu kritikus Trump, terutama dalam isu imigrasi. Pada 2015, dia pernah membagikan artikel yang mengkritik Trump, menyebut kebijakannya bermasalah dan penuh dengan retorika anti-imigran.

Pada Februari lalu, di akun media sosial X yang menggunakan namanya, dia juga mengkritik Wakil Presiden JD Vance yang menyatakan bahwa umat Kristiani seharusnya mencintai keluarga, tetangga, komunitas, dan sesama warga negara sesuai urutan tersebut.

Menanggapi pernyataan itu, Leo XIV menulis, "JD Vance salah: Yesus tidak meminta kita untuk memeringkatkan kasih kita kepada orang lain."

Unggahan terakhirnya sebelum memasuki konklaf—ruang tertutup yang melarang penggunaan ponsel—adalah kritik tajam terhadap Donald Trump. Dia mengecam penampilan bersama Trump dan Presiden El Salvador Nayib Bukele, di mana keduanya menjadikan deportasi seorang imigran secara ilegal sebagai bahan lelucon.

Perbedaan mencolok antara Paus Leo XIV dan Trump diperkirakan akan memengaruhi arah politik global maupun domestik AS dalam beberapa tahun ke depan.

Sekitar satu dari lima warga AS mengidentifikasi diri sebagai Katolik. Ini menjadikan mereka kelompok pemilih yang signifikan dan tidak bisa diabaikan oleh politikus mana pun. Secara historis, umat Katolik menyumbang sekitar seperempat dari total pemilih, dengan tingkat partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan pemeluk agama lain. Dan mereka juga dikenal cukup fleksibel secara politik, di mana Trump meraih 59 persen suara Katolik tahun lalu; Joe Biden—Presiden Katolik kedua dalam sejarah AS—meraih 52 persen pada pemilu sebelumnya dan Trump juga menang dengan 50 persen suara Katolik pada 2016.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |