, Kabul - Hak perempuan, pluralitas budaya dan agama kian dibatasi di Afganistan. Taliban hampir tidak menoleransi apa pun di luar tatanan agama dan etnis mereka. Namun arus deportasi ke Afganistan terus berlanjut.
Di bawah bayang-bayang krisis global, situasi hak asasi manusia di Afganistan semakin terlupakan. Jutaan orang terus menderita akibat dari pelanggaran hak asasi manusia sistematis yang dilakukan oleh penguasa de facto. Demikian hasil laporan Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afganistan (UNAMA) terkini.
UNAMA mendapat mandat misi politik dari Dewan Keamanan PBB, yang tugasnya antara lain memantau situasi hak asasi manusia di negara tersebut dan melaporkannya secara berkala, dikutip dari laman DW Indonesia, Selasa (20/5/2025).
Dalam laporan terkini mengenai situasi pada kuartal pertama tahun 2025, periode Januari hingga Maret, UNAMA tidak hanya mendokumentasikan kasus kekerasan berbasis gender dan hukuman cambuk di depan umum. Tekanan terhadap salah satu kelompok minoritas agama terakhir, Ismailiyah, juga meningkat.
Kaum Ismailiyah termasuk dalam aliran Syiah dan sebagian besar tinggal di provinsi-provinsi utara seperti Badakhshan, Baghlan, dan Koridor Wakhan. Di Badakhshan, anggota masyarakat dipaksa pindah agama di bawah ancaman kekerasan dan pembunuhan.
"Hanya jika mereka berpindah agama ke Islam Sunni di bawah paksaan, barulah mereka diterima sebagai muslim," kata Profesor Yaqoob Yasna kepada DW.
Yasna, yang juga seorang Ismaili, dituduh melakukan penistaan agama setelah Taliban mengambil alih kekuasaan karena ia menganjurkan pencerahan dan toleransi dalam masyarakat.
Dia dipaksa melepaskan jabatan profesornya di universitas dan harus meninggalkan negara itu.
Krisis di Afghanistan menjadi salah satu isu yang dibahas dalam sidang Majelis Umum PBB tahun ini, terutama nasib warga sipil yang memerlukan bantuan kemanusiaan, serta penegakan HAM ke depan. Saat terakhir dikuasai Taliban pada 1996 hingga 2001, hak...
Kekerasan Terhadap Minoritas di Afganistan
Yasna menekankan, toleransi terhadap minoritas Ismailiyah di masyarakat terus menurun. Bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, intoleransi ini sudah terasa, tetapi sistem politik saat itu setidaknya melindungi hak-hak sipil mereka.
"Kini, saat hak-hak mereka dilanggar, mereka tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Anak-anak mereka dipaksa pindah agama ke Islam Sunni," ujar Yasna, seraya menambahkan: "Di bawah kekuasaan Taliban, hanya satu agama yang dianggap sah.
Apa pun yang berbeda dari interpretasi mereka tentang Islam ditolak, sehingga menciptakan tempat berkembang biaknya kekerasan terhadap minoritas agama."
Aktivis hak asasi manusia Afganistan Abdullah Ahmadi juga membenarkan meningkatnya tekanan terhadap salah satu minoritas agama terakhir yang tersisa di negara itu: "Kami telah menerima beberapa laporan yang menunjukkan bagaimana anak-anak komunitas Ismailiyah dipaksa untuk belajar di sekolah agama (Sunni). Jika mereka menolak atau tidak menghadiri kelas secara teratur, keluarga mereka harus membayar denda yang besar."
Masyarakat internasional hanya menanggapi dengan ragu-ragu pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung, keluh Ahmadi,. Ia menyerukan sanksi yang ditargetkan terhadap pejabat Taliban: "Taliban harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ini."
Di Afganistan saat ini hanya ada sedikit pemeluk agama lain selain Islam. Secara historis, negara ini merupakan pusat keberagaman agama yang penting. Nenek moyang penganut Buddha mewariskan antara lain, patung Buddha terkenal di Bamiyan, yang dihancurkan oleh Taliban pada tahun 2001.
Komunitas Yahudi bubar dengan kepergian anggota terakhirnya pada bulan September 2021, dan umat Kristen menjalankan agama mereka hampir secara rahasia. Kekerasan terhadap Hazara, kelompok etnis Syiah, juga meningkat.
Di bawah pemerintahan Taliban, hanya satu penafsiran agama yang dianggap sah, dan perayaan serta ritual budaya juga ditekan. Mereka bahkan melarang perayaan Tahun Baru Persia, Nowruz, dengan menyebutnya "tidak islami" dan menghapusnya dari kalender hari libur Afganistan.
Ketakutan, Kemiskinan dan Deportasi
Situasi perempuan juga menjadi semakin buruk. Dengan demikian, separuh masyarakat mengalami penindasan sistematis. Menurut laporan UNAMA terbaru, sekolah menengah untuk anak perempuan dari kelas 6 SD ke atas akan tetap ditutup pada tahun 2025. Perempuan tidak diberi akses ke universitas dan pasar tenaga kerja, dan kebebasan bergerak mereka di ruang publik semakin dibatasi.
Di Kota Herat, misalnya, Taliban telah menyita beberapa becak dan memperingatkan pengemudi untuk tidak mengangkut perempuan tanpa mahramnya, anggota keluarga laki-laki.
Meskipun situasinya seeperti ini, pengungsi Afganistan terus dideportasi secara massa, termasuk banyak perempuan dan anak-anak. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 110.000 orang Afganistan diusir dari Pakistan dalam waktu satu bulan saja. Sejumlah besar deportasi juga terjadi dari Iran.
"Kami hidup dalam ketakutan setiap hari akan dideportasi ke Afganistan. Apa yang akan saya lakukan dengan anak-anak saya di sana?" ujar jurnalis Afganistan Marzia Rahimi kepada DW. "Tidak seorang pun mendengar suara kami."
Di Afganistan, katanya, kesengsaraan dan teror menanti. Di bawah kekuasaan Taliban, dia tidak dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai jurnalis atau menyekolahkan putrinya.
Media independen sebagian besar dilarang atau ditempatkan di bawah kendali negara. Jurnalis seperti Marzia Rahimi berisiko ditangkap atau disiksa jika mereka melaporkan secara kritis tentang rezim tersebut.
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, negara itu terjerumus ke dalam krisis sosial-ekonomi yang dramatis. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 64 persen penduduk hidup dalam kemiskinan. Sekitar setengah dari 41,5 juta warga Afganistan bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. 14 juta orang menderita kelaparan akut.