Wabah Kolera Sudan Infeksi 2.700 Orang, WHO: Sistem Perawatan Kesehatan Titik Kritis Akibat Perang

5 days ago 14

Liputan6.com, Khartoum - Kementerian Kesehatan Sudan melaporkan lonjakan kasus kolera di negara yang dilanda perang itu, dengan 2.700 infeksi dan 172 kematian dalam sepekan terakhir.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa (27/5), seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (28/5/2025), kementerian tersebut mengatakan 90 persen kasus infeksi kolera dilaporkan di negara bagian Khartoum, di mana pasokan air dan listrik telah sangat terganggu dalam beberapa minggu terakhir oleh serangan drone (pesawat tak berawak) yang dituduhkan pada Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter, yang berperang dengan tentara sejak April 2023.

Kasus-kasus infeksi kolera juga dilaporkan di selatan, tengah, dan utara negara itu.

Kolera merupakan penyakit endemik di Sudan, tetapi wabah kolera menjadi jauh lebih buruk dan lebih sering terjadi sejak perang pecah, menghancurkan infrastruktur air dan sanitasi serta kesehatan yang sudah rapuh.

Selasa (27/5) lalu, kementerian tersebut mengatakan 51 orang meninggal karena kolera lebih dari 2.300 kasus yang dilaporkan selama tiga minggu terakhir, 90 persen di antaranya di negara bagian Khartoum.

RSF bulan ini melancarkan serangan drone di seluruh Khartoum, termasuk di tiga pembangkit listrik, sebelum akhirnya diusir sepenuhnya dari posisi pertahanan terakhir mereka di ibu kota minggu lalu.

Stasiun Pengolahan Air Tak Beroperasi

Menurut Doctors Without Borders (MSF), serangan tersebut membuat listrik – dan selanjutnya jaringan air setempat – tidak beroperasi, sehingga warga terpaksa beralih ke sumber air yang tidak aman.

"Stasiun pengolahan air tidak lagi memiliki listrik dan tidak dapat menyediakan air bersih dari Sungai Nil," kata Slaymen Ammar, koordinator medis MSF di Khartoum, dalam sebuah pernyataan.

Kolera, penyakit diare akut yang disebabkan oleh konsumsi air atau makanan yang terkontaminasi, dapat membunuh dalam hitungan jam jika tidak diobati. Namun, penyakit ini dapat dengan mudah dicegah dan diobati jika air bersih, sanitasi, dan perawatan medis yang tepat waktu tersedia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, sistem perawatan kesehatan Sudan yang sudah rapuh telah mencapai "titik kritis" akibat perang.

Menurut serikat dokter, hingga 90 persen rumah sakit di negara itu pada suatu saat terpaksa tutup karena pertempuran, sementara fasilitas kesehatan secara berkala diserbu, dibom, dan dijarah.

Perang yang kini memasuki tahun ketiga ini telah menewaskan puluhan ribu orang, membuat 13 juta orang mengungsi, dan menciptakan krisis pengungsian dan kelaparan terbesar di dunia.

Read Entire Article