Di FSAI 2025, 2 Tokoh Australia-Indonesia Bongkar Jurus Jadi Sineas

9 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Australia kembali menghadirkan Festival Sinema Australia Indonesia atau FSAI 2025, kolaborasi antara kedua negara di bidang film sebagai salah satu upaya penguatan kerja sama bilateral. 

FSAI yang digelar untuk ke-10 kalinya tahun ini, tak hanya menghadirkan film-film pilihan dari dua negara, tapi juga membuka ruang belajar lewat masterclass eksklusif dari para praktisi film ternama.

Dua di antaranya adalah Dr. Dean Chircop, akademisi dan sutradara asal Australia, dan Ika Natassa, penulis bestseller Indonesia yang kini juga aktif di dunia film.

Dalam sesi workshop yang berlangsung hangat dan inspiratif, keduanya sepakat bahwa keberanian untuk memulai adalah kunci utama dalam menjadi seorang pencerita atau storyteller.

"Jika itu menginspirasi seseorang untuk memulai perjalanan mencoba menjadi penulis—dan saya bilang mencoba karena ini proses—maka kita telah menang," ujar Dean Chircop, yang dikenal lewat karya-karya pendeknya seperti The Parlour dan Bloody Footy, yang telah diputar di festival internasional seperti Berlinale dan Tribeca.

Bagi Dean, menceritakan kisah bukan hanya tentang teknik atau pendidikan formal, tapi tentang menggali kebenaran universal dalam pengalaman manusia. Meskipun memiliki budaya yang berbeda, pada dasarnya manusia bertemu di titik yang sama: emosi, harapan, dan konflik yang menyentuh semua orang.

"Komedi romantik yang berhasil di Australia bisa juga mengena untuk penonton di Indonesia atau Eropa karena berhubungan dengan kebenaran universal," ujar Dean.

"Itulah keindahan dari sinema: kita bisa berbagi pengalaman meski latar belakang kita berbeda."

Dean juga berbagi pengalaman saat bekerja dengan para pembuat film Indonesia melalui kursus Australia Awards Indonesia (AAI). Menurutnya, persamaan perspektif dan semangat yang sama dalam bercerita membuat kolaborasi ini sangat berarti.

Ika Natassa: Siapapun Bisa Menjadi Storyteller

Senada dengan Dean, Ika Natassa—penulis yang karyanya telah banyak diadaptasi ke layar lebar, termasuk Critical Eleven dan Heartbreak Motel—menekankan bahwa semua orang bisa menjadi pencerita, tak peduli latar belakang pendidikan mereka.

"Saya tidak punya latar belakang formal di perfilman, tapi saya tetap menulis dan film saya dibuat. Karena dasarnya, saya ingin menceritakan kisah," kata Ika.

Dalam masterclass tersebut, Ika menyoroti pentingnya membangun keberanian dan rasa percaya diri untuk mulai menulis. Ia mengajak para peserta untuk tidak terjebak pada keraguan seperti "Mampu nggak aku menulis?" atau "Mulainya dari mana?". Jawabannya sederhana: mulai saja dulu.

Lebih dari sekadar festival film, FSAI dinilai Ika sebagai bentuk kolaborasi budaya dan investasi soft power antara Indonesia dan Australia. Melalui lokakarya seperti ini, FSAI tidak hanya mencetak penonton, tetapi juga melahirkan generasi baru pembuat film yang bisa membawa cerita lokal ke panggung global.

"Workshop ini bukan cuma soal belajar. Ini membangun koneksi, membentuk kohort yang bisa saling bantu, membuka pintu ke industri, bahkan mungkin melahirkan kolaborasi lintas negara," ujar Ika, yang juga alumni Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP).

Dean maupun Ika menyampaikan harapan agar muncul pergerakan baru dalam sinema Indonesia, seperti yang terjadi di Korea, Prancis, dan Amerika Serikat. Mereka percaya, dengan ekosistem yang mendukung dan kolaborasi yang terus diperkuat, kisah-kisah dari Indonesia bisa menyentuh dunia.

"Kita ingin melihat cinema Indonesia bergerak ke arah baru. Dan cerita-cerita dari sini bisa punya tempat di hati penonton dunia," pungkas Ika.

Read Entire Article