, Berlin - Sudah dua tahun Daniel Parasaudi tinggal di Berlin, Jerman. Sebelumnya, pria kelahiran Sukabumi ini lama bermukim di Lombok.
Hampir dua dekade ia menekuni dunia grafiti. "Sebenarnya suka banget grafiti karena rebel gitu ya. Masa itu di tahun 2005 lagi 'hits-hitsnya' kan,” jelas Daniel yang lebih dikenal sebagai Emet ini seperti dikutip dari DW Indonesia, Senin (1/7/2025).
Di dinding rumahnya beberapa karya diabadikan dalam medium kanvas. Pada salah satu kanvas tersirat gambar restoran cepat saji asal AS, beserta kaleng soda dipadu dengan gambar Rumah Gadang dan warna merah-kuning-krem yang mencolok. "Oh itu, saya pengen kritik aja kenapa anak muda di Indonesia bangga banget makan di restoran cepat saji,” jelasnya sambil diselingi tawa.
Rendang jadi inspirasi palet warna Emet
Rendang menginspirasi Emet dalam berkarya. "Saya sempat ke Padang demi belajar bikin rendang langsung dari uni disana, meski saya coba masak lagi di Berlin, waduh beda, kelapanya sih” jelas Emet semangat,"Rasa-rasanya rendang ada di sudut memori saya saat kecil, dibawa Bapak ke restoran padang, hanya boleh pilih satu lauk - saya gak pernah berubah pasti pilihnya rendang. Patokannya kalau rendangnya enak, ya enak semua makanan di restoran itu.”
Menurut Emet, Rendang bukan sekedar daging nikmat khas Indonesia. "Rendang itu dari merendang - proses memasak, santan (yang penuh di kuali) dimasak sampai berkurang hingga sat. Ada prosesnya untuk jadi sat dari gule - kalio - jadilah rendang yang hitam,” jelas seniman grafiti yang juga gemar memasak ini "Perpaduan warna rendang inilah yang saya bawa ke karya-karya saya.” Itulah mengapa karyanya kerap diwarnai warna-warna rendang : merah marun dari cabai, kuning dari kunyit, hijau dari sereh, dan krem dari santan.
Ikan kecil di laut yang luas
Tentu tidak mudah bermigrasi ke kota yang punya sejarah panjang grafiti. Saat Berlin terbagi menjadi Berlin barat dan timur di tahun 1961- kedua wilayah dipisahkan oleh tembok Berlin.
Tembok Berlin menjadi kanvas masyarakat Berlin barat untuk berekspresi dan melayangkan kritik politik lewat grafiti. Perkembangan seni di kota itu kian meroket bahkan setelah tembok berlin runtuh di tahun 1989.
Kini hampir di setiap sudutnya pengunjungnya dapat melihat grafiti baik model blockbuster, simple tags, bubble letter, wildstyle, hingga character graffity. Berlin diperkirakan memiliki sekitar 15.000 seniman Graffiti, menurut koran harian Berliner Zeitung.
Bagi Emet, bermigrasi ke kota yang dipenuhi seniman grafiti ini terasa seperti ikan kecil di lautan yang luas. "Tapi saya gak fokus untuk bersaing sih, lebih ke membangun jaringan,” jawabnya "Mungkin perbanyak pameran di luar Berlin, karena kota ini sudah punya banget seniman, kalau pameran keluar lebih besar peluangnya.”
Emet kerap ikut berdiskusi dengan komunitas di distriknya, Pankow. Lewat diskusi-diskusi ringan di taman-taman kota atau area publik lainnya, Emet menemukan ‘ruang baru' berkarya. Ia pun bertemu dengan Katja Hellköter dan Jan Siefke pendiri komunitas kreatif "C-Space" di Pankow/Weisensee.
CSpace membuka ruang kolaborasi untuk para seniman di studio mereka. "Sudah lama kami ingin memperbarui dinding gerbang depan studio kami yang sudah lapuk, butuh hampir tiga tahun untuk meyakinkan pemilik bangunan agar kami boleh membersihkannya dan membuat grafiti baru,” jelas Jan "Kami pun secara tidak sengaja bertemu Daniel di community garten dan ia pun bersedia membuat grafiti di tembok kami."
Meski tidak menonjolkan warna rendang seperti biasanya karena menyesuaikan warna bangunan C-Space, karya "Crema" Emet membuat Jan kagum. "Crema bercerita tentang perpindahan orang, pertemuan, travel, koneksi, banyak sekali hal-hal kecil yang bercerita di mural ini.”
Menurut Jan, karya Emet punya karakter yang ceria, ia sangat senang berkolaborasi dengan seniman asal Sukabumi itu.
‘Crema' dibuat dalam rangka kolaborasi CSpace dengan Berlin Asia Arts Club pada Pankow Artspring, 3 Mei 2025 lalu. Butuh dua hari untuk Emet merampungkan karya tersebut.
Saat Mural ‘Legal' Susah Dicari
Di tahun 2023, salah satu penyedia jasa transportasi publik di Berlin menghapus sekitar 150 ribu meter persegi grafiti di keretanya. Di tahun yang sama penyedia jasa transportasi publik Jerman, Deutsche Bahn, mengalami kerugian hingga sebesar 12 juta Euro (227 miliar Rupiah) akibat tindakan vandalisme ini.
"Yang lukis di kereta-kereta itu memang cepat, wah halau saya udah nggak cari adrenalin sih, saya paling lukis di tembok-tembok legal saja, kalau mau gambar izin dlu” jelas Emet.
Makin banyak seniman grafiti di Berlin ternyata membuat tembok legal tidak pernah sepi peminat. "Pernah ya ngantri di taman yang punya tombok legal untuk grafiti, kayak di Mauerpark. Eh baru selesai dibelakang udah ada yang siap nimpa (dengan gambar baru),” kisah Emet soal pengalamannya berkarya di Berlin yang susah-susah gampang. Ia pun memindahkan medium tembok legal ke kanvas lukisan "Jadi bisa lanjut berkarya usah ngantri.”
Beberapa karya Emet sudah meramaikan tembok-tembok cafe di Berlin, produsen mobil listrik di Brandenburg, bahkan merambah ke medium lukisan dan patung.
Buka "warung pop-up" untuk mengusir rindu
Sebagai kaum pendatang, banyak yang dirindukan dari tanah air. Untuk mengobati kerinduan itu, Emet dan teman-temannya di Berlin membuka warung Bhinnekayon tiap akhir pekan.
Tiap minggu, menu warung Bhinnekayon bisa beda-beda. "Ini sebenarnya inisiatif kawan-kawan seniman di Berlin. Jadi siapa mau masak ayo, nanti saya bikinin posternya sesuai karakter si tukang masak,” kata Emet.
Dari warung bubur kacang ijo, gule kambing, tongseng, selalu berhasil menarik perhatian orang-orang Indonesia di Berlin. Tidak hanya makanan, kadang warung ‘ajaib' ini ikut menampilkan karya seniman Indonesia hingga konser musik.
"Lumayanlah menjawab rasa kangen kampung halaman,” kata Emet.
Jatuh-bangun berkarya di Berlin, membuat Emet tidak berhenti berkarya. Selanjutnya seniman multitalenta itu bersiap 'unjuk gigi' pada pameran berikutnya "27 Juni nanti saya bakal pameran di Malchow, ini pertama kalinya sebagai seorang muslim saya berkesempatan pameran di Gereja, temanya tentang Spielplatz (red. tempat bermain) ” jelasnya antusias.
Pamerannya akan digelar di Stadtkirche Malchow hingga 14 September 2025.