Liputan6.com, New Delhi - India dan Pakistan saling tuding soal kendali senjata nuklir pada Kamis (15/5), di mana masing-masing menyerukan agar dunia internasional mengawasi persenjataan nuklir negara tetangganya. Ketegangan ini muncul hanya beberapa hari setelah konfrontasi militer paling serius antara kedua negara dalam dua dekade terakhir.
Menteri Pertahanan (Menhan) India Rajnath Singh menyatakan bahwa senjata nuklir Pakistan harus diawasi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Sementara itu, Pakistan menuduh India memiliki pasar gelap bahan nuklir dan mendesak komunitas internasional menyelidikinya.
Konflik terbaru antara dua negara bersenjata nuklir itu sempat memicu kekhawatiran global akan potensi pecahnya perang terbuka, sebelum akhirnya tercapai kesepakatan gencatan senjata pada Sabtu (10/5).
"Saya ingin mengajukan pertanyaan kepada dunia: apakah senjata nuklir aman berada di tangan negara yang nakal dan tidak bertanggung jawab?" kata Singh saat berpidato di hadapan pasukan di sebuah pangkalan militer di wilayah Kashmir yang dikuasai India seperti dilansir CNA.
"Saya percaya, senjata nuklir Pakistan harus berada di bawah pengawasan IAEA."
Tak lama berselang, Menteri Luar Negeri (Menlu) Pakistan Ishaq Dar merespons dengan menyebut bahwa lembaga yang sama seharusnya justru menyelidiki berulangnya kasus pencurian dan penyelundupan bahan nuklir serta radioaktif di India.
"Rangkaian insiden tersebut juga mengindikasikan keberadaan pasar gelap material sensitif berkegunaan ganda di dalam wilayah India," tambah Dar.
Gencatan Senjata
Eskalasi antara dua negara tetangga ini dimulai ketika India melancarkan serangan pada 7 Mei terhadap apa yang diklaimnya sebagai "kamp-kamp teroris" di Pakistan, menyusul serangan pada 22 April di wilayah Kashmir yang dikuasai India yang menewaskan 26 orang.
India menyalahkan Pakistan karena mendukung militan yang diklaim sebagai pelaku serangan tersebut. Namun, Islamabad tegas membantah tuduhan itu.
Empat hari pertempuran intens menggunakan drone, rudal, dan artileri pun terjadi, menewaskan hampir 70 orang, termasuk puluhan warga sipil, di kedua belah pihak.
Baik India maupun Pakistan adalah negara bersenjata nuklir dan anggota IAEA.
Para menteri Pakistan telah berulang kali menyatakan bahwa opsi nuklir tidak pernah dipertimbangkan dan bahwa badan pemerintah yang mengurusi senjata nuklir negara itu tidak pernah dipanggil selama konflik terbaru ini.
Perjanjian Air Tetap Ditangguhkan
Karena khawatir akan terjadinya eskalasi lebih lanjut, para pemimpin dunia menyerukan agar kedua musuh bebuyutan menahan diri. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bahkan menjadi pihak pertama yang secara mengejutkan mengumumkan gencatan senjata.
Meski di tengah gencatan senjata, tensi tetap tinggi. Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif dalam percakapannya dengan Sekjen PBB Antonio Guterres pada Rabu (14/5), menyampaikan keprihatinan atas pernyataan provokatif dan menghasut yang terus dilontarkan oleh para pemimpin India, yang dianggapnya sebagai ancaman terhadap perdamaian regional yang rapuh.
Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar pada Kamis menyatakan bahwa perjanjian penting mengenai air—yang mengatur aliran sungai yang sangat vital bagi Pakistan yang kekeringan untuk konsumsi dan pertanian—akan tetap ditangguhkan sampai terorisme lintas batas oleh Pakistan dihentikan secara kredibel dan permanen.
Menanggapi pernyataan itu, Menlu Dar menggarisbawahi perjanjian tersebut tidak dapat diganggu gugat.
"Perjanjian itu tidak dapat diamendemen, maupun diakhiri secara sepihak oleh salah satu pihak kecuali kedua belah pihak sepakat," katanya di hadapan parlemen.
Sejak 2019, militan telah meningkatkan operasi mereka di sisi Kashmir yang dikuasai India, ketika pemerintahan nasionalis Hindu pimpinan Modi mencabut status otonomi terbatas wilayah tersebut dan memberlakukan pemerintahan langsung dari New Delhi.
Kashmir yang mayoritas penduduknya muslim diklaim sepenuhnya oleh baik India maupun Pakistan, yang telah beberapa kali berperang memperebutkan wilayah tersebut sejak kemerdekaan mereka dari Inggris pada 1947.