Liputan6.com, Amsterdam - Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte tampil perdana di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Belanda melalui tautan video, di mana dia menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait pembunuhan ekstrayudisial dalam perang terhadap narkoba yang dilancarkan selama masa kepemimpinannya.
Menurut ICC, Duterte yang berusia 79 tahun muncul sekitar pukul 14.30 waktu setempat dan diberitahu tentang tuduhan yang dihadapinya serta hak-haknya.
Duterte ditangkap di Ninoy Aquino International Airport di Manila pada Selasa (11/3), setibanya dia dari Hong Kong.
Hakim mengizinkan Duterte untuk hadir di pengadilan melalui konferensi video, kata ICC, mencatat bahwa dia telah melakukan perjalanan panjang.
"Karena Bapak Duterte melakukan perjalanan panjang, yang melibatkan perbedaan waktu yang cukup besar, majelis mengizinkan Bapak Duterte untuk mengikuti persidangan dari jarak jauh," kata Ketua Hakim Iulia Antoanella Motoc seperti dikutip dari CNN.
Pemerintah Filipina mengungkapkan bahwa Duterte ditempatkan di pesawat dari Manila pada Selasa malam. Dia tiba di Belanda pada Rabu (12/3) setelah transit lama di Dubai, di mana dia menerima perhatian medis.
"Duterte diduga melakukan pembunuhan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yang diduga dilakukan di Filipina antara 1 November 2011 dan 16 Maret 2019," kata ICC.
"Selama periode ini, Bapak Duterte, pada waktu yang berbeda-beda, menjabat sebagai presiden Filipina, wali kota Davao, dan diduga sebagai pemimpin Davao Death Squad."
Pengacara Duterte, Salvador Medialdea, mendeskripsikan apa yang dialami kliennya merupakan "penculikan murni dan sederhana."
Medialdea menambahkan bahwa Duterte mengalami masalah kesehatan yang melemahkan, seperti gangguan pendengaran dan penglihatan yang buruk, yang dapat menghambat kemampuannya untuk berkontribusi secara efektif dalam persidangan. Hakim Motoc menolak argumen itu, mengatakan bahwa dokter pengadilan telah mengonfirmasi Duterte "sadar sepenuhnya secara mental dan sehat."
Duterte: Saya Akan Bertanggung Jawab
Menurut data polisi, sekitar 6.000 orang tewas selama perang terhadap narkoba yang dilancarkan Duterte. Namun, beberapa kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban jiwa bisa mencapai 30.000, dengan banyak korban yang tidak bersalah dan warga sipil yang sering kali terjebak dalam baku tembak yang melibatkan apa yang disebut sebagai "pasukan pembunuh" Duterte.
Banyak korban adalah pria muda dari daerah kumuh yang miskin. Mereka ditembak oleh polisi atau penembak misterius sebagai bagian dari upaya memberantas pengedar narkoba. Sejak Duterte meninggalkan jabatannya pada tahun 2022, hanya delapan polisi yang telah dihukum atas kematian lima korban dalam perang terhadap narkoba.
Selama masa jabatannya, Duterte menarik Filipina dari keanggotaan ICC dan negara itu secara resmi memutus hubungan dengan pengadilan tersebut pada Maret 2019. Namun, berdasarkan mekanisme penarikan ICC, lembaga ini tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan selama periode keanggotaan suatu negara.
Pada Kamis, Amnesty International menyinggung hubungan Duterte dengan ICC dengan menyatakan, "Lembaga yang dulu dicemooh oleh mantan Presiden Duterte sekarang akan mengadilinya atas tuduhan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Hari ini membuktikan bahwa mereka yang dituduh melakukan kejahatan terburuk suatu hari nanti mungkin akan menghadapi pengadilan, terlepas dari posisi atau kekuasaan mereka."
Kehadiran Duterte di pengadilan disebut menjadi momen penting bagi para korban kampanye berdarahnya.
"Ini adalah momen simbolis dan hari yang penuh harapan bagi keluarga korban serta para pembela hak asasi manusia, yang selama bertahun-tahun berjuang tanpa lelah untuk menegakkan keadilan meskipun menghadapi risiko besar terhadap nyawa dan keselamatan mereka," ungkap Amnesty International.
Sebelum mendarat di Belanda pada Rabu, Duterte merilis pesan video di halaman Facebook-nya.
"Saya selalu mengatakan kepada polisi dan militer untuk menjalankan tugas mereka dan saya akan bertanggung jawab. Jadi, inilah konsekuensinya," ujarnya
"Ini akan menjadi proses hukum yang panjang, tetapi saya tegaskan, saya akan terus melayani negara saya. Jika ini adalah takdir saya maka biarlah terjadi."