Fenomena Tren Cucu Bayaran di China, Imbas Anak Muda Sulit Cari Kerja

1 day ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, China tengah diguncang tren sosial baru yang menyentuh sekaligus mengejutkan: para lulusan muda yang kesulitan mendapat pekerjaan memilih menjadi "cucu full-time", kembali ke kampung halaman untuk merawat dan menemani kakek-nenek mereka.

Mengutip SCMP, Minggu (29/6/2025), fenomena ini bukan hanya mencerminkan krisis lapangan kerja yang menimpa generasi muda, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak akan pendampingan bagi kalangan lansia yang semakin banyak dan kesepian.

Berbeda dengan "anak full-time" — istilah yang sempat viral di Tiongkok untuk menggambarkan anak yang tinggal dan merawat orang tua — "cucu full-time" lebih difokuskan pada perhatian kepada kakek-nenek, yang sering kali tinggal sendiri dan memiliki kondisi fisik lebih rentan.

Para cucu ini bukan hanya menjadi pendamping harian, tapi juga manajer rumah tangga, pengatur jadwal medis, hingga sumber kebahagiaan emosional bagi orang tua mereka.

Seorang wanita 26 tahun, misalnya, memutuskan kembali ke rumah setelah gagal dalam ujian pascasarjana dan tes pegawai negeri.

Sang kakek menyambutnya dengan hangat dan mengatakan: "Kalau kamu merawatku dan membuatku bisa hidup lebih lama, itu lebih berharga daripada pekerjaan apa pun di luar sana."

Sebagai bentuk dukungan, kakeknya memberikan 7.000 yuan (sekitar Rp2,2 juta) per bulan dari dana pensiunnya. Bagi sang cucu, ini bukan hanya solusi keuangan, tetapi juga pengalaman hidup yang mendalam.

Dipicu Tingginya Tingkat Pengangguran

Tren ini berakar dari kenyataan pahit di mana pada April 2024, tingkat pengangguran di kalangan pemuda usia 16–24 tahun di Tiongkok mencapai 15,8 persen, atau satu dari enam orang. Bagi banyak anak muda, menjadi “cucu penuh waktu” bukanlah kemunduran, tapi bentuk adaptasi terhadap situasi ekonomi dan sosial.

Selain membantu lansia, para cucu ini mengaku memperoleh kedewasaan dan refleksi pribadi.

Salah satu di antara mereka berkata, "Kita hanya punya 30.000 hari dalam hidup. Setiap hari bersama kakek-nenek adalah bagian dari hitungan mundur. Uang bisa dicari nanti, tapi waktu dengan mereka — sekali hilang, tak bisa kembali."

Beberapa bahkan mengajak kakek-nenek mereka keluar minum teh susu kekinian, atau makan di restoran tren agar hidup lebih berwarna. Alih-alih hanya menjadi pengasuh, mereka berperan sebagai sahabat.

Namun, tren ini juga memicu perdebatan. Meski banyak yang memuji, sebagian publik mempertanyakan realitas sosialnya.

"Tak semua punya kakek-nenek dengan pensiun cukup untuk membiayai cucunya," tulis seorang netizen.

"Kakek saya petani. Uang pensiunnya hanya 100 yuan per bulan."

Read Entire Article