Liputan6.com, Tel Aviv - Militer Israel melancarkan serangan besar-besaran di Gaza, tepat saat kunjungan Presiden Donald Trump ke Timur Tengah berakhir tanpa berhasil mengamankan kesepakatan gencatan senjata.
Dalam pernyataan yang disampaikan pada Jumat (16/5/2025) malam, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan mereka melancarkan serangan besar-besaran dan mengerahkan pasukan guna merebut wilayah-wilayah strategis di Gaza. Langkah ini merupakan bagian dari fase awal Operasi Gideon’s Chariots.
Tujuan dari operasi tersebut, menurut IDF, adalah untuk mencapai seluruh sasaran perang di Gaza, termasuk pembebasan para sandera serta penghancuran kekuatan Hamas. Demikian seperti dilansir CNN.
Perkembangan ini terjadi pasca Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pada awal bulan ini bahwa penduduk Gaza akan dipindahkan ke wilayah selatan. Pernyataannya disampaikan setelah kabinet keamanannya menyetujui perluasan operasi militer, yang oleh salah satu menteri disebut sebagai sebuah rencana untuk "menaklukkan" wilayah Gaza.
"Pasukan IDF di Komando Selatan akan terus beroperasi untuk melindungi warga Israel dan mewujudkan tujuan perang," sebut militer Israel dalam pernyataannya.
Sejak Kamis (15 Mei), militer Israel telah meningkatkan intensitas operasi di seluruh wilayah Gaza dan menewaskan lebih dari 100 orang, sekalipun Trump mengusulkan pembentukan zona kebebasan atas wilayah kantong Palestina itu.
Menurut laporan Pertahanan Sipil Gaza, sebagian besar korban jiwa berada di Jabalia, yang terletak di bagian Gaza Utara, dan Khan Younis di Gaza Selatan.
Perbedaan Sikap AS-Israel
Serangan baru Israel ini terjadi di tengah perbedaan yang disebut makin besar antara pemerintah AS dan Israel. Trump mengatakan pekan lalu bahwa dia menginginkan akhir dari perang brutal di Gaza. Dia sendiri tidak mengunjungi Israel selama lawatannya ke Timur Tengah pekan ini.
Trump dalam bulan ini juga dua kali tidak melibatkan Israel dalam proses pencapaian kesepakatan dengan Hamas dan Houthi. Pekan lalu, Hamas membebaskan seorang sandera berkewarganegaraan ganda Israel-AS, sementara kelompok Houthi sepakat menghentikan serangan terhadap kapal-kapal AS di Laut Merah, meskipun mereka tetap menyatakan akan terus melawan Israel.
Pada Rabu (14/5), Trump membantah telah mengabaikan Israel.
"Ini baik untuk Israel," ujarnya.
Namun, pada Kamis (15/5), dia malah mengatakan ingin AS mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi zona kebebasan.
"Selama bertahun-tahun, Gaza telah menjadi wilayah penuh kematian dan kehancuran," ujar Trump usai pertemuan dengan para pemimpin bisnis di Doha seperti dilansir NPR. "Saya memiliki konsep yang menurut saya sangat baik untuk Gaza — yakni menjadikannya zona kebebasan. Biarkan AS terlibat dan menjadikannya sepenuhnya sebagai zona kebebasan."
Kata Trump soal Kelaparan di Gaza
Pada hari terakhir kunjungannya di kawasan Teluk, Trump mengatakan kepada para wartawan di Abu Dhabi, "Kami sedang mencermati Gaza. Dan kami akan mengurusnya. Banyak orang yang kelaparan."
Pejabat-pejabat Israel secara konsisten membantah bahwa blokade ketat yang diberlakukan di Gaza telah menyebabkan kelaparan dan pernyataan Trump ini dipandang sebagai bukti tambahan adanya ketegangan antara Netanyahu dan AS.
Sebelumnya, banyak pihak berharap bahwa kunjungan Trump ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab pada 13-16 Mei dapat menghasilkan gencatan senjata di Gaza atau dimulainya kembali pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, tidak ada progres terkait keduanya.
Israel telah memblokade total Gaza sejak 2 Maret dengan mengklaim ini sebagai cara untuk menekan Hamas demi meraih kemenangan dan membebaskan seluruh sandera yang masih ditahan. Selain itu, Israel menuduh tanpa bukti bahwa Hamas mencuri dan mengendalikan bantuan yang masuk ke Gaza.