, Jeju - Apa yang perlu kamu ketahui:
- Ada sebuah pulau kecil di lepas pantai Korea menjadi tempat tinggal bagi populasi manusia dengan keunikan genetik yang luar biasa.
- Haenyeo, yang secara harfiah berarti "perempuan laut", adalah penyelam dalam budaya Korea yang telah mengembangkan adaptasi luar biasa yang memungkinkan mereka menyelam lebih lama daripada orang lain.
- Penduduk pulau ini memiliki gen unik yang melindungi mereka dari fluktuasi tekanan darah yang bisa berbahaya bagi kehamilan.
Menurut laporan yang dikutip dari DW Indonesia, Jumat (23/5/2025), sebuah budaya menyelam bergenerasi di antara perempuan Pulau Jeju, Korea Selatan, mungkin telah mengubah evolusi genetik mereka. Penelitian ini membuka potensi penemuan medis yang luar biasa.
Tradisi menyelam yang telah ada selama berabad-abad di antara para perempuan di pulau ini mungkin telah memberi mereka serangkaian "kekuatan super" secara genetik, berupa penurunan tekanan darah dan mutasi toleransi dingin yang berpotensi membuka jalan bagi penemuan medis baru di masa depan.
Haenyeo - para "perempuan laut" - adalah penyelam yang mendiami Pulau Jeju, yang terletak 85 km di selatan daratan Korea Selatan.
Sejak usia muda, mereka dilatih untuk menyelam jauh ke dalam laut demi mencari hasil kekayaan laut dari dasar samudra.
Sebuah tim peneliti internasional telah menemukan bahwa praktik budaya Haenyeo yang diwariskan lintas generasi ini telah membantu mereka mengembangkan kemampuan adaptasi untuk menyelam lebih lama dibandingkan manusia lainnya.
Namun, mereka juga mengalami evolusi genetik yang membuat mereka memiliki tekanan darah yang lebih rendah dan bertoleransi tinggi terhadap air dingin
Jika temuan ini terbukti, maka Haenyeo bisa menjadi salah satu dari dua kelompok manusia yang benar-benar berevolusi untuk menyelam.
Keunikan Haenyeo
Analisis genom mengungkapkan bahwa Haenyeo memiliki tiga ciri khas yang menonjol.
Yang pertama adalah adaptasi nongenetik - bradikardia, yakni detak jantung yang lambat, di bawah 60 detak per menit.
Meskipun kondisi ini dapat muncul akibat gangguan medis, bradikardia juga bisa berkembang melalui latihan kardiovaskular. Fenomena ini muncul pula selama penyelaman dalam mereka sebagai bagian dari refleks penyelaman mamalia.
"Ketika seseorang menyelam, kombinasi antara menahan napas dan tenggelam ke dalam air memicu refleks penyelaman mamalia,” ujar Melissa Ann Ilardo, ahli adaptasi biologis manusia dari Universitas Utah, AS, yang memimpin penelitian ini. "Salah satu efeknya adalah detak jantung yang melambat.”
Hal ini membantu tubuh menghemat oksigen, memberi waktu lebih lama sebelum membutuhkan napas lagi.
"Jika dibandingkan dengan orang dengan latar belakang genetik yang sama, penyelam yang terlatih memiliki respons detak jantung yang lebih besar,” tambah Ilardo.
Tidak ada landasan genetik untuk yang disebut kemampuan adapatasi itu. Para peneliti meyakini bahwa setiap individu dapat mengembangkan kemampuan serupa melalui latihan yang konsisten sepanjang hidup.
Namun bentuk adaptasi lainnya kemungkinan berkaitan dengan evolusi genetik yang terjadi sepanjang generasi.
Pada kedalaman laut, tekanan yang meningkat menyebabkan pembuluh darah menyempit, membatasi pasokan oksigen ke otak, paru-paru, dan jantung.
"Jadi, tubuh akan berkata: Oksigen sangat sedikit, mari kita simpan di organ yang paling membutuhkan,” jelas Ilardo.
Ia menambahkan bahwa tekanan darah meningkat saat penyelaman dalam untuk memastikan pasokan oksigen tetap mencukupi bagi organ-organ vital.
Peningkatan tekanan darah umumnya bukan masalah besar bagi para penyelam, namun Haenyeo terus menyelam bahkan saat hamil, yang mana tekanan darah tinggi bisa sangat berbahaya selama kehamilan.
Menahan napas biasanya dipelajari pada perempuan dengan apnea atau mengalami gangguan pernapasan saat tidur, karena hal ini berhubungan dengan komplikasi kehamilan.
Ilardo mengatakan, bagi perempuan hamil yang menderita apnea saat terlelap, rasanya seperti mereka "tanpa sengaja menyelam saat tidur.
Namun, tampaknya para Haenyeo mampu mengatasi fenomena ini berkat mutasi genetik.
Kelompok Ilardo membandingkan genom penduduk Pulau Jeju dengan populasi luar Jeju.
Penelitian mereka menemukan bahwa orang-orang Jeju berasal dari kelompok genetik yang berbeda, dengan dua mutasi - satu terkait dengan toleransi dingin, yang lainnya dengan penurunan tekanan darah diastolik - yang berkembang di kalangan mereka.
"Kami berpikir bahwa evolusi bertindak melindungi perempuan hamil ini saat mereka menyelam,” kata Ilardo. "Tekanan darah diastolik mereka tidak meningkat sebanyak orang dengan latar belakang genetik yang berbeda, meskipun mereka tetap melakukan kegiatan.”
Seleksi Alam di Pulau Terisolasi
Charles Darwin, ilmuwan asal Inggris, adalah orang pertama dari Barat yang mengamati adaptasi evolusi di lingkungan unik di antara burung finch di Kepulauan Galapagos.
Darwin mencatat bahwa burung-burung yang tersebar di kepulauan tersebut memiliki bentuk dan ukuran paruh yang berbeda.
Hal itu menunjukkan bahwa populasi yang berbeda telah berevolusi dengan adaptasi spesifik, seiring waktu, untuk membantu mereka mengakses sumber makanan yang hanya ada di pulau tersebut.
Dengan cara yang serupa, orang-orang Jeju menunjukkan bagaimana manusia dapat berevolusi secara genetik, kali ini sebagai respons terhadap tradisi budaya berbasis laut yang sudah berlangsung lama.
"Pada suatu masa, menyelam adalah kekuatan ekonomi terbesar yang mendefinisikan Pulau Jeju,” kata Ilardo. "Kami berpikir, pada masa lalu, hampir semua orang di Jeju adalah penyelam.”
Penelitian lain yang pernah dilakukan Ilardo mengungkapkan bahwa orang Bajau di Asia Tenggara berevolusi dengan limpa yang lebih besar untuk menampung lebih banyak darah kaya oksigen, yang membantu mereka menahan napas lebih lama saat menyelam.
Penelitian lainnya mempelajari budaya di tempat-tempat seperti Tibet, Etiopia, dan Andes, di mana orang-orang mengembangkan mutasi genetik unik untuk bertahan hidup di ketinggian tinggi.
Misalnya, orang Quechua di Peru dan orang Tibet memiliki mutasi berbeda pada satu gen, tetapi keduanya memberi kapasitas lebih besar untuk bertahan hidup di daerah dengan kadar oksigen rendah.
Ilardo berharap untuk memperluas penelitian ini ke budaya penyelam di seluruh dunia dan membandingkannya dengan orang-orang yang tinggal di daerah tinggi. Diharapkan hal ini bisa mengarah pada pengembangan terapi medis baru.
"Jeju memiliki salah satu tingkat kematian stroke terendah di Korea, jadi menarik untuk memikirkan bagaimana gen yang telah berevolusi ini memengaruhi fisiologi pembuluh darah mereka.
"Mungkin mutasi gen ini memiliki efek pelindung yang bisa digunakan, dalam teori, untuk mengembangkan terapi stroke di seluruh dunia," pungkasnya.